Sunday, December 27, 2015

Segitiga Ini; Tidakkah Engkau Rindu Terhadap Aku??


Adalah hal yang paling menyedihkan atau mungkin sakit yang paling sakit ketika rasa cinta yang ada untuk diri kemudian pergi. Lalu perlahan mengabaikan diri yang sudah sebegitu memperhatikannya tentang segala apapun.

Aku. Aku adalah apa yang telah engkau tanggalkan. Tak perlu waktu lama kau berlalu begitu cepat. Aku adalah apa yang telah ada disampingmu untuk tempo yang tak cukup barang sebentar. Aku adalah apa yang telah ada denganmu tanpa pernah aku miliki rasa jenuh.

Aku adalah apa yang merindukanmu dengan sangat-sangatnya. Sebab telah begitu jauh engkau  berlalu. Lihatlah aku sayang, aku begitu berdebu sebab jemarimu tak pernah lagi menyentuhku dan merabaku secara perlahan hingga tubuhku basah dengan air matamu.

Lihatlah aku, sayang. Liriklah! Aku ada dihadapanmu ketika kamu berkaca. Kembalilah untukku setelah kau bersuci. Jamahlah lagi aku dengan begitu lembutnya jemarimu dan suara-suara merdu yang selalu aku rindukan.

Kembalilah, sayang. Janganlah engkau benar-benar berniat untuk pergi meninggalkanku.

Ketahuilah kembali, sayang. Aku ada karena aku diciptakan Tuhan untuk setia bersamamu hingga akhir hayat. Hingga saat waktunya sangkakala berbunyi lalu engkau dibangkitkannya kembali.

Aku bahkan rela engkau duakan dengan teman kekinianmu, asalkan engkau mengingatku untuk waktumu yang luang.

Mari sini, sayang. Jamahlah aku. Tidakkah engkau merindukan ayat-ayat Tuhanmu yang mendamaikan???



Sunday, November 22, 2015

Mengapa Kau Memulainya Jika Kau Tahu Kau Tak Bisa Bersamaku

"Bu, saya izin pulang duluan."
"Oh ya. Silahkan", perintahnya.
"Mari, bu. Assalammualaikum".
"Waalaikumsalam".

Ini Rabu malam. Tepat ditanggal 11 November 2015 pukul 20.00 waktu Jakarta yang masih ramai. Orang-orang masih lalu lalang. Memberhentikan bis, angkot, menyeberang jalan untuk sekedar pergi ke supermarket yang berdiri tepat di pertigaan jalan. Tenda-tenda warung makan yang beroperasi pada malam hari sudah mulai ramai dengan pembelinya. Berdiri dengan kokoh beberapa gerobak yang menghiasi trotoar jalan depan supermarket itu; gerobak gorengan, martabak bandung, nasi goreng, juga mie aceh.

Di setiap pertigaan wilayah ini masih dikomando mungkin-orang-yang-tinggal-di-sekitar-sini untuk mengatur lalu lintas. Aku memilih jalan kaki untuk sampai di tempat biasa aku menaiki bis jurusan ke rumah. Sebab jalan mobilpun harus dengan merayap dan berhenti untuk beberapa menit. Aku berlari kecil sebab gerimis telah turun.

Trotoar jalanan ini memiliki cahaya remang-remang. Sebab lampu yang berdiri di pinggir jalan tertutup pohon-pohon yang begitu rimbun. Adem dan menyenangkan memang jika digunakan untuk jalan di siang hari. Tapi tidak bagiku dimalam hari. Untuk ukuran mataku yang minus 3.75 harus bekerja keras untuk hati-hati menelusurinya. Tak jarang aku ditegur bapak-bapak atau mungkin mas-mas dan bisa jadi abang-abang yang duduk di halte. "Hati-hati mba" katanya. Sebab aku sering sekali tersandung karena ulah ketidakhati-hatian mataku.

Lima belas menit berlalu. Aku sampai di SPBU tempat biasa aku menanti bis. Aku terengah-engah. Kutengok tempat minum yang biasa kubawa. Sial. Aku lupa mengisi kembali sebelum aku pulang. Rasa haus memaksaku untuk pergi ke minimarket di SPBU ini. Aku langsung menuju lemari pendingin, membukannya lalu memilih Good Day Cappuccino. Aku membalik badanku, mengambil tiga bungkus Beng-Beng untu camilannya. Aku mengantri untuk sampai dikasir. Sembari mendapat giliran, aku melihat telepon genggamku. "Tak ada kabar" usikku dalam hati. Aku menghela. "Sudah berapa lama ia tak mengabari aku".

Aku duduk di pinggir tempat biasa kendaraan keluar dari SPBU ini. Membuka tutup botol kopi yang telah kubeli tadi lalu kuteguk ia sampai habis. Rupanya jalan kaki tadi telah menghabiskan tenagaku.

Bispun tiba. Dipukul 20.30 seperti ini masih ada beberapa orang yang menunggu bis. Kupikir sesampainya di dalam nanti aku bisa memilih tempat duduk dekat jendela dengan leluasa, nyatanya tidak. Bis ini masih penuh dengan orang-orang. Aku celingak-celinguk, mencari tempat duduk yang kosong. Aku tak berharap untuk dapat duduk di dekat jendela, untuk dapat bisa duduk pun rasanya "alhamdulillah". Tapi takdir berkata lain, tempat duduk di samping jendela masih tersisa satu.  Aku berjalan menujunya. Meminta izin agar bisa duduk di samping jendela. Dan ia mempersilakannya. "Terima kasih, Pak". Senyumku.

Dan bis pun melaju

Aku menyandarkan kepalaku ke jendela, melihat keluar. Titik-titik air sudah menghiasi jendela. "Kamu di mana Pilar? Tak rindukah kamu dengan aku?".

Deras hujan yang turun 
Mengingatkanku pada dirimu
Aku masih di sini untuk setia

Ah sial!. Lagu yang diputar bis terpaksa mengangkat kepalaku yang sedari tadi bersandar di jendela. Aku baru ingat. Sudah satu minggu sejak pertemuan terakhirnya denganku ia tak pernah mengabari aku mengenai keadaannya. Ia hilang. Tanpa pesan. Satupun.

"Kamu kemana, Pilar? Aku rindu" .

***

Ini tentang tiga atau bahkan empat minggu yang lalu. Satu pesan pribadi dari aplikasi whatsapp masuk. Aku membuka aplikasinya. Baru aku sadar, sudah berapa hari aku tak menengok delapan grup dan sembilan pesan pribadi yang masuk. Aku membukanya dari paling yang baru masuk. Pesan dari seorang teman yang sama hobinya denganku.

"Neng bikin cerpen, yuk". Ujarnya lewat pm.
"Cerpen apa, kak?".
"Nanti kamu bikin cerita ya dari gambar yang aku kirim. Ini gambarnya".


Aku mengunduh gambarnya. Saat terunduh, entah kenapa aku langsung berpikir "kalau gambar ini beneran terjadi gimana ya?".  Aku menggelengkan kepala. Melawannya. Ya melawan pikiran anehku sendiri.

"Oke, kak. Aku setuju. Kapan dikumpulin terakhir?"
"Akhir bulan ini ya. Ada beberapa juga kok yang ikut"
"Siap, kak. Sebisanya aku usahain akhir bulan ini yak kalau ndak sibuk, hahahahaha" balasku.

Aku menaruh telepon genggamku di atas bantal. Aku menuju dapur. Membuka pintu atas kulkas yang berwarna hijau yang mirip dengan warna tembok dapur. Aku menyeruput segelas besar teh dingin. Aku menghela. Segar sekali rasanya. Aku kembali ke depan, tetapi bukan kamar, aku menuju ruang tamu, kemudian duduk di depan pintu sembari memikirkan cerita apa yang akan aku buat untuk cerpen ini.

***

"Gak ada cara lain kah?" Kali ini aku beranikan diri untuk menatap matanya secara fokus. Meyakinkannya. Ya melihat keyakinan di matanya.
"Gak ada, Enigma. Aku minta maaf.
"Kamu bohong sayang sama aku".
"Kok bohong? Aku sayang sama kamu, tapi caraku menyayangimu yang salah".
"Bagian mana yang salah, Pil?"
"Menyentuhmu".

Aku diam. Aku menundukkan kepalaku. Pikiranku perihal cerpen yang ditantang waktu lalu benar-benar terjadi. Taman ini kemudian hening. Sehening-heningnya. Berisiknya orang-orang di sekitar bahkan samar-samar terdengar. Angin melambai pelan. Memberi kibar pada kerudungku ke kanan dan ke kiri.

"Aku minta maaf. Sungguh aku menginginkamu. Tapi aku gak mau buat kamu nunggu. Aku gak mau jadi penghalang buat kamu untuk ngelakuin pahala yang besar itu".
"Tapi aku siap nunggu kamu, Pilar. Aku pernah bilang kan?" Aku kembali untuk yang kesekian kali menghela. Mencoba untuk tak menangis di depannya.
"Tapi aku masih lama. Masih banyak yang harus aku lakuin. Aku minta maaf. Sungguh"

Aku kembali diam. Lagi. Aku menyeka air mata. Sial. Aku nangis.

"Jangan nangis. Aku minta maaf".
"Kamu tau kan soal aku yang paling males kalau udah deket sama orang terus begini jadinya? Kamu tau kalau aku paling males buat ngerasain yang kayak gini lagi. Kamu tau itu kan? Kamu datang disaat aku jaga dengan diam-diam perasaanku buat seseorang. Terus aku dengan begitu susahnya untuk kemudian melenyapkan rasa diam-diam itu dan memulainya untuk menyukaimu. Kamu tau itu kan?".
"Ya aku tau".
"Terus kenapa kamu harus memulai semuanya?".
"Aku cuma mau jaga perasaanmu."
"Tapi gak gitu caranya".

Aku pulang. Dia pulang. Kami pulang ke masing-masing diri kami. Aku kecewa. Aku hancur. Dia hancur. Tidak! Dia tidak hancur. Tapi aku saja. Ya aku saja.

Sunday, August 9, 2015

Cerita Tentang Separuh Bahu dan Kepala yang Penuh dengan Isi

Malamnya telah datang, namun tak nampak kulihat dari dua matanya tertarik untuk dipejamkan. Kedua matanya masih berkedip. Melihat ke atas, lalu menunduk lagi. Hidupnya kala itu sendiri, mungkin temannya yang lain sudah sampai pada singgasananya yang paling nyaman; memeluk guling dan tidur bersandarkan bantal yang empuk. Ku lirik lagi kedua matanya yang masih nakal, dan aku melihat dua buah aliran mengalir dipipinya. "Ya Tuhan, dia bersedih." Lirihku.

"Kau bersedih?" Tanyaku di keheningannya.
"Boleh kupinjami bahumu barang sebentar?"
"Silahkan, tapi untuk apa?"
"Aku ingin memiringkan sejenak kepalaku. Mungkin dengan begitu bisa tumpah sebagian isinya, setidaknya meringankanku malam ini." Ia menjawab dengan kedua matanya yang masih tak menoleh kepadaku.
"Silahkan, jika itu mampu mengurangi bebanmu"

Ia memiringkan kepalanya padaku perlahan, kemudian ia mengubah posisi duduknya, mungkin ia mencari posisi yang paling nyaman. Dan ia telah sampai pada pundakku dengan tenang.

Malam tak berkomentar. Angin berhembus sejenak, juga napasnya yang sesekali terdengar terhela. Hening. Segalanya menjadi hening. Tak ada bising dari sudut manapun. Aku meliriknya, ia memejamkan kedua matanya. Aku menoleh ke atas, tak ada bintang sama sekali. Aku meliriknya lagi. Dan ia masih memejamkan matanya. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. "Sebegitukah banyak isi kepalamu hingga kau terlihat sangat lelah?" Ucapku dalam hati.

Ada yang basah di pundakku tempatnya menaruh kepala. Aku meliriknya. Ia menangis lagi.
"Kau baik-baik saja?" Tanyaku.
"Boleh aku bercerita?"
"Ya tentu, aku ada untuk mendengar ceritamu".  "Rupanya dengan aku yang diam-diam, aku malah membebani diri menjadi semakin banyak. Ku pikir semua akan berlalu secara perlahan, nyatanya tidak. Mereka terus saja berdatangan kepadaku tanpa memikirkan isi kepalaku. Aku belum mampu menyelesaikannya, dan aku sedang ada pada saat-saat yang futur. Aku lelah." Ia masih memejamkan matanya, masih mengalir pula air matanya.
"Semoga Tuhanmu menyegerakan penyelesaian untukmu. Tetaplah tersenyum layaknya tak apa. Aku tak bisa membantu, maaf. Tapi jika lain kali kau butuh bahuku, aku bersedia kapanpun. Aku berdoa untukmu".
"Terima kasih untuk bahumu juga doamu. Aku harap begitu."
"Bangunlah, beristirahatlah, masih ada esok yang harus kau selesaikan."

Malamnya semakin dingin. Jarum jam terus berjalan. Ia mengangkat kepalanya, beranjak untuk beristirahat. "Semoga Dia yang Maha Baik segera menyelesaikannya." Ucapku.



Sunday, July 26, 2015

Senja yang Hujan

"Barangkali senja datang dengan begitu kecewanya. Lagi. Kuperbuat dia lagi kecewa dengan segala kesibukanku. Dan lagi. Bertemu dengan katanya yang menjadi rekan bisnis lagi yang menjadi alasannya. Kota ini. Jakarta yang dengan segala keonarannya kembali menduakanku pada senja". 

Jalan kota besar ini sudah dipenuhi mobil juga bis-bis dan motor-motor. Orang-orang yang kebanyakan sepertiku sudah berdiri di halte bis atau bahkan diujung jalan tempat biasa bis-bis itu berhenti. Entah mereka jua hendak kemana. Mungkin sebagian besar pulang, mungkin sebagian besar yang lain menyelesaikan urusannya yang belum diselesaikan. Pun denganku. Aku berada di tengah keramaian mereka, namun bukan ke rumah hendakku. Aku kembali lagi menuju ruang yang menjadi sangat kapitalis. 

Sopir tempatku mengais rezeki mengarahkan setir mobilnya ke arah kiri. Sudah dari beberapa meter sebelumnya ia menyalakan lampu sen kirinya, memberi tanda bahwa mobil yang kutumpangi akan segera berbelok arah. Aku melirik jam di mobil ini, 16.45. "Mendung" ucapku. "Kau sembunyi dimana senja? Jinggaku kau kemanakan?" Aku mengoceh dalam hati sembari membenarkan jilbabku yang tak karuan. 
"Takkah kau memberiku sedikit senyuman untuk memberiku semangat di sore ini? Aku tahu, kau pasti kecewa lagi padaku, bukan? Sebab sudah beberapa hari ini aku tak memuji Tuhanku karena eloknya dirimu". Ocehanku terus mengalir tanpa bisa keluar dari mulut. Menggerutu pada senja sebab ia menyembunyikan jingganya buatku.

Aku mengenakan sepatu andalanku. Ya heels dengan tinggi lima sentimeter berwarna hitam itu menjadi andalanku setiap keperluan kerja. Mobilku telah sampai di lobby.  Aku membuka pintu mobil, menuruni badanku yang sebenarnya sudah rindu dengan nasi, lauk yang dimasak ibu, teh hangat, juga tempat tidur. Aku melangkahkan kakiku. Kembali lagi mengukir senyum yang, ah sebenarnya pak satpam pun tau senyum yang kusungging adalah senyum kelelahan. 

***

"Hahahahaha. . Maaf sayang, bukannya aku menyembunyikan jinggaku untuk kamu nikmati keindahannya, sungguh bukan. Aku hanya memberi sedikit waktu agar air-air yang telah tertampung padaku untuk turun. Bukankah sudah beberapa puluh hari ini tidak turun hujan? Memangnya kamu tidak kepanasan?" Hari itu senja kelabu. Jakarta hari ini sejuk. Perlahan, ratusan titik air turun membasahi kota ini. Orang-orang yang hendak pergi itu mulai mencari sesuatu untuk menutupi kepalanya yang mulai basah. Beruntunglah bagi yang sudah di dalam mobil dan bis. Mereka tak perlu pusing mencari penutup kepala untuk melindunginya dari gerimis rintik, kecuali kalau atap-atap mobil dan bis itu bocor. 

*** 

Aku memijit lift. Menunggu pintunya terbuka. Aku melihat keluar. "Alhamdulillah, Allahumma shayiban naafian". Aku tersenyum. Sepertinya rinduku pada bau tanah akan segera terlunasi. 

***

"Aku tahu. Aku akan belajar untuk mengerti dengan segala tugasmu sebagai pegawai. Takkan lagi aku menunggumu untuk pulang di waktuku. Aku akan belajar ikhlas, meski ku tahu nantinya akan ada sedikit keluhan dariku, sebab aku merinduimu. Tapi itu tak apa. Aku pun akan belajar bersabar. Menunggumu memiliki seseorang yang mungkin bisa membuatmu menikmati elokku kembali dengan lama-lama. Lagi pula bukankah kamu menyukai bau tanah? Ini sedikit kuberikan pada jinggamu kali ini. Maaf untuk semangatmu kali ini, ku alihkan pada si bau tanah biar jingga beristirahat sejenak." Hujan lalu turun dengan derasnya. Kota ini sudah mencium kembali bau tanah. Merasakan kembali udara sejuk. 

Aku pun telah sampai di tempat seperti biasanya. Meja panjang berwarna cokelat, beberapa kursi, dan papan tulis yang berdiri tegak di hadapanku. Sepertinya mereka lebih siap untuk mendengarkan rapat daripada aku yang memiliki kuping yang nyata. Aku memilih tempat paling ujung dekat jendela, kemudian mengalihkan pandanganku keluar. Dan aku tersenyum. 

"Pada seperti biasanya, tetaplah engkau seperti tersenyum, hai perempuan yang selalu kusebut "kesayangan yang memujiku". Tetaplah pada semangatmu. Aku tetap akan memberimu semangat dengan berbagai caraku. Tapi,apapaun itu, nikmatilah, sebab itu kuberikan secara ikhlas. Kamu mungkin tak bisa menemuiku seseringmu menemui kekasih tak sampainya aku, si fajar. Padahah seharusnya kamu tahu, dia tak kalah indahnya sepertiku. Maka berilah dia pula pujian-pujian pada Tuhanmu. Sebab kekasih tak sampaikulah yang menjadi awal penyemangat hari-harimu". 

***

Hujan masih mengguyur deras kota sibuk ini, dan aku masih menunggu orang-orang yang akan memenuhi kursi di ruangan ini. 

Wednesday, July 22, 2015

Sekiranya

Sekiranya, semoga Allah yang dengan Maha Penyayang-Nya senantiasa menunjukiku jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat pada mereka, bukan jalan yang dimurkai dan bukan pula jalan yang sesat.

Sekiranya, dengan segala kasih sayangnya, Allah senantiasa memelukku dalan keistiqomahan, dibangkitkan ketika futur dan tidak berlarut-larut untuk waktu yang terlalu jauh.

Dan sekiranya, aku bisa menjadikan diri sebagai generasi menunduk yang lebih berguna dan lebih bermanfaat. Menjadikan kitab itu sebagai yang wajib dibawa kemana-mana kemudian menjadikannya sebagai pengisi di waktu luang.

Sekiranya, aku bisa berlama-lama dengannya dengan bacaan yang tartil. Dengan tajwid yang dipelajari sedari dulu. Mengulang kembali ilmu yang dulu pernah kutelan tiap sore hingga malam.
Sekiranya, semoga tiap huruf-huruf hijaiyah tersebut menjadi penolongku yang tak hanya di dunia. Yang menjadikannya tenang saat jiwa tak lagi pada warasnya, saat yang dirasa hidup tak lagi didekati Tuhannya. Tapi bisa menjadi penolongku lebih jauh, di saat menjadi penerang dan menjadi penolong pada saat kubur menjadi tempat terakhirku.

Monday, July 20, 2015

Doa di Hari yang Fitri


Shalat Idul Fitri telah usai. Berdua pulang dari masjid. Kini tak lagi bertiga. Hilang satu.
Kami sampai di rumah. Aku memeluknya saat perempuan itu memotong ketupat untuk aku dan anaknya yang lain juga menantunya makan. Aku membalikkan tangannya, kemudian menyaliminya. Meminta maaf. Sebab katanya aku adalah anak yang paling sering bikin dia bawel. Dia memelukku. Air matanya mengalir. Pun denganku.

"Ayah gak ada". Ia mengusap pundakku.
"Semoga Allah memberimu dengan cepat jodoh yang baik buatmu juga buat ibu, supaya ibu tenang kalau ibu harus ninggalin anak perempuan ibu." Ia mengusap pundakku lagi. Air mata semakin dengan asyiknya berebut keluar. Ia semakin mengerti dengan suasananya.
"Makan yang banyak, sayang. Kamu makin kurus, pipimu hilang. Kerjamu capek." Ia mengusap lagi. Ya Allah ndak ada lagi saat itu hari yang paling bahagia.
"Maaf ya ibu sering ngomel, sering bawel. Ibu lakuin karena ibu sayang. Ibu gak mau kamu kenapa-kenapa. Kamu cuma ada satu".

Lalu kami saling mengusap pipi kami masing-masing. Berdua jalan ke kamar ibu dari dapur. Lalu memandang lukisan yang menggambarkan ayah. Memeluk lagi. "Ayah udah gak ada, bu".
***
Doamu, ibu. Doamu yang menguatkanku sampai detik ini. Doamu. Doamu yang membuatku sehat sampai saat ini. Aku mungkin semakin kurus. Namun setiap sesendok nasi yang engkau suapkan kepadaku itulah yang menjadi tenagaku, yang mampu membuatku berjalan, mengejar bis, berdiri, membawa barang, lalu menunggu bis lagi, berdiri lagi bahkan aku bisa kuat pulang dengan rute yang lebih jauh karena selalu tertinggal bis, angin malam, hingga akhirnya aku membuka pagar, lalu menyalimi tanganmu dan meminum lagi teh hangat atau susu yang kau sediakan buatku. Doamu. Doamu yang membuat rezekiku darimanapun akan datang. Doamu. Doamu yang akan mendatangkan lelaki yang baik, yang mampu menjadi imam bagi keluargaku seperti permintaanmu juga ayah. Doamu, ibu. Doamu yang membawa hidupku jadi berkah. Doa yang selalu engkau lantunkan pada Allah dengan menengadahkan kedua tanganmu, menunduk, memohon yang terbaik untukku, salah satunya juga untuk anak-anakmu yang lain. Doamu, ibu. Doamu yang selalu membuatku tersenyum.

Sunday, June 28, 2015

Yuk Tarawih! bagian 1

Picture Source
Bahwasanya tak ada yang lebih patut untuk kita syukuri ketika Allah telah memberikan nikmat-Nya melalui umur panjang, lalu dipertemukannya dengan Ramadhan. 

Adalah rindu yang tiba-tiba hadir ketika semalam saat bangun dari sujud, dua orang anak laki-laki tiba-tiba dengan senyumannya yang sumringah hadir didepan muka. 

Sudah bukan hal yang asing lagi, ketika masjid/mushala, tarawih, dan anak-anak dijadikan satu lalu menjadilah berisik saat shalat. Orang-orang dewasa sibuk berkata "shhhhttt", berharap supaya anak-anak tak lagi bercanda saat shalat. Tak jarang mereka mengibas-ngibaskan sajadah agar anak-anak bisa berhenti. Tapi, namanya juga anak-anak, mana maulah mereka berhenti. Hehehehe. . 

Well, gegara semalam jadi inget dulu waktu kecil tarawih. Gak jauh berbeda dengan mereka yang sekarang. Berisik, pura-pura shalat dan keisengan lainnya yang dilakukan saat tarawih. . 

Yapp inilah yang gue lakuin ketika tarawih dulu; 

1. Shalat yang Tak Pernah Sempurna
  Tepuk tangan dan Mashaallah sama anak kecil yang shalatnya bisa sempurna dalam jumlahnya. Kecil dulu, gue teraweh gak pernah bisa sampai 23 rakaat. Pasti selalu ditengah-tengah berhenti. Biasanya gue sama temen-temen selalu shalat sampai shalat yang ketiga terus berhenti dan lanjutin lagi di rakaat ke empat belas. Patokan untuk memulai shalat lagi itu pas imam baca surat An-Nashr, yang berarti itu sudah hitungan ketujuh  
Tapi pada akhirnya gue tobat juga kok, ahahahak. .Gue sadar pas SMP. Teraweh pasti 23 rakaat, meski untuk mengawali rakaat baru dilaksanakan setelah imam selesai baca Al-Fatihah. Gue sadar Ramadhan itu cuma datang sekali. Gue udah gede. Apalagi sekarang, udah cukup dari umur gue yang seperempat abad gue sia-siain  Udah semestinya tahu bagaimana mengambil kesempatan selagi Allah ngasih panjang umur. Belum tentu tahun depannya gue bisa ngerasain lagi yang namanya teraweh. :)) 

2. Paling Gak Suka Diimamin sama Ustad yang Bacaannya Lama
Jadi sebelum tarawih itu, biasanya awal ramadhan gue selalu nitip sajadah sama anak-anak yang mau ke masjid buat ngeteg tempat, jadi pas terawehnyan gak perlu bingung-bingung cari tempat. Nah biasanya setelah itu suka pada ke mading masjid buat liat jadwal imam. Dannnnnn jreng. . Jreng. .ketika menemukan salah satu nama ustad yang biasanya kalau bacaannya panjang dan selalu pulang taraweh jam sembilan, kita langsung cemberut terus bete. Biasanya kalau udah tau si ustad ini gue sama anak-anak suka beli makanan dan bawa minum ke masjid. . Hehehehe

3. Makan Meitamie
Ketika setiap tarawih minta uang jajan, apa yang pasti dibeli?? Yaaakk Meitami :) . Makanan ringan ini wajib hadir setiap teraweh. Entah kenapa suka banget sama mie-miean ini. Dan untungnya yang jual ada di warung depan masjid, hehehehe. Jadi sebelum masuk masjid, ya masuk dulu ke warung cari cemilan ini, hihihi. Kapan makannya?? Makannya ya pas waktu istirahat salat itu. Dan jajanan ini jadi penolong banget kalau teraweh lagi diimamin sama imam yang lama. :)) 

4. Ikat Mukena Orang dan Pura-Pura Shalat
Dari sekian kenakalan selama teraweh mungkin ini kenakalan yang paling kurang ajar :(. Saat anak-anak gede sudah memulai terawehnya, gue sama temen gue malah ngiketin mukena paling bawahnya mereka, supaya pas mereka duduk ada yang ngeganjel, terus ketawa-ketawa. Pas teraweh udah bagian salam, gue sama temen malah pura-pura salam biar dikira solat. Astaghfirullah TT. 

5. Palsuin Tanda Tangan dan Isi Ceramah Buku Kegiatan Ramadhan
Astaghfirullah TT. Tobat gue tobat. Masih inget gimana betenya waktu disuruh isi buku ramadhan?? Awalnya seneng-seneng aja, tapi kan lama-lama bosen yaa . Apalagi antrinya itu buat minta tanda tangan. Jadi, ya gue tinggal liat aja buku ramadhan tahun lalu buat isi ceramahnya sama oret-oret tanda tangannya. :(( 

Dan pada akhirnya, setiap orang akan sadar pada waktunya kenapa teraweh itu penting. Semakin besar semakin tau betapa ruginya kalau ninggalin teraweh. Setahun hadir sekali, tidakkah engkau rindu? Malahan sekarang setiap malam takbiran suka nangis bukan karena besok mau solat id, tapi nangis karena apakah tahun depan masih bisa ikut?? 

Ampas yang Menjadi Baru


Adalah malam yang sepi bagi si perempuan untuk merasakan bahwa sekitarnya sangatlah ramai; petikan suara gitar dan alunan lagu yang dinyanyikan dari sekolompok pria yang membawanya semakin jauh dalam renungannnya.

Secangkir kopi Pedati yang diraciknya sendiri sudah habis ia teguk. Bersamaan dengan perasaan yang semakin jauh ia bawa ke dalam hatinya. "Menyebalkan! Kenapa sekolompok lelaki itu malah memainkan lagu yang mendukungku semakin jauh".

Perempuan itu menunduk, memainkan ampas kopi dengan kepala sendok lalu memindahkannya ke tisu kering. Didiamkannya. Lalu tangan-tangan jahilnya memainnkannya dalam kertas putih.

"Jika ampas kopi Pedati ini saja mampu membuat sebuah gambar menjadi baru,mengapa hatimu tidak?".

Tuesday, June 16, 2015

Pertemuan yang Tak Lagi Sama

Pukul setengah tujuh waktu di wilayah kita. Telepon genggam kita saling bergantian mengeluarkan bunyi yang sudah kita atur sendiri-sendiri. Bunyimu berada dari gedung yang jaraknya beberapa puluh kilometer dari gedung tempat bunyi telepon genggamku menggema.

Ping. Aku membaca pesan singkat darimu. "Aku sudah beranjak pulang. Kau pulang ya. Aku tunggu di kafe tempat biasa kita meraup habis aroma dan isi dari secangkir kopi".

Sudah barang tentu aku langsung mengemas barang-barang isi tas kerja, memastikan bahwa semuanya dalam keadaan yang baik dan tidak ada yang tertinggal; buku bacaan, beberapa lembar kertas, sebuah pena, sebuah kacamata, alat make up, sebotol cairan lensa, mukena, dan sebotol air minum yang telah kuisi penuh. Aku tak lekas pergi, aku masih harus membereskan berkas-berkas yang berantakan di meja kerja; berkas pengadilan, berkas perjanjian dengan bank, bukti uang masuk dan uang keluar yang sengaja aku letakkan ke dalam drawer untuk mereka beristirahat sebelum mereka ku acak-acak lagi esok pagi. Oh ya, aku tak lupa mematikan dahulu komputerku sambil membaca "alhamdulillah" atas pekerjaan yang telah kuselesaikan hari ini.

Adalah bahagia yang sangat sederhana ketika pukul setengah tujuh aku melewati lorong menuju finger print ini berada. Rasanya seperti "wah" bagi pegawai minoritas sepertiku yang hampir setiap harinya pulang selalu diatas jam delapan.

"Pilar, aku udah naik bis ya. Setengah jam lagi mungkin aku akan sampai."

***

Dua buah mata dari masing-masing yang kita punya, kini saling menatap sesama lawannya kembali. Sebelah mata kananku kini dapat lagi melihat mata sipitmu sebelah kiri. Lalu bagian kiriku yang tak mau hilang kesempatan untuk menatap mata kirimu.

Kau ingat tentang beberapa pertemuan silam kita, kedua mata kita juga pernah melakukan hal serupa, namun kali ini berbeda. Tak ada lagi sesuatu yang membuat kita tersenyum malu-malu saat kedua mata kita bertemu.

Kafe ini masih seperti apa adanya, tak ada yang berubah, tapi tidak dengan pertemuan kita. Tak lagi ada cerita tentang cinta yang kita buat bersama-sama; ocehan-ocehan yang keluar dari masing-masing mulut kita, yang kita harap bisa membuat lama-lama kita dalam asmara.

Pertemuan ini tak lagi sama. Kita memang bicara soal masa depan, tapi untuk masa depan masing-masing.


"Permisi, nih Sidikalang dan Kintamaninya, jangan diaduk dulu sampai bunyi ya". Pelayang itu menaruh dua cangkir kopi yang dibawanya dari dapur. Senyum pelayan itu masih sama, tapi tidak dengan pertemuan kita. Ia tidak tahu, kita tak lagi sama tentang cinta.

Tuesday, May 19, 2015

Pintu Belakang Rumahmu


Aku sudah sejak sekian lama memperhatikanmu dari kejauhan. Keceriaanmu bermain bersama boneka-boneka yang berserakan seringkali tidak mengacuhkanku yang melihatmu dari depan rumahku. Aku tertegun melihatmu, sebab karenamu, aku jadi rindu anakku yang tiga tahun silam telah mati diambil kanker yang menggerogotinya.

Rambutmu ikal sebahu. Kulitmu putih mulus. Badanmu sekel dan berisi. Kata tetangga, kamu itu besar dan bongsor, tak pantas rasanya kamu memegang usiamu yang lima. Matamu bulat, kalau kata lagu matamu seperti mata bola pingpong.

Ingin rasanya aku berkenalan dan bercengkrama denganmu, menghabiskan sisa-sisa seharianku untuk bermain bersamamu; dengan boneka, rumah-rumahan, dan masak-masakan.

Kamu tahu? Sebab adalah rindu yang paling lara ketika melihatmu ceria namun aku tak bisa bersamamu. Kehilangan yang menyebabkanku depresi berbulan-bulan karena dia adalah anak yang telah lama aku idamkan bersama sang suami. Namun, aku tak mengerti maksud Tuhan, mengapa ia mengambil lagi anakku. Sampai suatu ketika, aku tak lagi sanggup menahan rindu untuk bermain denganmu.

***

"Pak maaf, ada yang lihat istri saya kemana? Sudah jam sembilan malam dan dia belum pulang. Saya khawatir dengannya, dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Ia selalu ijin dengan saya sebelum keluar, meski ke warung saja." Tanyaku pada warga komplek tempatku tinggal. Namun tak satupun dari warga yang ku tanyai mengetahui keberadaannya.

Aku tak bisa pulang tanpa istriku. Aku khawatir. Sudah jam dua. Aku masih mencarinya bersama bapak-bapak yang ronda.

***

"Om-om, om yang nyariin tante-tante yang hilang itu ya?? Aku pernah lihat tantenya om masuk kerumah kosong itu om." Sahut seorang anak kecil yang berambut ikal sebahu itu sambil menunjuk rumah yang sudah tua, usang dan sangatlah tidak terawat.

"Terimakasih, Nak. Lalu dia bisa masuk darimana?? Pagar pintu depan saja dikunci, manalah dia bisa masuk??" Tanyaku lagi.

"Ia masuk lewat pintu belakang rumah itu om." Sahutnya sambil lari meninggalkanku.

Aku tak mau membuang waktu lebih lama lagi. Bersama warga sekitar aku membuka pagar rumah itu. Kami mencoba memasukinya lewat pintu depan, namun sampai kamu mendobraknya pun tetap tidak bisa terbuka. Aku ingat dengan anak kecil itu, istriku memasuki rumah ini melalui pintu belakang katanya.

Aku bersama warga lari kepintu belakang rumah itu. Ilalang, bunga-bunga liar sudah memenuhi pintu ini. Aku membuka secara perlahan, dan bau darah dan aroma busuk memenuhi penciuman kami. Dan aku menemukannya dengan pisau serta boneka berambut ikal sebahu, yang kuinggat itu adalah boneka yang kubeli untuk anak perempuank tiga tahun silam. Dan rupanya ia sedang bermain masak-masakan dengan boneka itu.

Tuesday, May 12, 2015

Puthut Ea dan Perjalanan Cilandak - Kp. Rambutan


Selamat menikmati perjalanan yang mungkin panjang bagimu, perempuanku. Jadikanlah aku sebagai teman yang paling manis dalam tanganmu. Mari merapal setiap halaman yang kupunya secara perlahan. Nikmatilah dengan sebotol teh yang telah kau beli di minimarket pinggir jalan itu, jalanan yang "jegluk-jegluk", pembicaraan orang disekelilingmu, nyanyian dari suara-suara seniman jalanan dan panas yang dipancarkan matahari. Berhati-hatilah, sebab dunia semakin aneh dengan segala isinya; orang berpakaian baik belumlah tentu dia benar dalam keadaan baik, sedang orang berpenampilan lusuh belumlah tentu dia berperilaku lusuh.

Janganlah khawatir dengan kemungkinan kebosanan yang tercipta dari dirimu sendiri. Sebab ketahuilah, akulah yang paling setia menemanimu selama perjalanan.

Sabtu, 9 Mei 2015.

Saturday, April 25, 2015

Senja yang Mengeluh


"Aku sudah datang, sudah waktunya kamu harus pulang. Kamu gak ingin pulang?" Tutur senja yang menyambut kedatanganku di gedung yang harus kukunjungi untuk keperluan rapat sore ini. 

"Mau lah, aku ingin beristirahat pun, kalau bukan karena tuntutan sebagai pegawai, mungkin aku sudah beranjakkan kakiku dari tempat ini. Pintu rumah sudah siap menanti kedatanganku bukan? Pun dengan segala isi didalamnya; kasur, guling, perkumpulan nasi, lauk pauknya, teh manis hangat, termasuk ibu." Tukasku sambil berjalan menuju gedung rapat.

"Kau tak lagi rindu padaku ya?? Kau tak lagi ingin memuji keindahanku di setiap kali aku datang untuk mengantarkanmu kembali ke ibumu? Kau tak lagi ada hasrat untuk mengambil pose tubuhku melalui telepon genggammu itu ya?"

"Tak seperti itu senja, ini harus kulakukan. Kau harus tau, sungguh aku sangat-sangat rindu terhadapmu. Sangat ingin melihatmu lagi lamat-lamat dengan kedua mataku. Sangat ingin lagi aku mengambil posemu yang cantik itu lalu ku abadikan untuk sekedar ku bagikan lewat beberapa akun media sosial atau hanya sekedar ku nikmati sendiri".  

"Kau bahkan sekarang lebih memilih berbagi waktu dengan malam yang lebih larut, bahkan kau lebih sering membagi kisah laramu terhadapnya ketimbang kau saat bersamaku. Kau lebih sering memujiku daripada kau membagi laramu. Lantas, aku ini hanya bentuk dari pesona yang indah saja? Lantas, tak pantaskah aku pula untuk mendengar laramu??" 

Lalu senja berubah menjadi awan yang keabu-abuan. Angin mulai menggoyangkan pakaianku, termasuk tubuhku yang sudah lelah. Senjapun menangis. Air matanya lalu turun, perlahan tapi pas menyentuh di kedua mataku. Sejenak aku kembali berpikir "kapan terakhir kali aku pulang pada senja?? Ah ya itu dua bulan yang lalu, selebihnya aku memang berdua pada pukul 8 hingga 11". 

Lantas aku membuka pintu gedung itu, memberikan senyuman terbaik meski lelah dalam sebenarnya. Aku memijit arah ke atas lift. Pintu lift terbuka hingga tibalah aku di lantai sepuluh. "Ya Allah aku harus pulang jam berapa lagi?"

"Cobalah untuk berusaha menemuiku lagi. Sampaikanlah pada yang memberimu upah untuk tak lagi menyuruhmu pulang malam, sesekalaipun tak apa. Bilang padanya kau merindukanku, pun denganku. Atau kalau segan, berdoalah agar urusannya cepat diselesaikan. Selamat bekerja (kembali) kesayangan yang selalu memujiku. Aku sampaikan rasa cemburuku pada hujan yang mulai turun, mungkin ia akan menyampaikannya melalui kaca yang kau lihat dari lantai sepuluh. Selamat mengecap malam kesayangan yang selalu memujiku, aku rindu padamu". Tutur senja. 

Friday, April 24, 2015

Pertemuan Singkat


"Halo" sapanya dari sebelah. Kujawab iya pada sapaan itu.
"Sabtu malam nanti ku jadi kerumahmu ya, mungkin sore ku berangkat biar gak keburu hujan. Kamu nau dibawain apa?". Lanjut tanyanya. 
"Bayarlah saja dulu hutang-hutanmu, pertemuan berikutnya baru ku minta dibawakan".
"Siap jendral. Aku bawa sesuai permintaanmu. Tunggu aku ya." 

Sambungan terputus. Sudah pukul tiga waktu petang. Udara masih sangat panas diluar. Aku bersiap-siap untuk menyambut kedatangannya. 


"Hai". Sapanya dari balik pagar rumah. 

"Mari masuk, sudah kusiapkan makan malam buatmu". 
"Tak usah, aku harusng langsung pulang. Aku harus membayar hutang-hutangku pada perempuan lain. Singgah dirumahmu untuk pertemuan selanjutnya saja. Ini janjiku. Lunas sudah hutangku? Aku pergi ya.'

Ia memutar balik arah motornya. Lalu melaju

Friday, April 10, 2015

Mahar Malam pada Kesendirian

Seperangkat mahar yang malam berikan dengan penuh kasih pada kesendirian; sebuah buku tentang Karl Marx, secangkir kopi Mandailing yang dimasak pada suhu arabica, dua lembar roti yang dibakar dengan isi meisis cokelat dan hiasan keju diatasnya, sepasang kacamata untuk melengkapi kesendirian membaca buku Karl Marx.

"Terimakasih telah mengerti untuk suasana hati kali ini, malam. Semoga dinginmu menambah keramaian terhadap diri." Ujar kesendirian pada malam.

"Sama-sama. Nikmatilah kehidupanmu selama engkau masih bisa menikmati. Lalu bersyukurlah. Jika ada mahar yang kurang dariku, sudilah kiranya engkau memanggilku kembali." Ucap si malam.

Malam kemudian bekerja sebagaimana mestinya. Si kesendirian sudah asik dengan suasananya. Beberapa keramaian dari celotehan-celotehan lelaki muncul beberapa meja dihadapannya. Asap-asap dari yang disebut Tuhan 9cm telah mengepul dari tadi.

"Aku masih setia untuk menunggumu disini. Aku pergi sampai engkau benar-benar memintaku untuk pergi." Lirih kesendirian

Thursday, April 9, 2015

Si Kopi dan Buku

Sudikah kiranya engkau menghabiskan malam ini melalui celoteh-celoteh pada tubuhku?" Sapa buku-buku pada setoples kopi yang berdiri tepat disampingnya.

"Malam ini terlalu dingin untuk kau bagikan sendiri, sayang. Marilah bermalam denganku. Kau boleh meraba tubuhku, lalu membacaku persatu kata. Kau bisa menikmati semuaku hingga kau merasa puas, asal kau tak sendiri lagi, sayang. Sebab malam terlalu egois membagi suasananya padamu, lalu aku rela berbagi kehangatan padamu."

Tak lama kemudian, si kopi pergi. Diantarkannya ia pada pilihan lain untuk membagj kedinginannya. Si buku tak diajak pergi.

"Maaf, sebab ia lebih membutuhkan kehangatanku dibandingku yang berada dalam toples itu. Bukankah aku diciptakan untuk seperti itu? Berbagi kehangatan dengan yang lain; asap-asap dari batang rokok, lelaki yang menghabiskan malamnya, lalu dengan celoteh dari mulut-mulut mereka. Aku berharap ada yang mengambilmu untuk ia bagikan kedinginanannya padamu, membasuh tubuhmu, lalu menjamahmu perkata-kata, lalu kita bisa berdampingan berdua." Ucap biji kopi yang telah menjadi secangkir minuman pada buku.

Tak lama kemudian, datanglah seorang perempuan. Sipit matanya tertutup oleh dua lensa yang menyanggah pada hidungnya. Hari belum terlalu malam, tapi dingin datang lebih dahulu.

"Mas, kok ada buku-buku". Tanya perempuan itu pada penjaga kafe.
"Iya, saya mau buka perpus. Ini baru sebagian. Selebihnya sedang pada proses." Jawab si penjaga pada perempuan yang bermata sipit itu.
"Aku pesen Mandailingnya ya, Mas. Sekalian ku pinjam Karl Marxnya ya". Pintanya.
"Iya ambil aja".

Perempuan itu memilih meja dekat tanaman-tanaman. Ia kemudian membaca buku yang dipilihnya. Tak lama kemudian, secangkir kopi datang dihadapannya.

"Syukurlah, kita bisa berdua kembali" ujar buku pada kopi. "Mari sama-sama memberi arti pada perempuan bermata sipit itu". Ujar si buku.

Thursday, April 2, 2015

Sendiri Menyepi


Adakalanya menyendiri itu lebih mengasyikkan daripada menghibur diri diantara keramaian. Sebab sedih tak melulu harus menghadirkan senyum sebagai penawarnya. Menyendiri bahkan lebih baik ketika futur itu menghampiri. Koreksi-koreksi diri harusnya mulai menyadari diri. Apakah benar yang sudah ku lakukan selama berhari-hari? Sebab hidayah tak punya kaki untuk berjalan. Hidayah laksana jelangkung yang jika menginginkan kehadirannya ku harus berjalan untuk menjemputnya.

"*Sendiri menyepi. Tenggelam dalam renungan. Ada apa aku seakan ku jauh dari ketenangan.
Perlahan kucari. Mengapa diriku hampa. Mungkin ada salah. Mungkin ku tersesat mungkin dan mungkin lagi." 

Hampa, bukanlah melulu sepi yang merindukan keramaian. Hampa bisa saja ada kala keramaian justru dianggap sebagai obatnya. Lalu, sudahkah ku mengoreksi diri??? Menghitung lalu mengingat-ngingat lagi apa yang sudah ku perbuat sebagai seorang mahluk yang sempurna diantara mahluk lain??

Ataukah hampa yang kurasa karena sebab lain? Mungkin dengan Mu, Ilahi?

"*Oh Tuhan aku merasa, sendiri menyepi. Inginku menangis menyesali diri mengapa terjadi. Sampai kapan ku begini. Resah tak bertepi. Kembalikan aku pada cahaya-Mu yang sempat menyala, benderang di hidupku."

Illahi, Kau tahu apa yang kurasa malam ini. Aku tak bisa menyenyakkan malamku kali ini. Meski telah ku coba untuk berwudhu, meminum segelas susu hangat, juga rapalan-rapalan doa yang ku harapkan bisa memejamkan mata, namun keresahan itu kembali menghalanginya.

Illahi, Kau lebih tau apa yang ada dalam hati sebenarnya. Kembalikan aku untuk menuju-Mu. Berikan lagi cahaya itu yang selalu aku punya saat futur tak menjadi teman. Ku hanya tak ingin Engkau menjauhi ku.

*Lirik dari Edcoustic - Sendiri Menyepi

Sunday, March 15, 2015

Ibu

Demi bumi yang kehausan akan cahaya di pagi hari
Matahari datang sedari tadi
Menyinari setiap pelosok bumi
Memenuhi tanggung jawabnya terhadap bumi

Hanya karena seorang anak
Sang ibu bangun sejak pagi buta
Meski matanya tak ingin membuka
Tapi ia tetap memaksa
Demi cintanya pada sang anak

Ibu layaknya matahari yang keikhlasannya sama-sama tak terperi

Sate Ayam

Sebab bukan sate ayam lagi yang dia butuh disetiap tanggal dua puluh delapan
Sebab bukan kwetiau goreng manis lagi yang dia inginkan untuk memenuhi keperluan perutnya yang lapar
Sebab hanya doa yang dia harapkan dari ketiga buah hatinya
Doa yang kan membuat dirinya merasa lapang walau hanya dalam wadah dua kali satu meter
Doa yang kan membuat dirinya merasa tidak perlu takut walau gelap adalah penerangnya
Doa yang kan membuat dirinya selalu nyaman berada di sisi Tuhannya

Aku telah menjemput rinduku hari ini
Rindu yang telah dia buat dua puluh tujuh hari silam
Lalu dia membuat rindu itu lagi selepas bait doa terakhir ku lantunkan~~

17 November 2014

Senin Malam

Mari sini, sayang
Duduklah dengan mania disampingku
Sebab malam telah tiba dan polusi cahaya telah bertebaran

Ini Senin malam menjelang Selasa, sayang
Mari kita habiskan cerita tentang sabar yang katanya tak punya kiamatnya
Sebab hari ini aku telah sampai pada titik terjenuh sabar yang menunggu

2 Maret 2015, #SeninBerpuisi ~ Klub Buku Tangerang

Tuesday, March 10, 2015

Cokelat Sebelas Bar

Begitulah ia mengajariku berbagi. Sebab katanya berbagi tak baik hanya dimiliki seorang diri. 

Dua tahun yang lalu aku mengenalinya sebagai pegawai kontrak baru di tempat kerjaku. Tubuhnya mungil dengan muka yang sepertinya berdusta pada usia yang dikabarkannya. Ia tersenyum sambil mengenalkan namanya padaku. Aku menjabat tangannya. Tuhan, perempuan ini lembut sekali, pikirku. Ia mengenakan kemeja merah muda dengan celana panjang dan kerudung motif bunga-bunga menutupi kepalanya.

Seminggu setelah perkenalannya, fakta berkata lain pada penglihatan pertamaku. Kupikir ia adalah perempuan yang pendiam, nyatanya tidak, ia adalah perempuan yang sangat riang. Tingkah lakunya yang seperti kanak-kanak justru membuat penat kami selama bekerja hilang.

Sebulan setelah perkenalannya,  aku baru tahu ternyata ia suka sekali dengan cokelat. "Cokelat sebelas bar" begitulah yang dikatakannya padaku. Selain sifat dia yang baik pada semua orang, ia juga terkenal sebagai pemalak cokelat.

Ia selalu meminta tagihan berupa "cokelat sebelas bar" pada setiap orang yang butuh padanya, seperti; minta data pekerjaannya. Anehnya, orang-orang yang dimintai cokelat itu selalu memberikannya bahkan tanpa diminta.

Satu hal yang ku kagumi darinya, setiap ia mendapatkan cokelat hasil "palakannya" itu, ia selalu membagikan cokelat itu kepada teman-temanya masing-masing satu bar, bahkan tak jarang ia tidak kebagian cokelat hasil "palakan"nya itu. Aku pernah menanyakan padanya, kenapa tak dia nikmati sendiri saja cokelat itu. Ia cuma bilang "namanya juga rezeki, masa mau dinikmati sendiri, bukannya Tuhan juga memberikan kita rezeki lewat tangan-tangan mereka? Mungkin bukan lewat materi, tapi lewat kesediaan mereka menjadi temanku, lagian bahagia gak baik untuk dihabiskan sendiri, bukan? ".

"Cokelat itu asalnya pahit. Tapi sedikit saja dia diramu, dia bisa mengobati rasa sedih kita." Begitulah katanya sambil memberikan beberapa potong bar cokelat pada saat ku dilanda masalag.

Dan itulah dia, perempuan cokelat sebelas bar. Tak hanya sekedar berbagi yang bisa kupelajari dari cokelatnya, namun banyak hal.

-------

"Segeralah membaik perempuan cokelat sebelas barku, setelah sadar nanti akan kubelikan untukmu cokelat lebih dari sebelas bar"


Sunday, March 8, 2015

Lampu Remang Bis Antar Kota

Yaaaa. . Aku pulang dengan langkah sedikit lemas dan beberapa potong rasa kecewa. Lemas karena bagian kaki kiriku sakit sejak beberapa hari, dan beberapa potong rasa kecewa seperti; libur hari Jum'at yang hanya tinggal angan-angan dan bis yang sudah ditunggu sejak sejam yang lalu yang belum tiba jua. Langit tak ada jingganya. Ia menampakkan muramnya dengan menunjukkan mukanya yang berwarna abu-abu (yang sesungguhnya aku tak tau pasti warnanya apa). Aku melirik jam lagi. Sudah maghrib rupanya. Aku bergegas bangun dari tempat dudukku di pinggir jalan, berjalan pelan melewati pom bensin dan sebuah mini market. Aku membelokkan langkahku kearah kanan, kudapati mushala yang sudah penuh dengan kawanan laki-laki. Akupun sembahyang.

~~~

Lebih dari sepuluh menit aku menanti kedatangannya, bis maksudku. Sambil mengisi kekosongan waktu aku berbicara dengan perempuan di sebelahku yang sama-sama menunggu. Ah yaa. . perihal menunggu itu memang tak selalu menyenangkan bukan? Seperti aku yang menunggu kapan kepastian itu datang dari dirimu, Tuan?

Bispun tiba. Aku bersyukur, sebab kudapati ia dengan banyak kesempatan untuk duduk. Aku meninggalkan perempuan itu sendirian. Ia masih menunggu teman, katanya. Ya dan sekali lagi menunggu itu mematikan mood yang baik. Aku duduk di barisan kelima dari depan dengan kursi yang berjajar tiga. Perlahan lalu aku kembali menjamah badan buku yang seharusnya sebentar lagi selesai kusentuh. Aku membayar tarif pulang pada kernet yang ramah itu. Ah ya sudah tiga hari berturut-turut aku menaiki bisnya. Bahkan pada hari pertama itu aku menaiki bisnya berangkat dan pulang kerja. Aku masih menikmati bacaanku, sampai tiba aku membalas pesan WAku dan kudapati lampu bis yang mati. Sebuah lampu berukuran watt yang lebih kecil dan berwarna kuning dinyalakan . .


Aku masih menikmati gelap yang tak sepenuhya dari dalam bis ini. Sebab bias cahaya kota mampu menjadi tambahan cahaya remang bagi orang-orang di dalamnya. Kupikir dengan supir bus mematikan lampunya, penghuninya akan 'mati' juga dalam beberapa saat, nyatanya tidak. Ada yang sebagian mengobrol dengan teman sebelahnya dengan suara yang lantang, dan ada sebagian lain, lebih tepatnya di depanku dua orang ibu-ibu yang sibuk membicarakan bis yang semakin jarang, bis yang semakin telat datangnya, kemacetan dan perihal yang tak bisa izin kerja.

Dua lelaki disebelah kanan dan kiriku telah sampai pada titik nyaman mereka, aku melirik keduanya, tak lama kemudian,  lampu remang bis kota ini mampu menjadi nina boboku untuk waktu yang sangat tanggung ~~

Jakarta, 24 Desember 2014 

Lelaki yang Pergi dengan Sepeda

Aku mendapati diri dalam keadaan mata yang menggenang. Aku bertemu (lagi) dengan lelaki itu dalam mimpi. Ia mengenakan kaos bola dengan paduan warna orange dan hitam, berlogokan angka 9 pada bagian punggungnya. Ia mengenakan celana pendek sedengkul berwana cokelat muda.  Terlihat sangat jelas bagaimana mimpi itu menggambarkan sosoknya; senyumnya yang kempot akibat beberapa gigi depannya yang telah tanggal, legam warna kulitnya, dan sebaris kelelahan yang tergambar garis kerut wajahnya. Lelaki itu tersenyum persis seperti saat kulihat untuk yang terakhirnya. Saat aku bertanya "mau kemana" ia hanya tersenyum lalu mengambil sepeda tuanya yang saat ini masih bertengger manis dirumah lalu ia pergi tanpa mengacuhkanku yang ingin dibonceng di jok belakangnya.

 Source
"Teh bangun, jam enam". Suara ibu terdengar dari dapur, membangunkanku. Aku baru sadar, pukul setengah empat dini hari tadi, aku menangis, mengadu pada Tuhanku untuk menyampaikan rindu pada lelaki yang hadir dalam mimpi. Aku bergegas membenahi muka lalu melangkah ke dapur "bu, tadi lia ketemu ayah lagi".

Tangerang, 12 Februari 2015

Donat-Donat yang Sisa

Jingga saat itu sedang tidak menduduki singgasananya pada senja. Namun hujan tak kunjung datang mendampingi langit yang kelabu juga serentetan petir yang datang sesekali.

Gadis kecil itu berjalan dengan tenaganya yang sisa-sisa. Ia telah kalah pada donat-donat yang masih tersisa di tetampahnya. "Aku lelah, Tuhan. Aku telah menghabiskan separuh waktuku dengan menjajakan donat ini, namun hanya sedikit yang berhasil kujajakan. Tuhan tidakkah Kau lihat, aku lelah."

"Assalammualaikum". Gadis kecil itu masuk ke gubuknya. Ia pergi ke dapur tempat ibunya membuat donat.

"Bu, mengapa Allah tak memberikan rezeki pada kita hari ini? Tidakkah Dia lihat aku telah bersusah payah menjajakan donat ini?"

Sambil mematikan tungku dihadapannya, sang ibu menimpali pertanyaan anaknya, "Sayang, apakah rezeki itu hanya berlaku pada habisnya donat-donat yang ada pada tetampahmu? Kamu bisa kembali pulang dengan selamat saja, itu adalah rezeki yang jauh lebih bernilai daripada donat yang berhasil kamu jajakan."

Ibu mengajak gadis kecil itu ke ruang tengah. "Yuk makan, pasti kamu laper banget udah berjalan jauh". Gadis kecil itupun mengikuti ibunya sambil membawa dua buah piring, dua buah sendok, dan dua buah gelas.

"Bu kenapa Allah menyuruh kita hidup dengan penuh ujian? Apa Allah tak sayang lagi pada kita? Kita tak ada rumah yang layak, rezeki kita pun seret, kadang makan, kadang enggak."

Ibu hanya tersenyum melihat polah gadis kecilnya. "Sudah besar rupanya kamu. Okeh sederhana saja ya, kamu tau cara membuat nasi ini bagaimana?" Tanyanya pada gadis kecil itu. Gadis kecil itu lalu menjelaskan bagaimana proses dari benih, padi, beras hingga menjadi nasi.

"Hidup itu sebuah proses,nikmatilah prosesnya, bersyukurlah. Ujian tak hanya dirasakan pada kita yang miskin. Kamu beranggapan orang kaya tak lagi merasakan ujian, itu hanya karena kamu tidak menggunakan matamu untuk melihatnya. Ujian telah Allah ukur pada masing-masing ciptaan-Nya, tinggal bagaimana kita menanggapi ujian itu.

Wednesday, March 4, 2015

Perempuan "Keluar Tol" yang Mengejar Waktu





Sebab Waktu Tak Berlari Dibelakangmu

Sepasang jarum jam dengan asik bermain kejar-kejaran pada orbitnya. Si jarum pendek tengah asik bertengger pada angka tujuh, sedang si jarum panjang masih terus berlari mengejar jarum pendek. "Tujuh lewat lima belas" gumamnya dalam hati, "bisnya belum datang juga". Perempuan itu sudah gelisah, ia tak lagi bisa berdiri dengan tenang. Putar badan ke kanan, putar badan ke kiri, membaca buku, melihat handphonenya. "Ya Allah besok-besok mah berangkat jam tujuh kurang lima belas aja biar nunggunya gak kelamaan" keluhnya dalam hati.

Hari-hari sebelumnya, bis yang mengantarnya kerja selalu hadir tepat waktu, hampir jarang ia dijemput dalam keadaan telat. Namun beberapa bulan terakhir semenjak pengurangan armadanya, bis ini mulai mengingkari perempuan itu. Jamnya tak lagi teratur dan jika sedang sial, saat bis itu datang ia mendapati keadaannya sudah sesak, alias penuh, tak jarang si perempuan berdiri hingga perempuan itu mengakhiri perjalanannya. Kursi yang ia harapkan sebagai pengganti kasur sementara tinggal angan-angan yang berlalu saja.

***
Bis itu akhirnya datang setelah si jarum panjang dan pendek tengah pada posisi angka delapan. Perempuan itu naik dan seperti yang sudah ia duga, kursi-kursi bis itu sudah memiliki tuannya masing-masing, bahkan tempat duduk kernet pun telah terisi. Atas suruhan sang kernet, perempuan itu menuju ke bokong bis, mencari posisi yang nyaman untuk berdiri. Perempuan itu berdiri pada barisan ketiga dari belakang, ia menyenderkan sebagian punggungnya ke pinggiran kursi. Ia mengambil bahan bacaannya dari dalan tas, lalu menaruh tasnya ke tempat tas yang letaknya tepat diatas kursi yang berjajar dua.

Bispun melaju ~~

***
Bisakah saya untuk turun dan mengejar waktu yang berlari lebih dahulu didepan saya agar saya tak terengah-engah untuk mengejar jejaknya?

Bis yang mengantar perempuan itu telah sampai di jalur keluar tol Fatmawati dan Pondok Labu. Ya sudah menjadi rutinitas biasa, orang yang bekerja daerah Fatmawati dan sekitarnya akan turun sebelum bis itu keluar tol, pun begitu dengan perempuan itu. Jalanan yang macet dijam-jam keberangkatan kerja membuat orang lebih memilih turun di tol, lalu berjalan kaki. Ia lirik lagi jamnya, dua jarum jam itu memberitahunya sekarang telah sampai pada pukul sembilan. Masih ada seperempat jalan lagi untuk sampai pada jalur yang memisahkan keluar tol Fatmawati - Pondok Labu dengan Mampang - Rambutan. Perempuan itu sudah bersiap untu turun, ia telah mengambil kembali tasnya dari tempatnya. Ia berjalan menelusuri lorong bis menuju pintu depannya. Dengan senyum dan keramahannya, si kernet nempersilahkan perempuan itu turun.

Perempuan itu berjalan cepat, ia berharap ia dapat mengejar waktu yang telah lama berlari didepannya.

Wednesday, February 11, 2015

Kepada Perempuan yang Sebagian Hatinya Masih Terbawa Arus Rindu yang Berjarak

Kepada perempuan yang sebagian hatinya masih terbawa pada rindu yang berjarak,

"Hujan menyisakan basah seperti hatimu yang masih tertinggal disini" 

Aku lupa siapa orang yang bisa-bisanya menulis kalimat seperti itu. Aku mendapatinya pada sebuah karangannya di novel yang berjudul "Jika Hujan Pernah Bertanya". Mungkin kutipan itu sedang datang dan pergi mengetuk pintu hatimu. Datang pada saat suasana hati sedang tidak enak dan pergi begitu saja, lalu kembali lagi dan pergi lagi. Begitu terus entah sampai kapan nanti.

Tuhan menciptakan segala sesuatunya berdua-duaan, termasuk kita yang berprofresi sebagai kaum hawa. Kita yang tugasnya sebagai manusia tak pernah habis berpikir bagaimana kita bisa menemui jodoh kita masing-masing. Lalu sampai Allah mengirim kepada kita lelaki yang salah dalu. Ah ya, sebenarnya bukan lelakinya yang salah, tapi memang belum pas saja pada kita. 

Aku senang ketika kamu banyak menceritakan tentang lelaki itu, itu artinya kamu bisa mup on dari lelaki sebelumnya. Kamu banyak mengagumi dia. Kamu banyak memujinya sebagai lelaki yang baik, ya memang dia baik, sebab selama aku mendengarkan ceritamu aku tak pernah mendapatinya dia sedang di rumah sakit (hihihi, okey ini guyon). 

Kamu mulai dekat dengannya sampai kamu menemui perasaan itu. Lalu kamu bertanya padaku apa yang sebaiknya aku lakukan jika ku dalam posisimu. Lalu kujawab seperti prinsipku: " mencintai dalam diam dan berharap dalam doa". Aku menyodorkanmu pada dua pilihan. Katakan atau diam. 

Beberapa waktu aku tak mendengarkan cerita-ceritamu tentang lelaki itu. Sampai suatu ketika aku mendapatimu yang sedang berbunga-bunga karena pada akhirnya, penantianmu dari pendekatanmu dengannya berujung manis. Akupun senang mendengarnya. 

Namun aku tak menduga, ketika beberapa waktu kemudian kamu bercerita kamu tak lagi dengan lelakimu. Kamu menangis lagi. . .

Kepada perempuan yang sebagian hatinya masih terbawa pada arus rindu yang berjarak, 

Sebab jarak bukanlah sebenar-benarnya alasan untuk tidak mencintai sesama. Sebab terlalu baik bukanlah alasan yang patut diterima (buatku) untuk mengakhiri suatu hubungan. Bukankah setiap manusia menginginkan orang yang baik untuk mendampinginya? Alasan klasik yang menurutku dia adalah lelaki yang pengecut. Kalian sama-sama memulai perasaan itu. Sama-sama memiliki alasan untuk saling memiliki perasaan, namun hanya dengan karena cinta yang terlalu baik, kamu menghadirkan (lagi) luka itu.
Sebab alasan-alasan bahwa denganmu lelaki itu seperti mengingat masa lalunya adalah hal yang membuatku seperti ingin menghajar lelakimu. Sebab dia telah menyakiti sahabatku sendiri. 

Aku takkan menyalahkanmu karena telah bertindak bodoh. Sebab semua keputusan akan ada risiko. Aku tak akan menyuruhmu untuk cepat-cepat melupakannya,untuk tidak memikirkannya. Sebab kita tak pernah bisa melarang si pikiran yang terkadang tiba-tiba hadir tentang lelakimu. Namun, kita pasti punya banyak cara untuk perlahan-perlahan melupakannya.

Kepada perempuan yang sebagian hatinya masih terbawa pada arus rindu yang berjarak, 

Allah tak pernah salah memasangkan pada kita rusuk-rusuk itu. Sebab burung akan kembali pada sangkarnya, dan jodoh akan datang pada pasangannya. 

Tersenyumlah selalu pada hari-hari yang menanti senyum itu. Sebab senyummu bukan untuk dirimu sendiri, tapi juga untukku sebagai teman baikmu. Menangislah untuk hal yang mungkin lebih penting daripada menangis untuk lelakimu misalnya: menangis untuk ketidakbaikkan yang telah kita perbuat hari ini, menangis karena kita belum banyak berlaku baik pada sesama, bukankah hal itu lebih berguna?? Atau menangislah pada setiap sujud-sujud terakhirmu, sebab Tuhan mungkin sedang pada rindu-rindunya denganmu. 

Kepada perempuan yang sebagian hatinya masih terbawa pada arus rindu yang berjarak,

Aku disini, berdiri disampingmu untuk sama-sama memperbaiki diri. Menjadikan kebaikan-kebaikan datang ke setiap masing-masing diri kita. Menyiapkan masa yang akan datang dengan mengisinya kegiatan yang lebih berguna, tentu sambil kita tak melupakan mencari lelaki yang pas untuk saat nanti..

Jakarta, 11 Februari 2015

Friday, January 9, 2015

Kepada Perempuan yang Sedang Mengulangi Harinya


Aku menemui perempuan itu dihari pertamanya bekerja. Kedua mata dengan lensanya, rambutnya yang tergerai hingga bahu, tinggi yang tak sejauh berapa dariku. Aku memperhatikan perempuan itu. Sudah bulan kedua aku dididik menjadi kapitalis di tempat ini. Dia menjadi kawan kapitalis baruku. Tak lama setelah kedatangannya, aku diperkenalkan kepadanya, dan dari sana ku tahu namanya, perempuan cantik itu bernama Mega ~~
P

Kepada perempuan yang sedang mengulang hari lahirnya, maaf kala ragaku tak mampu menyampaikan langsung kepada kedua matamu, tak lagi sanggup menggandeng kedua tanganmu, tak lagi bertemu dalam peluk. 

Lewat doa yang mengudara pada jarak antara kita
aku mendoakan segala yang terbaik buatmu
Terutama untuk keberkahan dalam sisa usiamu

Kepada perempuan yang sedang berkurang usianya
Tetaplah untuk setia menjadi wanita yang cantik akhlaknya
Yang dari kedua tangannya kamu bisa mempengaruhi semesta menjadi lebih baik ~~ 

Selamat mengulang hari qaqa Mega ~~ segala doa terbaik ku aamiinkan, jangan lupa untuk selalu bahagia :)




Thursday, January 8, 2015

Tentang (Bukan) Bang Toyib yang Tak Pulang



Enam jam dari sekarang, aku akan tiba di kotamu. Kota yang sempat mempertemukan kita diacara pentas wayang waktu itu. Aku tak peduli, mau marah atau tidak, aku akan tetap mencarimu, meski pencarian itu bukan buatku.

Andai bukan karena cibiran dari tetangga-tetangga rumah, aku takkan mau melakukan tindak hal bodoh semacam ini.

Dulu janjimu adalah sepucuk surat yang setiap bulan akan sampai pada rumahku,, ah ya rumah kita, sebab sebagian waktu dahulu sebelum tiga tahun itu kita pernah berteduh di atap ini. Namun nyatanya sepucuk suratmu tak pernah sampai lagi di rumah, setelah lima surat sebelumnya mendarat dengan selamat.

Aku senang ketika ku membuka pintu untuk menyambut tukang pos yang datang membawa suratmu. Sebab dari sanalah ku tahu kamu baik-baik saja. Tapi sejak bulan kelima berikutnya, sepertinya tukang pos tak lagi sudi berkunjung ke rumah untuk nengabarkan kepadaku bahwa kamu baik-baik saja. . .

-------

Satu jam lagi dari sekarang aku akan tiba di kotamu. Kota yang pernah menjadi saksi atas cinta kita. Di kota ini, kamu berjanji padaku untuk setia sampai mati hidup bersamaku. Di depan seorang penghulu, dua orang saksi dan ayahku kamu mengucapkan janji itu. Penghulupun mendongengkan tentang hak dan kewajiban kita sebagai pasangan, kau mendengarkan dengan saksama, tapi tidak denganku yang kala itu sangat ngantuk akibat bulu mata yang membahana.

Tapi, untuk apa kamu mendengarkan dengan saksama tentang hak dan kewajiban kita sebagai pasangan, namun nyatanya kamu tak memenuhi semua itu sekarang??

-------

Aku telah sampai pada kotamu. Kota yang dulu membuatku menjadi wanita yang paling bahagia. Tiga lebaran yang lalu aku dikawinkan dengan lelaki yang aku cintai.

Aku tak pernah berpikir sebelumnya, bagaimana bisa aku akan menemuimu di kota yang sebesar ini. Ini memang bukan Jakarta, tapi luasnya kota ini memksa otakku berputar sebanyak tujuh putaran.

-------

Andai bukan karena anakmu yang memanggil-manggil namamu, aku tak kan mau mencarimu meski tiga kali puasa dan tiga kali lebaran kamu tak kunjung datang ke rumah sebab ku tak lagi menginginkanmu yang tak lagi seperti dulu ~~