Saturday, April 26, 2014

Ketika Aku Harus Memilih

Aku kembali ke rumah dalam keadaan sangat letih. Tumpukan kertas yang berisikan data pelanggan belum selesai kuketik. Entah mengapa akhir-akhir ini sering sekali atasanku menambahkan kerjaan yang entah kapan berujung. Biasanya aku akan menambah jam kerja hingga pukul delapan malam. Namun tubuhku tak sanggup lagi untuk berlama-lama diruangan ini.

Aku telah duduk manis didalam bis setelah hampir satu jam aku menunggu. Belum aku mendapati posisi duduk yang nyaman, pengamen jalanan yang berjumlah tiga orang maduk kedalam bis.

Dirinya, diriku tergila-gila padamu 
Cintanya cintaku sama besar kepadamu
Mungkinkah kiranya cinta segitiga kan mencampai bahagia

"Yassalam kenapa mereka nyanyi lagu ini." Gerutuku dalam hati. Lalu seketika aku teringat kembali pada perempuan yang telah mengenal lama lelaki yang aku cintai, leaki yang aku telah menaruh rasa yang amat sangat padanya. Rina begitulah sekiranya dan Usman lelakiku.

Aku memang baru mengenal Usman dua tahun, dan kami menjalin hubungan yang dekat baru enam bulan. Namun jika dibandingkan, Rina jauh lebih dekat dengan Usman, mereka sahabat sejak bangku SMA.

Aku bertemu Usman saat aku, Usman dan temannya mengisi acara di sekolah darurat. Sekolah yang hanya jam pelajaranya di hari Sabtu dan Minggu.

Minggu, 27 April 2012

Hari ini pertama kalinya aku akab mengisi acara disekolah tersebut. Aku mengetahui dari teman kerja yang ternyata aktivis disana. Saat itu temanku tidak bisa menjemputku dan ia malah memberi nomor telepon dan katanya jika aku takut tersesat aku bisa bareng dengan dia

Sejak dari sekolah itu aku dan Usman menjadi sangat dekat. Terlebih karena arah pulang kami yang sama, jadi aku lebih banyak waktu. Usman sering bercerita tentang Rina, sahabat dekatnya. Apapun akan selalu ia ceritakan pada Rina, termasuk tentang aku. Ia pernah heran pada Rina, mengapa perempuan sebaik dia belum punya pendamping. Lalu aku meledekinya dengan ucapan "Mungkin Rina menunggumu Man" dia hanya menanggapi dengan senyuman, lalu "Aku hanya sahabat sama Rina, Has, lagipula yang aku tunggu itu kamu Has." Lanjutnya sambil tersenyum.

27 November 2013

"Aku mencintaimu Has, maukah kau berbagi cerita denganku?" Tanyanya suatu siang selepas pulang bermain disekolah itu. Aku mengiyakan. Lagipula aku sebenarnya juga punya rasa yang sama hanya saja aku belum mau mengungkapkannya.

Setelah beberapa minggu aku bersama, Usman memperkenalkan aku pada Rina. Rina kemudian menjadi sahabat dekatku. Namun pada suatu hari aku tak sengaja mendengar ucapan Rina dan Usman soal perasaab Rina, selama ini ia tak pernah lagi dekat dengan lelaki karena Rina menunggu Usman. Sampai suatu hari Rina mengetahui bahwa Usman telah bersamaku. Dari sana pula aku mengetahui jikalau Rina pernah sempat koma setelah tau Usman bersamaku.


Aku tak pernah menyangka akan serumit ini tentang cinta
Aku tak rela untuk benar-benar melepaskanmu
Bahkan untuk kehilangan dirimu sedetik dalam benakku saja aku enggan
Namun saat datang padamu 
Seseorang yang sama besar cintanya terhadapmu
Aku tak tahu harus melakukan apa
Merelakannu atau Melepasmu?


Friday, April 25, 2014

Teruntuk sobat karibku, saudara kembarku Fatmawati “Upil” Hakim.

Hai kecil, bagaimana kabarmu? Tak perlu kau jawab aku sudah tau, kau masih dalam keadaan sakit bukan? Kakimu belum pulih dari jatuhmu itu bukan?. Kau nakal upil. Kau tak hati-hati, ah andai saja waktu itu aku masih ada, pasti aku akan ngoceh-ngoceh sama kamu. Aku minta maaf ya, aku masih saja belum bisa menjengukmu, aku doa dari sini ya . Eh iya lain kali ajaklah aku kerumahmu, biar aku bisa main-main .
Pil, seperti yang kamu tau, musibah apapun yang datangnya dari Allah, cobalah untuk tetap bersyukur. Jika tak salah ingat, tapi kalau salah, maafkan atas kelemahan ingatanku ini ya, hehehe, aku pernah bercerita padamu tentang suatu penyakit bukan? Yang jika tak salah ingat pula, begini ceritanya

Apabila seorang hamba Allah jatuh sakit, Allah akan mengutus 4 malaikat;
  1. Malaikat pertama akan mengambil selera makannya
  2. Malaikat kedua akan mengambil rezekinya
  3. Malaikat ketiga akan mengambil kecantikan/ketampanannya
  4. Malaikat keempat akan mengambil dosanya
 Apabila telah sampai waktu yang telah Allah tetapkan untuk hamba-Nya kembali sehat, Allah akan menyuruh malaikat ke satu, dua, tiga agar mengembalikan kembali apa yang telah diambilkan kepada mereka. Namun Allah tidak menyuruh malaikat keempat untuk mengembalikan kembali dosa yang telah diambilnya.”

Jadi, sudahkah kamu ikhlas upil? Hehehe. Oh iya ada satu lagi lagu bagus buatmu, buat muhasabah diri. Lagu ini judulnya Muhasabah Cinta dari Edcoustic, kira-kira liriknya seperti ini
Wahai pemilik nyawaku betapa lemah diriku ini
Berat ujian dari-Mu, kupasrahkan semua pada-Mu
Tuhan baru kusadar indah nikmat sehat itu
Tak pandai aku bersyukur, kini kuharapkan cinta-Mu
Kata-kata cinta terucap indah
Mengalir berdzikir di kidung doaku
Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku
Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang Kau beri untukku
Ampuni khilaf dan salah selama ini ya Illahi

Cepet sembuh ya upil, cepet pulih, biar kita bisa pecicilan bareng lagi. Kau rindu aku bukan? Aku sudah menunggumu sehat, nanti kalau ketemu aku mau oceh-ocehin kamu yaaaa, iyya .
Pernah sebagian waktu kita lalui bersama.
Masih ingatkah kamu bagaimana dahulu kita saling mengenal?
Hingga akhirnya kita bisa sedekat ini? Bahkan kita dianggap kembar
Si “Upil Ipil”, itulah nama kita
Tak rindukah kamu shalat bersamaku lagi?
Tak rindukah kamu makan sepiring berdua lagi?
Tak rindukah kamu kita pernah saling diam untuk beberapa waktu?
Tak rindukah kamu untuk kita berbagi cerita?
Cepatlah kembali dalam keadaan normal saudaraku
Lalu kita runtuhkan kerinduan itu dengan temu




#Jumatulis 6 Kopi, Kumis, Indera, Bunting, Roda Warung Kopi dan Dendam


Aku tak pernah menyesali apa yang telah kuperbuat. Aku merelakan diriku hidup di balik jeruji dalam keadaan bunting. Namun aku puas, telah membunuh si Bejat Pak Kumis. Disuatu siang yang lain pisau yang biasa kupergunakan untuk memotong pisang menancap pada ulu hatinya yang kala itu Pak Kumis kembali datang dengan muka dan indera penglihatan bejatnya. Setelahnya, aku kemudian melaporkan diri sambil kukayuh sepedaku yang rodanya mulai oleng.
Aku tak pernah lagi memikirkan ibu dan kankernya, ia sudah pergi dengan tenang setelah kejadian siang itu, kejadian yang membuat aku bunting, aku menemukan ibu sudah dalam keadaan terbujur kaku. Soal bunting ini dan bagaimana nanti anak ini nanti lahir bisa kupikirkan nanti, lagipula aku tak pernah menginginkan anak ini hidup.”
****
Nyai, saya seperti biasa ya, kopi hitam tanpa gula.” Pinta Pak Kumis disuatu siang. Saat itu udara sedang dingin, maklum sekarang sudah masuk Desember, sudah masuk musim penghujan. Aku bersyukur karena dengan udara yang dingin seperti ini, warung kopi kecilku jadi ramai, sudah tentu penghasilanku yang hanya mengandalkan warung kopi ini akan bertambah. Entah hanya perasaanku waktu itu saja atau memang sudah pertanda dari hal yang sangat aku benci, kejadian yang kini membuat aku jadi wanita yang pendendam.

Tak seperti biasanya, warung kopiku saat itu sangat sepi. Hujan mengguyur desaku dari pagi. Sejak awal matahari tak lagi menampakkan dirinya dihari itu, aku sudah malas rasanya untuk membuka warung kopiku, namun kebutuhanlah yang mendesakku. Ibu dan kanker darahnya sangat membutuhkan uang hasil penjualan kopi dan indomie rebus di warung kecil itu, maka meskipun aku ragu untuk membuka warung kopi, aku akan tetap berjualan, aku tak akan membiarkan kanker itu menguasai tubuh ibu dengan merdekanya.
Aku mengayuh sepeda ontel pemberian kakekku dulu menuju warung kopi. Rodanya masih sangat kokoh untuk menampung berat badanku yang semakin membesar ini. Dari awal aku memang sudah ragu, dan benar saja, roda sepedaku bocor. Bukannya aku tak mau menambal roda ontelku, namun bengkel sepeda didesaku hanya ada satu dan dia hanya buka di hari Jum’at. Akhirnya terpaksa aku berjalan disamping ontelku yang kini tak lagi muda menuju warung kopi.

Aku membuka pintu warung yang terbuat dari kayu, lalu aku membuka beberapa papan yang menutupi sebagian badan warung dan diluar hujan masih dengan seenaknya mengguyur bumi. Aku berjalan menuju dapur, aku mempersiapkan semuanya.
Sudah pukul dua siang, namun pelangganku hanya satu dua saja yang datang. Sungguh tak seperti biasanya. Bale yang biasanya ramai dengan lelaki yang memainkan kartu sepi. Hanya ada beberapa abang sopir angkutan umum yang hanya sekedar melepas lelah. Maklum saja, karena rute angkutan umum ini sangat jauh, dan angkutan inilah kendaraan desa kami satu-satunya.

Setelah abang sopir itu pergi, warungku menjadi sepi. Namun disaat itulah kejadian yang tak pernah aku inginkan terjadi. Burhan atau lebih sering dipanggil Pak Kumis dan beberapa temannya datang. Dari awal kedatangannya aku sudah punya firasat buruk bahkan sempat aku ingin menutup warungku, namun aku urungkan niatku itu. Aku tak enak hati, karena aku masih punya hutang banyak pada Pak Kumis si tua sialan ini.

Nyai, tumben sepi warungnya?”. Tanya Pak Kumis memulai percakapan ini. Jujur aku sebenarnya paling malas menjawab pertanyaan-pertanyaan dari si tua bangka ini. Indera penglihatannya yang sudah memancarkan nafsu bejatnya itu makin membuatku takut. “Hei Nyai, kau kenapa diam saja hah?”. Ia terus saja melihatku dengan pandangan yang tak mengenakkan. Ia tetap mengajakku bicara sambil memainkan kumisnya yang tebal diatas bibir itu. Aku tetap diam.

Nyai, udaranya dingin ya, sepertinya saya butuh kehangatan.” Pak Kumis masih tetap bicara sambil perlahan masuk ke tempatku berdiri.
Pak, saya bisa bikinin bapak kopi seperti biasa, tapi saya mohon agar bapak menunggu diluar, dapur saya sempit.” Pintaku. Tanpa kusadari, saat aku mulai menyeduh kopi Pak Kumis, tiba-tiba Pak Kumis memelukku dari belakang. Aku kaget. Aku memukulnya dengan kayu yang ada disekitarku, bahkan aku sempat menyiram tubuhnya dengan kopi yang baru terisi air mendidih setengah. Dia mengerang. Kupikir dia akan berhenti, namun dia semakin buas. Ia kemudian menamparku dengan sekuat tenaganya, dia memukul bagian belakang kepalaku. Aku tetap masih bisa mempertahankan diri. Namun kebejatannya Pak Kumis belum berakhir, ia mendorong tubuhku hingga terbentur bilik warung, dan aku kemudian dipukulinya kembali hingga aku tak sadarkan diri hingga kejadian itu terjadi.


Friday, April 18, 2014

Jumatulis #5 Ketiak - Ketiak

Ketiak
Saat ia memulai aksinya
Ia basah
Ia berbau
Ia masam
Ia lengket
Dan kita pun dijauhi

Ketiak
Saat dewi-dewi menghampiri
Ia kering
Ia tak berbau
Ia tak berbulu
Saat itu ia berguna bagi pemiliknya

Friday, April 11, 2014

Jumatulis #4 Sofa - Sofa dan Cerita Kehidupannya

Dua puluh tahun yang lalu aku sengaja diciptakan oleh tangan-tangan pecinta seni. Mereka menciptakanku sedemikian rupa agar aku nampak mempesona dan anggun. Tubuhku berwarna krem dengan tutul bunga-bunga berwana merah muda disekujur tubuh. Aku nampak lebih berisi ketika tanaman yang kalian sebut kapas dan beberapa tambahan busa masuk kedalam tubuhku. Lalu aku dibuat menjadi kuat dengan jati sebagai penyangga diri.
Aku kemudian berdiri kokoh disebuah bangunan yang sebagian penghuninya memang dari keluargaku. Aku telah dipindah tangankan oleh pembuatku ke penjual perkakas rumah. Dan aku tersadar, aku diciptakan memang bukan untuk dinikmati tangan yang penuh seni itu. Aku diciptakan karena aku adalah barang yang komersil.
 
Awal aku memasuki toko itu, aku sangat bingung. Aku tak tahu harus bagaimana, aku tak mengenal sekelilingku, dan aku berdiri dibarisan paling depan. Detik berganti menit, menit berganti jam, dan haripun telah berlalu. Aku mulai mengenali sekelilingku. Aku mulai terbiasa dengan keadaan sekelilingku. Tiap hari aku menghabiskan waktu bersama mereka, bercengkrama. Aku sangat suka dengan keadaanku sekarang, aku banyak dilihat orang, banyak yang menyentuhku, memujiku kemolekkanku. Hingga suatu ketika, “Pak, harga sofa ini berapa? Dia unik sekali ya, saya suka bentuk dan padu padan warnanya. Ini dijual kan ya Pak?.” Ada yang menanyakan tentang diriku, menanyakan hargaku, menanyakan dari apa aku terbuat. Aku tak tahu dia siapa, yang tergambar dalam rupa yang aku lihat dia seorang wanita yang cantik, anggun, putih dan seorang laki-laki yang berdiri disebelahnya sambil memegang benda yang aku tak tahu itu apa. Dua orang asing itu lalu berlalu ke arah belakang toko, dan setelahnya aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, yang ada dalam pikirku hanyalah sepertinya aku akan berpindah tangan lagi.

Rupanya benar dugaanku. Setelah berjam-jam mereka berbicara, tubuhku lalu diangkat beberapa orang dan dipindahkan ke dalam mobil bak berwarna biru tua itu. Aku tak tahu akan dibawa kemana, hanya saja yang aku tahu mobil yang membawa tubuhku ini berjalan mengikuti arah kemana dua orang asing tadi yang memujiku.

Tanpa terasa akupun telah sampai pada sebuah rumah yang besar. Tiang-tiang penyangga rumah berlapis warna emas nampak membuat rumah itu mewah dari kejauhan. Ada empat tiang sebagai penyangganya, satu di ujung sisi kanan rumah, satu diujung sisi kiri rumah, dan dua tiang lagi berada ditengah-tengah, dipisahkan daun pintu untuk masuk kedalam rumah itu. Dan sekali lagi, aku benar-benar takjub dengan rumah ini. Dari pertama aku diciptakan aku tak pernah hinggap dirumah yang semewah ini, dan entah bagaimana aku tak bisa membayangkan keindahan bagian dalam rumahnya. Dan ternyata benar, setelah aku dibawa masuk kedalam rumah, rumah itu sangatlah luas. Saat pertama aku menginjakkan kakiku kedalam rumah ini, aku melihat barisan-barisan yang serupa denganku duduk rapih membentuk letter U, mereka berwarna cokelat tua. Sama seperti keadaanku, mereka diberi penyangga jati berwarna cokelat. Saat aku melihat mereka, mereka semua memberikan senyuman terbaikku dan mengucapkan selamat datang padaku.

Lalu aku dibawa kembali menuju sebuah ruangan. Aku tak bisa lagi mendeskripsikan bagaimana keadaan sekeliling rumah itu selama aku dibawa menuju ruangan yang sekarang menjadi tempat singgahku. Aku berada didalam ruangan yang lumayan besar, ruangan ini nampak ramai, dan setelah yang aku tahu ternyata ini adalah ruangan keluarga. Aku berdiri kokoh bersandar pada sebuah tembok menghadap sebuah telivisi besar yang aku tak tahu berapa ukurannya. Didepanku membentanglah sebuah permadani cokelat dan berbulu halus, diatasnya terhempas beberapa buah bantal yang bergambar sebuah menara, dan setelah yang aku tahu ternyata itulah Menara Pisa. Telivisi besar itu tertempel didinding, dibawahnya berdiri pula sebuah almari kayu jati berisi barang-barang tua yang memanjang sepanjang televisi itu. Disudut kanan ruangan, berdiri pula lemari yang berisi buku, dan ia pun terbuat dari jati. Sebelah sisi kiri dibiarkan tanpa ada almari, yang ada hanyalah barisan-barisan jendela kayu. Jika kita melongok keluar, kita akan melihat sebuah taman kecil dengan tanaman-tanamannya yang membuat kita merasa sejuk. Dan tahukah, aku sangat bahagia berada dirumah ini, aku ada diantara orang-orang yang menyayangiku.

Tak terasa sudah tahun kelima aku berada dirumah ini, masih dalam ruangan yang sama, hanya saja isi dari ruangan ini bertambah, dan tambahan tiga peri kecil yang menambah keramaian dirumah ini. Tiga peri kecil ini sangat senang bermain-main denganku, mereka sering loncat-loncat diatas tubuhku. Meski pada akhirnya tubuhku sakit, aku menikmatinya, karena setelahnya mereka akan tertidur pulas diatasku. Tubuhku sudah bercampur aduk dengan mereka. Aku mulai dipipisi oleh mereka, bahkan kadang mereka suka buang hajat diatasku. Terkadang jika mereka sakit, mereka suka mengeluarkan sesuatu dari mulut mereka diatasku, namun aku menerimanya, ya aku menerimanya karena aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar pasrah setelahnya, hingga umur tiga peri kecil itu menginjak usia sekolah, mereka makin membabi buta berada diatasku. Ada bagian beberapa tubuhku yang mulai terkelupas. Namun perempuan yang dulu pernah memujiku belum mau membuangku.

Hingga suatu ketika, saat tiga peri kecil itu menginjak usia remaja, rupaku benar-benar sudah tak seindah dulu. Bau tubuhku tak semenarik dahulu, beberapa jahitan pun mulai terlepas. Dan ketika aku dalam lamunanku, meratapi nasibku sekarang, aku mendengar keluarga ini berdiskusi sesuatu, entah kenapa firasatku tak mengindahkan sesuatu.
***
Disenja yang entah keberapa aku diciptakan, aku terhenti pada suatu pikiran, entah aku harus bahagia atau sedih. Beberapa waktu yang lalu, aku berada dalam sebuah rumah yang nyaman. Aku hidup bahagia, namun aku harus terima tubuhku dalam keadaan dinjak-injak.
Namun diwaktu ini, aku berada pada sebuah rumah yang jauh dari rasa nyaman, rumah yang terbuat dari tumpukan papan, tak ada lagi tiang-tiang penyangga, tak ada lagi taman kecil, tak ada lagi kata mewah.
Deru suara kereta yang menemani keseharianku. Ya, aku sekarang tinggal disebuah gubuk dibantaran rel di Stasiun Tanah Abang. Aku hidup seperti saat aku dipindahtangankan dari penciptaku, aku dilihat orang banyak, namun kali ini berbeda. Aku hanya bisa dilihat mata-mata yang berada dibalik kaca pintu kereta, namun kebanyakan dari mereka melihatku dalam keadaan jijik, dan sebagian yang lain dalam keadaan iba. Seorang nenek tua yang sangat lusuh, yang sangat bau aromanya tertidur tergulai lemah diatasku. Disampingnya ada seorang kakek yang lusuh dan bau menemani nenek yang sudah tak berdaya ini.
Tak perlu lagi menanyakan bagaimana bentuk rupaku, rupaku sudah semakin tak jelas saat semua aktivitas nenek ini dilakukan diatas tubuhku. Aku benar-benar pasrah dan menerima semua perlakuannya. Namun selama usiaku diciptakan, aku tak pernah merasa se-enyuh ini seperti saat aku melihat kesetiaan si kakek menemani nenek ini hingga detik kesekian.

Tuesday, April 8, 2014

Karena Kamipun Punya Kisah Tersendiri

Bukan hanya Indonesia saja kan yang boleh mempunyai sejarah?
 Bukan hanya orang – orang besar saja kan yang bisa menanggalkan kisahnya?

Hari aja udah menjelang malam, seharusnya aku sudah berada pada pembaringanku sambil merajut mimpi bukan?. Namun sepasang mataku masih belum mau memanjakan dirinya bersama dengan bunga tidur yang mungkin sudah ia bayangkan. Waktu sudah menujukan pukul 23.00 dan satu jam lagi sudah berganti hari. Jemari-jemariku masih bekerja di depan mesin yang sudah bertahun-tahun menemani. Aku masih berkutat dengan programku. Namun lagi-lagi kebiasaan jelekku kumat, aku pasti mengerjakan pekerjaan lain yang menghambat kerjaan yang memang harusnya diselesaikan. Namun kali ini, kebiasaan jelekku menitikan air mataku.

Setelah jari jemariku lelah menelusuri kenangan dalam mesin ini, aku berhenti pada suatu video. Video yang membuat malamku galau karena aku jadi rindu teman-temanku. Teman seperjuangan di suatu tempat yang idealis, mahahaha. Tempat dimana aku mengukir banyak kenangan manis disana. Tempat dimana aku melahirkan emosi-emosi yang tak stabil kala ada “gangguan” yang menghampiri. Tempat dimana aku melahirkan rindu yang utuh untuk segala kisah yang pernah kulewati, mengucapkan terimakasih karena telah membantu mengisi sejarah hidupku selama lebih dari 700 hari.
Video ini sebenernya udah dibuat lama, beberapa bulan yang lalu, tepatnya seminggu sebelum aku mengundurkan diri dari tempat yang idealis itu. Aku pernah sedikit bercerita tentang video ini pada temanku, sayangnya aku malu mempublikasikannya, dan baru berani ya sekarang ini.

Gaeysss, kalian harus bertanggung jawab atas ke-tidak-bisa-an tidurku malam ini. Kalian harus membayar semua rindu ini dengan pertemuan dan tentu sebelas bar cokelat.

Biar bagaimanapun inilah kami, dengan segala kekurangannya yang beragam tapi tertutupi dengan kelebihannya yang beragam jua”

Dimanapun, kapanpun akan terukir sejarahnya, dan inilah kami dengan sejarahnya yang akan menjadi sebuah kisah yang klasik.”

Jabat tanganku mungkin untuk yang terakhir kali

We are Team, bagaimanapun cara kami bekerja, bagaimanapun cara kami menyapa, bagaimanapun cara kami tertawa, bagaimanapun cara kami bercerita, dan apapun segala bentuknya. . kemarin, hari ini, esok hingga entah sampai kapanpun kita tetap punya kisah yang sama, karena kita pernah mengukirnya secara bergotong royong.”


Friday, April 4, 2014

Jumatulis #3 Cepirit - The Power Of Cepirit (Spirit) – Cerita Dibalik Kesuksesan Geng Mengsle

LO YA JUL, LAMA-LAMA GUE EEKIN LO CARI RIBUT MULU SAMA GUE HAH”
SIN TAN KE TEMPAT GUE LO, ABIS ITU LO EEKIN TUH GUE SEPUAS LO”
Adalah seorang perempuan bernama Tante Bije (begitu kami menyebut namanya) yang sedang bertengkar dengan rekan sejerawatnya Bang Jul disebuah grup whatsapp. Grup WA (Whatsapp) ini bernama “Geng Mengsle”. Yaitu grup yang isi para anggotanya adalah manusia-manusia yang punya kelainan pada otaknya. Eh jangan berpikir yang aneh-aneh dulu ya, kelainan ini bukan penyakit kok, hanya saja kami terlalu kece jikalau kami menamakan grup ini adalah “Geng Orang Keren”. Kayanya maksain aja dan kesannya tuh ingin banget sih kita ini dibilang keren, kami memang terlalu keren, tapi ndak perlu dipublish juga kan kekerenan kami ini. Okeh, balik lagi ke nama “Geng Mengsle”. Mengsle memang memiliki arti kelainan pada otak tapi bukan berarti isi dari anggota grup ini seperti yang kalian kira. Mungkin bisa sajakan kalau kalian membayangkan isi dari anggota ini adalah orang-orang yang punya nyawa tapi mereka segan untuk hidup atau jika disuruh mati mereka tak mau atau orang-orang yang sedang berputus asa karena cintanya yang ditolak, istilah kerennya galau gitu. Bukan, kami bukanlah orang-orang yang macam itu. “Geng Mengsle” hadir karena kami tak pernah serius, lebih tepatnya jarang untuk serius. Hal apapun yang dibahas dalam grup WA ini pastinya akan ada terselip percakapan yang offside bahkan percakapanny bisa kebobolan dan malah gak serius.
Adalah kami, kumpulan dari beberapa ekor manusia (hey kalian jangan marah ya kalau saya bilang ekor, faktanya manusia itu memang memiliki ekor kok, namanya “tulang ekor”) yang bertemu dan kemudian berkumpul menjadi satu. Yuk mari berkenalan dengan anggotanya.
  1. Kak Nia, si ketua geng yang sebenernya saya sendiripun gak ngerti dia orang mana, lahir dan besar sampai remaja ababil di Lampung, kuliah sarjana di Depok dan kuliah magister di Bandung. Entah kota manalagi yang akan dia pijaki, atau mungkin sebenernya kota-kota yang pernah dia pijaki itu tak mau dihinggapi dia, jadi kota-kota tersebut punya cara tersendiri bikin Kak Nia gak betah, dan mungkin bisa saja kan kuliahnya itu dijadikan alasan. Hehehe. Oh iya Kak Nia ini adalah penemu Jamaah Eekiyah dengan tahta tetap sebagi ketua Jamaah. :D
  2. Bang Jul, si lelaki yang suka PHP saya ini berasal dari Bekasi. Memiliki cinta yang tulus terhadap “dede unyunya”. Tjieee Bang Jul :3. Abang yang satu ini pandai sekali merangkai kata. Saya suka dengan kata-katanya, namun agak mengkhawatirkan dengan PHPnya dia. Hehehe.
  3. Tante Bije, perempuan yang fleksibel cantiknya ini juga berasal dari Bekasi. Dia sangat suka sekali dengan senja. Romantis memang, tapi lebih banyak mengslenya juga, hahaha. Oh iya, Tante Bije ini pemegang tahta paling penting loh di Jamaah Eekiyah, dia memegang peranan sebagai sekretarisnya Kak Nia. Setiap Kak Nia mengisi materi di grup, pasti sebelumnya Tante Bije ini menyampaikan poin-poin yang akan dibahas, bahkan terkadang memberi sedikit materi yang akan dibahas. Hebat ya. :3. Oh iya satu hal lagi, dia senang sekali memberi buku ke temannya. Terimakasih loh tante atas buku yang sudah aku terima :D.
  4. Bang Yoga. Ehmmm bicara tentang abang yang satu ini agak sulit. Dia sosok yang misterius (entah misterius atau memang misteri ya). Aku tak tau terlalu banyak tentang dia. Tapi baru beberapa belakangan kali ini dia menunjukkan ke-om-om-an-nya sama salah satu anggota Geng Mengsle.
  5. Bang Andy. Hehehe si abang bapau. Ehmm dia warga Tangerang. Aktif di Wikipedia. Dia juga sama seperti Bang Jul, PHP. Buku saya belum jadi dikasih-kasih sama dia soalnya. :(
  6. 'Ndeh. Perempuan yang cantik, polos. :)
  7. Miptah. Adekku yang kadang suka menyebalkan juga. Dia dijuluki Miss Typo, ketypoannya parah loh, hahaha (sambil ngaca).
  8. Lia. Hey, saya memperkenalkan diri saya sendiri, hihi. Ehmmm, saya adalah apa yang kamu liat, udah gitu aja.
  9. Om Joko. Bicara soal om yang satu ini, dia seneng sekali tebar pesona digrup dengan voice notenya dia. Hampir semua suara di hape saya suara dia semua. Memiliki beberapa mantan diantaranya, seorang guru, seorang perawat, dan anak kimia. Hehehe
  10. Kak Lina. Kakak suhu penyuka Winnie The Pooh. Asli Suroboyo. :3
  11. Wira. Baik, kadang menyebalkan juga.
  12. Teh Vy. Teh Vy, pokoknya aku padamu uwuwuwuw.
Biar bagaimanapun semengslenya otak kami, kami punya visi yang sama, hobi yang sama, tapi tidak dalam hal jodoh, hehehe. Kami suka baca. Kami suka menulis, dan kami ingin jadi penulis ditengah-tengah kesibukan kami yang lain. Mungkin itulah salah satu alasannya kenapa Allah mempertemukan kami disebuah grup.
Kami mulai mengasah tulisan kami dari program satu minggu satu tulisan. Tiap masing-masing anggota wajib menyerahkan tulisannya di hari Jum'at yang diposting diblog masing-masing. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak tiga tahun yang lalu hingga sekarang. Masing – masing dari kami saling menyemangati ketika salah satu anggota dari kami lagi futur menulis. Hingga suatu hari di sebuah kesempatan percakapan kami, terciptalah kalimat “The Power Of Cepirit”.
Maksudnya? Jadi, ada beberapa anggota dari kami yang sudah berapa kali mangkir dari tulisannya sampai Kak Nia mulai lagi ngoceh-ngoceh di grup dengan ketikan capslocknya yang khas “HOY, YANG BELUM SETORAN MANA INI HAH! AYO-AYO KONSISTEN LAGI SAMA NULISNYA. KALO KALIAN SAMA PRIBADINYA GAK KONSINSTEN GIMANA KALIAN MAU URUS HATI HAH! PANTESAN KALIAN GALAU MULU YES”. Lalu conv dibalas dengan Ndeh “Iya, ayo semangat semua nulisnya, spirit nulisnya keluarin lagi dong”. Percakapan terus berlanjut dengan pembahasan masih tentang spirit untuk menulis. Dan tiba-tiba Tante Bije yang dari tadi belum muncul di grup, datang dengan tulisan capslocknya “WOY, KALIAN BISA DIEM GAK, GUE LAGI EEK SAMPE GAK KONSEN KALIAN RIBUT MULU DI GRUP. YANG UDAH JARANG NULIS AYO DONG CEPIRITNYA DIKELUARIN, KATANYA KALIAN MAU JADI PENULIS, TAPI KALO GAK KONSITEN UNTUK NULIS GIMANA KALIAN MAU JADI PENULIS.”
Tan, lu kalo lagi eek, eek aja deh gak usah muncul di grup dulu pake bawa-bawa cepirit segala, lu kecepirit ya tan?”. Joko pun membalas conv dari Tante Bije.
EAAKK JOKO, JUSTRU GARA-GARA GUE EEK, GUE DAPET INSPIRASI ITU NGELUARIN KATA YANG BARU, KARENA SPIRIT UDAH TERLALU MAINSTREEM BUAT GUE JADI GUE MAU MENYEMANGATI LU SEMUA PAKE KATA CEPIRIT.” Jelas tante Bije.
Jadi maksudnya cepurit itu spirit tan?.” Tanyaku pada Tante
Typomu li, iye maksud gue itu.” Penjelasan Tante Bije menutup conv kami malam itu. Esoknya kata-kata spirit sudah tidak jadi trending topic lagi dipercakapan kami. Sejak saat itu, jikalau kami ingin saling menyemangati, bukan kata ‘spirit’ lagi yang keluar tapi kata ‘cepirit’.
Kami lalu melanjutkan tulisan-tulisan kami, sudah dua bulan lamanya kata ‘cepirit’ itu menjadi semangat tersendiri untuk nulis lebih baik lagi, lebih rajin lagi. Ternyata kata ‘cepirit’ itu lebih banyak penggemarnya daripada kata ‘spirit’ sendiri.
Hingga suatu hari, kami semua mengikuti lomba menulis. Nantinya tulisan yang menang akan dibukukan. Lima orang dari kamipun mengikuti lomba itu, Tante Bije, Bang Jul, Om Joko, Diah, dan Ndeh. Namun ketika pengumuman, yang lolos hanya tiga orang yaitu, Tante Bije, Om Joko, dan Ndeh dan tulisan merekapun dibukukan.
Berawal dari lomba sana, kami terus semangat untuk menulis. Kata-kata ‘cepirit’ tak pernah kita lupakan bahkan ‘cepirit’ itu menjadi semboyan tersendiri bagi kami. Kami terus mengikuti lomba menulis yang ada. Hingga masing-masing dari kami telah menjadi penulis, meskipun tenggang waktu kami jadi penulis berbeda. Setelah Tante Bije, Om Joko dan Ndeh, tibalah Bang Jul, Om Andy dan Wira yang menerbitkan tulisannya lewat puisi. Lalu menyusul Diah, Kak Vy, Miptah dan Kak Lina yang menyusul.
Tinggallah saya, Kak Nia dan Bang Yoga yang belum menerbitkan buku, namun anggota lain terus menyemangati kami dengan kata “The Power Of Cepirit”. Beberapa bulan kemudian, selang satu tahun, Kak Nia berhasil menerbitkan buku pertamanya sendiri dengan mengangkat tema psikolog anak. Bang Yoga lalu muncul dengan cerpen-cerpennya. Lalu bagaimana dengan saya?. Tak lama setelah Kak Nia dan Bang Yoga, aku berhasil menerbitkan beberapa buku dongeng dan cerita anak-anak.
Kita semua sudah punya karya ya?. Alhamdulillah.” Percakapan di grup dimulai dengan Miftah
Dari dulu kita sudah berkarya Mip.” Timpal Kak Nia
Iya kak, maksudku, ehmm gimana ya bilangnya, hehehe.”
Hey gengs, kita ketemuan yuk, kalian kan udah pada nerbitin buku nih, ketemulah kali-kali. Kita berbagi cerita, kalo di grup kan cuman GA.” Tiba-tiba Joko datang disela-sela percakapan.
GA? Apa itu GA?.” Sahut Bang Yoga.
Gitu-gitu aja Bang.” Sahut Joko. “Hayu, mau gak nih ketemu, kebetulan bulan ini kan ada libur tiga hari., kita ke Yogya yuk.”
Setuju.” Sahut semua
Akhirnya kami semua sepakat untuk berkumpul di Yogya di akhir bulan ini. Sesampainya mereka di Yogya,
Gengs, selamat ya untuk kalian semua, kita semua sekarang udah berhasil mengejar mimpi kita. Sekarang kita tinggal pertahanin apa yang udah kita dapet. Teruslah berkarya, jangan menyerah, tetap semangat pokoknya. Dan kita harus tetap yakin, kita harus tetap jaga cepirit kita. Okeh, Gengs”. Sahut Kak Nia.


Wednesday, April 2, 2014

Surat Untuk Mantan

Hai, kamu, bagaimana dengan keadaan kamu disana?
Masihkah kamu dengan badan kurusmu dulu? Ah, sepertinya tidak, gambarmu yang muncul di dinding salah satu media sosial nampak terlihat lebih berisi. Maaf ya jika aku masih terlau ingin tahu tentang dirimu. Oh iya, lalu bagaimana dengan keadaan istrimu? Dia cantik ya, sangat-sangat cantik. Dia nampak sangat serasi dengan dirimu. Kau lelaki baik, wajar jika kamu bisa bersanding dengan perempuan itu. Dia pandai menutupi auratnya, tak seperti aku yang masih saja berpakaian seperti ini. Oh iya, seperti yang aku tahu, dia itu seorang guru ya? Subhanallah, sudah cantik dia pun punya kegiatan yang mulia. Aku iri padanya, cita-citaku untuk menjadi guru malah belum tercapai. Oh iya, waktu kamu mempersuntingnya dulu, kenapa kamu tak berbicara denganku, setidaknya beri tahulah padaku kabar gembiramu itu. Ehmmm, tapi aku tak bisa membayangkan kalau aku tahu bahwa kamu menikah dari mulutmu sendiri, jadi apalah galauku nanti, hehehe. Mengetahui kamu akan menikah dari hasil keingintahuanku saja aku galau berhari-hari. Eh tapi siapa tau, aku malah bisa move on kali ya jika aku langsung tau darimu, setidaknya aku sudah mempersiapkan hatiku untuk mendengarnya, hehehe. Ehmmm oh iya, aku belum mendengar kabar atau melihat statusmu soal momongan, semoga kalian berdua cepet ya dikaruniai peri kecil yang lucu, soleh dan soleha, dan jadi kebanggaan kalian berdua. Aamiin.

Aku masih seperti dulu. Aku masih seorang buruh, bekerja hingga senin sampai dengan sabtu. Aku sekarang menyibukkan diri dengan beberapa kegiatan. Sibuk berbagi waktu diluar agar aku tidak sering lagi melamun dan terbayang-bayang tentang dirimu. Eh, maaf ya jika setelah dua tahun kita tak berdekat lagi hingga detik ini aku menulis surat untukmu, aku masih menginginkan sosok sepertimu. Aku masih bertahan pada perasaanku. Aku masih memiliki segenggam rindu untukmu. Aku masih menyampaikan tentang rinduku lewat bait-bait doaku. Hey tapi kamu jangan salah pikir, aku berdoa untuk kalian berdua, meski aku tau aku pastikan terluka. Akupun masih selalu ingin tahu tentang dirimu lewat media sosialmu, mungkin itu juga yang bikin aku agak susah move on, namun entah kenapa aku tak pernah mau block atau unfriend sosia mediamu.

Setelah denganmu, aku masih sendiri, masih sesuai dengan prinsip yang aku pegang dulu, prinsip yang dulu aku jadikan alasan untuk mengakhiri hubungan kita. Aku hanya ingin bilang padamu, rupanya kamu tak benar-benar memahami alasan dulu aku memutuskan hubungan ini. Aku hanya tak ingin sikapku terlalu jauh melampaui batas yang semestinya. Kamu tau, saat aku berucap padamu untuk mengakhiri hubungan ini, saat itulah perasaan yang tidak jelas berkecamuk. Saat itu, aku benar-benar bingung, disatu sisi aku benar-benar takut kehilangan kamu tapi disisi lain aku benar-benar harus melepasmu. Aku menjadi tak jelas berhari-hari karena hal itu. Pernah aku menyesali dengan apa yang telah aku lakukan tapi ada hal lain yang menguatkanku. Saat kamu bilang aku tak perlu mengganggumu lagi dan saat kamu blok aku dari pertemanan kita di sosial media, disaat itu aku tambah kacau. Dari sana aku menganggap kamu benar-benar tak mengerti maksudku. Aku sangat ingin menjadi pendampingmu, tapi aku tak ingin kita terjalin hubungan yang tak jelas berlama-lama. Kamu tahu, saat tak ada lagi komunikasi diantara kita, aku berdoa yang terbaik buatmu, buatku, buat hubungan kita, saat itu, aku masih bermimpi untuk bisa hidup bersama denganmu. Hingga suatu hari disuatu malam, saat kamu menerima permintaan pertemananku lagi, aku melihat poto-potomu dengan perempuan yang sekarang telah sah menjadi istrimu. Kamu tau, perasaanku hancur saat itu. Aku melewati malam dengan perasaan yang rapuh. Ya Allah, selama ini aku masih mengharapkanmu, aku masih bermimpi untuk menjadi pendampingmu, tapi sekarang aku sudah tak bisa, aku telah kalah dengan mimpiku, aku telah kalah dengan takdir.

Sekarang yang kulakukan hanya mencoba berbesar hati, melupakanmu, membuangmu secara perlahan sebagai orang yang pernah kucintai. Doakan aku jua agar aku juga sepertimu.


Dari yang pernah mencintaimu,



"tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel bernard batubara"


Tuesday, April 1, 2014

Perihal Si Kopi Hitam dan Cangkir Tuanya

Senja hari ini telah pada puncaknya
Rangkaian barisan burung-burung mewarnai langit yang memerah
Burung-burung telah kembali pada tempat singgahnya
Lalu lalang pesawat sekali-kali nampak terlihat
Angin telah berhembus kesana kemari
Menyibakkan kain-kain yang melekat pada tubuh kita
Tapi kita masih disini sayang
Masih enggan meninggalkan kursi goyang ini
Dua jam telah kita habiskan untuk bercerita
"Mengenangmu membuatku merasa bahagia" itu katamu
Kau kembali mengingatkan ingatanku ketika aku pertama bertemu denganmu
Secangkir kopi hitam dikala senja saat itu telah menyatukan kita
Bahkan hingga senja kesekian kalinya
Lima puluh tahun yang lalu kita bertukar pikiran perihal kopi
Tentang bagaimana biji kopi bisa menciptakan secangkir minuman
Tentang bagaimana jenis kopi
Tentang bagaimana menyajikan kopi dengan hal yang menyenangkan
Lalu kita tertahan pada pikiran yang sama
kita sama-sama menyukai kopi hitam
Kita sama-sama suka menyajikannya dalam cangkir yang tua
Sama-sama suka jika kopi itu diseduh dalam air mendidih
Menghirup wanginya
Meniup hawa panasnya
Lalu menikmati rasanya dengan memejamkan mata
Dari sana kita jadi saling bertemu
Kamu jadi sering mengajakku menikmatinya berdua dikala senja
Hingga tiba saatnya kita menjadi satu
Kita tak pernah melewati senja tanpa kopi hitam dan cangkir tuanya
Tak pernah kita menikmati kopi senja dengan hal-hal yang membuat kita semakin dekat
Hingga senja dihari ini
Saat rambutku dan rambutmu mulai memutih
Saat penyakit tua yang tak bisa kita hindari menyerang kita
Saat gigi -gigi kita mulai meninggalkan rumahnya
Saat tangan kita mulai bergemetar memegang si cangkir tua
Kamu bercerita perihal si kopi hitam dan cangkir tuanya yang telah menyatukan kita
"Aku ingin menikmati kopi hitam terakhirku dengan cangkir tuanya, tak terkecuali denganmu, perempuan yang telah membuatku merasa hidup, menikmati dunia, berpetualang dengan biji-biji kopi, dan satu hal yang buatku selalu mengenangmu, kamu selalu pintar membuatku tersenyum"
Dan kamu mulai dengan perlahan menutup matamu
Aku, kamu dan segala perihal secangkir kopi hitam dan cangkir tuanya
Telah menyatukan kita hingga detik terakhirmu

Aku Mencintaimu, Namun Hanya Sekali Cinta Itu Membuatku Nyata

Hari itu, aku perlahan melangkah menuju singgasanamu
Kulihatmu dari kejauhan dan wajah teduhmu masih seperti dahulu
Seperti saat aku masih berada di dekatmu

Entah apa yang aku rasakan saat ini
Aku bahagia melihatmu
Namun jauh entah dimana letaknya
Aku merasakan apa yang tak pernah aku bayangi sebelumnya
Aku patah hati, cinta

Saat aku telah tiba didepanmu
Saat aku menyalamimu
Aku tak berani menatap kedua matamu yang dulu membuatku merasa nyaman
Aku menunduk
Mataku hanya menatap jari-jariku yang tak menyentuh jarimu

Saat aku pindah ke perempuan disebelahmu
Saat aku memeluknya
Saat kedua pipiku menyentuh kedua pipinya
Saat aku menyalaminya
Mengucapi selamat bahagia padanya
Berdoa untuk keluarga kecil kalian
Saat itu aku merasa duniaku seakan berakhir

Satu hal bodoh yang kulakukan adalah aku menemuimu di acara ini
Di acara yang membuatku membencimu

Aku mencintaimu, cinta
Namun cinta itu hanya sekali membuatku merasa nyata
Tidak untuk setelah hari ini




Bisu

Cerminku tak akan pernah menjawab apa yang kupertanyakan
Meski tanya itu kubalut dengan hal yang mudah sekalipun, cerminku tetap bisu
Tetap tak memberiku satu jawaban
Namun pertanyaan-pertanyaan itu terus memaksaku
Hingga aku bosan dengan diriku sendiri
Aku tak tau harus apa
Cerminku bisu
Bibirku bisu
Hingga semua menjadi bisu