Aku kembali ke rumah dalam keadaan sangat letih. Tumpukan kertas yang berisikan data pelanggan belum selesai kuketik. Entah mengapa akhir-akhir ini sering sekali atasanku menambahkan kerjaan yang entah kapan berujung. Biasanya aku akan menambah jam kerja hingga pukul delapan malam. Namun tubuhku tak sanggup lagi untuk berlama-lama diruangan ini.
Aku telah duduk manis didalam bis setelah hampir satu jam aku menunggu. Belum aku mendapati posisi duduk yang nyaman, pengamen jalanan yang berjumlah tiga orang maduk kedalam bis.
Dirinya, diriku tergila-gila padamu
Cintanya cintaku sama besar kepadamu
Mungkinkah kiranya cinta segitiga kan mencampai bahagia
"Yassalam kenapa mereka nyanyi lagu ini." Gerutuku dalam hati. Lalu seketika aku teringat kembali pada perempuan yang telah mengenal lama lelaki yang aku cintai, leaki yang aku telah menaruh rasa yang amat sangat padanya. Rina begitulah sekiranya dan Usman lelakiku.
Aku memang baru mengenal Usman dua tahun, dan kami menjalin hubungan yang dekat baru enam bulan. Namun jika dibandingkan, Rina jauh lebih dekat dengan Usman, mereka sahabat sejak bangku SMA.
Aku bertemu Usman saat aku, Usman dan temannya mengisi acara di sekolah darurat. Sekolah yang hanya jam pelajaranya di hari Sabtu dan Minggu.
Minggu, 27 April 2012
Hari ini pertama kalinya aku akab mengisi acara disekolah tersebut. Aku mengetahui dari teman kerja yang ternyata aktivis disana. Saat itu temanku tidak bisa menjemputku dan ia malah memberi nomor telepon dan katanya jika aku takut tersesat aku bisa bareng dengan dia
Sejak dari sekolah itu aku dan Usman menjadi sangat dekat. Terlebih karena arah pulang kami yang sama, jadi aku lebih banyak waktu. Usman sering bercerita tentang Rina, sahabat dekatnya. Apapun akan selalu ia ceritakan pada Rina, termasuk tentang aku. Ia pernah heran pada Rina, mengapa perempuan sebaik dia belum punya pendamping. Lalu aku meledekinya dengan ucapan "Mungkin Rina menunggumu Man" dia hanya menanggapi dengan senyuman, lalu "Aku hanya sahabat sama Rina, Has, lagipula yang aku tunggu itu kamu Has." Lanjutnya sambil tersenyum.
27 November 2013
"Aku mencintaimu Has, maukah kau berbagi cerita denganku?" Tanyanya suatu siang selepas pulang bermain disekolah itu. Aku mengiyakan. Lagipula aku sebenarnya juga punya rasa yang sama hanya saja aku belum mau mengungkapkannya.
Setelah beberapa minggu aku bersama, Usman memperkenalkan aku pada Rina. Rina kemudian menjadi sahabat dekatku. Namun pada suatu hari aku tak sengaja mendengar ucapan Rina dan Usman soal perasaab Rina, selama ini ia tak pernah lagi dekat dengan lelaki karena Rina menunggu Usman. Sampai suatu hari Rina mengetahui bahwa Usman telah bersamaku. Dari sana pula aku mengetahui jikalau Rina pernah sempat koma setelah tau Usman bersamaku.
Aku tak pernah menyangka akan serumit ini tentang cinta
Aku tak rela untuk benar-benar melepaskanmu
Bahkan untuk kehilangan dirimu sedetik dalam benakku saja aku enggan
Namun saat datang padamu
Seseorang yang sama besar cintanya terhadapmu
Aku tak tahu harus melakukan apa
Merelakannu atau Melepasmu?
Saturday, April 26, 2014
Friday, April 25, 2014
Teruntuk sobat karibku, saudara kembarku Fatmawati “Upil” Hakim.
Hai kecil,
bagaimana kabarmu? Tak perlu kau jawab aku sudah tau, kau masih dalam
keadaan sakit bukan? Kakimu belum pulih dari jatuhmu itu bukan?. Kau
nakal upil. Kau tak hati-hati, ah andai saja waktu itu aku masih ada,
pasti aku akan ngoceh-ngoceh sama kamu. Aku minta maaf ya, aku masih
saja belum bisa menjengukmu, aku doa dari sini ya .
Eh iya lain kali ajaklah aku kerumahmu, biar aku bisa main-main .
Pil,
seperti yang kamu tau, musibah apapun yang datangnya dari Allah,
cobalah untuk tetap bersyukur. Jika tak salah ingat, tapi kalau
salah, maafkan atas kelemahan ingatanku ini ya, hehehe, aku pernah
bercerita padamu tentang suatu penyakit bukan? Yang jika tak salah
ingat pula, begini ceritanya
“Apabila
seorang hamba Allah jatuh sakit, Allah akan mengutus 4 malaikat;
- Malaikat pertama akan mengambil selera makannya
- Malaikat kedua akan mengambil rezekinya
- Malaikat ketiga akan mengambil kecantikan/ketampanannya
- Malaikat keempat akan mengambil dosanya
Apabila
telah sampai waktu yang telah Allah tetapkan untuk hamba-Nya kembali
sehat, Allah akan menyuruh malaikat ke satu, dua, tiga agar
mengembalikan kembali apa yang telah diambilkan kepada mereka. Namun
Allah tidak menyuruh malaikat keempat untuk mengembalikan kembali
dosa yang telah diambilnya.”
Jadi,
sudahkah kamu ikhlas upil? Hehehe. Oh iya ada satu lagi lagu bagus
buatmu, buat muhasabah diri. Lagu ini judulnya Muhasabah Cinta dari
Edcoustic, kira-kira liriknya seperti ini
Wahai
pemilik nyawaku betapa lemah diriku ini
Berat
ujian dari-Mu, kupasrahkan semua pada-Mu
Tuhan
baru kusadar indah nikmat sehat itu
Tak
pandai aku bersyukur, kini kuharapkan cinta-Mu
Kata-kata
cinta terucap indah
Mengalir
berdzikir di kidung doaku
Sakit
yang kurasa biar jadi penawar dosaku
Butir-butir
cinta air mataku
Teringat
semua yang Kau beri untukku
Ampuni
khilaf dan salah selama ini ya Illahi
Cepet
sembuh ya upil, cepet pulih, biar kita bisa pecicilan bareng lagi.
Kau rindu aku bukan? Aku sudah menunggumu sehat, nanti kalau ketemu
aku mau oceh-ocehin kamu yaaaa, iyya .
Pernah
sebagian waktu kita lalui bersama.
Masih
ingatkah kamu bagaimana dahulu kita saling mengenal?
Hingga
akhirnya kita bisa sedekat ini? Bahkan kita dianggap kembar
Si
“Upil Ipil”, itulah nama kita
Tak
rindukah kamu shalat bersamaku lagi?
Tak
rindukah kamu makan sepiring berdua lagi?
Tak
rindukah kamu kita pernah saling diam untuk beberapa waktu?
Tak
rindukah kamu untuk kita berbagi cerita?
Cepatlah
kembali dalam keadaan normal saudaraku
Lalu
kita runtuhkan kerinduan itu dengan temu
#Jumatulis 6 Kopi, Kumis, Indera, Bunting, Roda Warung Kopi dan Dendam
“Aku
tak pernah menyesali apa yang telah kuperbuat. Aku merelakan diriku
hidup di balik jeruji dalam keadaan bunting.
Namun aku puas, telah membunuh si Bejat Pak Kumis.
Disuatu siang yang lain pisau yang biasa kupergunakan untuk memotong
pisang menancap pada ulu hatinya yang kala itu Pak Kumis
kembali datang dengan muka dan indera
penglihatan bejatnya. Setelahnya, aku kemudian melaporkan diri sambil
kukayuh sepedaku yang rodanya
mulai oleng.
Aku
tak pernah lagi memikirkan ibu dan kankernya, ia sudah pergi dengan
tenang setelah kejadian siang itu, kejadian yang membuat aku bunting,
aku menemukan ibu sudah dalam keadaan terbujur kaku. Soal bunting
ini dan bagaimana nanti anak ini nanti lahir bisa kupikirkan nanti,
lagipula aku tak pernah menginginkan anak ini hidup.”
****
“Nyai,
saya seperti biasa ya, kopi hitam tanpa gula.”
Pinta Pak Kumis disuatu siang. Saat itu udara sedang dingin, maklum
sekarang sudah masuk Desember, sudah masuk musim penghujan. Aku
bersyukur karena dengan udara yang dingin seperti ini, warung kopi
kecilku jadi ramai, sudah tentu penghasilanku yang hanya mengandalkan
warung kopi
ini akan bertambah. Entah hanya perasaanku waktu itu saja atau memang
sudah pertanda dari hal yang sangat aku benci, kejadian yang kini
membuat aku jadi wanita yang pendendam.
Tak
seperti biasanya, warung kopiku
saat itu sangat sepi. Hujan mengguyur desaku dari pagi. Sejak awal
matahari tak lagi menampakkan dirinya dihari itu, aku sudah malas
rasanya untuk membuka warung kopiku,
namun kebutuhanlah yang mendesakku. Ibu dan kanker darahnya sangat
membutuhkan uang hasil penjualan kopi
dan
indomie rebus di warung kecil itu, maka meskipun aku ragu untuk
membuka warung kopi,
aku akan tetap berjualan, aku tak akan membiarkan kanker itu
menguasai tubuh ibu dengan merdekanya.
Aku
mengayuh sepeda ontel pemberian kakekku dulu menuju warung kopi.
Rodanya
masih sangat kokoh untuk menampung berat badanku yang semakin
membesar ini. Dari awal aku memang sudah ragu, dan benar saja, roda
sepedaku bocor. Bukannya aku tak mau menambal roda
ontelku, namun bengkel sepeda didesaku hanya ada satu dan dia hanya
buka di hari Jum’at. Akhirnya terpaksa aku berjalan disamping
ontelku yang kini tak lagi muda menuju warung kopi.
Aku
membuka pintu warung yang terbuat dari kayu, lalu aku membuka
beberapa papan yang menutupi sebagian badan warung dan diluar hujan
masih dengan seenaknya mengguyur bumi. Aku berjalan menuju dapur, aku
mempersiapkan semuanya.
Sudah
pukul dua siang, namun pelangganku hanya satu dua saja yang datang.
Sungguh tak seperti biasanya. Bale
yang
biasanya ramai dengan lelaki yang memainkan kartu sepi. Hanya ada
beberapa abang sopir angkutan umum yang hanya sekedar melepas lelah.
Maklum saja, karena rute angkutan umum ini sangat jauh, dan angkutan
inilah kendaraan desa kami satu-satunya.
Setelah
abang sopir itu pergi, warungku menjadi sepi. Namun disaat itulah
kejadian yang tak pernah aku inginkan terjadi. Burhan atau lebih
sering dipanggil Pak Kumis
dan beberapa temannya datang. Dari awal kedatangannya aku sudah punya
firasat buruk bahkan sempat aku ingin menutup warungku, namun aku
urungkan niatku itu. Aku tak enak hati, karena aku masih punya hutang
banyak pada Pak Kumis
si tua sialan ini.
“Nyai,
tumben sepi warungnya?”. Tanya
Pak Kumis
memulai percakapan ini. Jujur aku sebenarnya paling malas menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari si tua bangka ini.
Indera
penglihatannya yang sudah memancarkan nafsu bejatnya itu makin
membuatku takut. “Hei
Nyai, kau kenapa diam saja hah?”. Ia
terus saja melihatku dengan pandangan yang tak mengenakkan. Ia tetap
mengajakku bicara sambil memainkan kumisnya yang tebal diatas bibir
itu. Aku tetap diam.
“Nyai,
udaranya dingin ya, sepertinya saya butuh kehangatan.” Pak
Kumis masih tetap bicara sambil perlahan masuk ke tempatku berdiri.
“Pak,
saya bisa bikinin bapak kopi
seperti biasa, tapi saya mohon agar bapak menunggu diluar, dapur saya
sempit.”
Pintaku. Tanpa kusadari, saat aku mulai menyeduh kopi
Pak Kumis, tiba-tiba Pak Kumis memelukku dari belakang. Aku kaget.
Aku memukulnya dengan kayu yang ada disekitarku, bahkan aku sempat
menyiram tubuhnya dengan kopi
yang baru terisi air mendidih setengah. Dia mengerang. Kupikir dia
akan berhenti, namun dia semakin buas. Ia kemudian menamparku dengan
sekuat tenaganya, dia memukul bagian belakang kepalaku. Aku tetap
masih bisa mempertahankan diri. Namun kebejatannya Pak Kumis belum
berakhir, ia mendorong tubuhku hingga terbentur bilik warung, dan aku
kemudian dipukulinya kembali hingga aku tak sadarkan diri hingga
kejadian itu terjadi.
Friday, April 18, 2014
Jumatulis #5 Ketiak - Ketiak
Ketiak
Saat ia memulai aksinya
Ia basah
Ia berbau
Ia masam
Ia lengket
Dan kita pun dijauhi
Ketiak
Saat dewi-dewi menghampiri
Ia kering
Ia tak berbau
Ia tak berbulu
Saat itu ia berguna bagi pemiliknya
Saat ia memulai aksinya
Ia basah
Ia berbau
Ia masam
Ia lengket
Dan kita pun dijauhi
Ketiak
Saat dewi-dewi menghampiri
Ia kering
Ia tak berbau
Ia tak berbulu
Saat itu ia berguna bagi pemiliknya
Friday, April 11, 2014
Jumatulis #4 Sofa - Sofa dan Cerita Kehidupannya
Dua puluh tahun
yang lalu aku sengaja diciptakan oleh tangan-tangan pecinta seni.
Mereka menciptakanku sedemikian rupa agar aku nampak mempesona dan
anggun. Tubuhku berwarna krem dengan tutul bunga-bunga berwana merah
muda disekujur tubuh. Aku nampak lebih berisi ketika tanaman yang
kalian sebut kapas dan beberapa tambahan busa masuk kedalam tubuhku.
Lalu aku dibuat menjadi kuat dengan jati sebagai penyangga diri.
Aku
kemudian berdiri kokoh disebuah bangunan yang sebagian penghuninya
memang dari keluargaku. Aku telah dipindah tangankan oleh pembuatku
ke penjual perkakas rumah. Dan aku tersadar, aku diciptakan memang
bukan untuk dinikmati tangan yang penuh seni itu. Aku diciptakan
karena aku adalah barang yang komersil.
Awal aku memasuki toko itu, aku
sangat bingung. Aku tak tahu harus bagaimana, aku tak mengenal
sekelilingku, dan aku berdiri dibarisan paling depan. Detik berganti
menit, menit berganti jam, dan haripun telah berlalu. Aku mulai
mengenali sekelilingku. Aku mulai terbiasa dengan keadaan
sekelilingku. Tiap hari aku menghabiskan waktu bersama mereka,
bercengkrama. Aku sangat suka dengan keadaanku sekarang, aku banyak
dilihat orang, banyak yang menyentuhku, memujiku kemolekkanku. Hingga
suatu ketika, “Pak,
harga sofa ini berapa? Dia unik sekali ya, saya suka bentuk dan padu
padan warnanya. Ini dijual kan ya Pak?.” Ada
yang menanyakan tentang diriku, menanyakan hargaku, menanyakan dari
apa aku terbuat. Aku tak tahu dia siapa, yang tergambar dalam rupa
yang aku lihat dia seorang wanita yang cantik, anggun, putih dan
seorang laki-laki yang berdiri disebelahnya sambil memegang benda
yang aku tak tahu itu apa. Dua orang asing itu lalu berlalu ke arah
belakang toko, dan setelahnya aku tak tahu apa yang mereka bicarakan,
yang ada dalam pikirku hanyalah sepertinya aku akan berpindah tangan
lagi.
Rupanya benar
dugaanku. Setelah berjam-jam mereka berbicara, tubuhku lalu diangkat
beberapa orang dan dipindahkan ke dalam mobil bak berwarna biru tua
itu. Aku tak tahu akan dibawa kemana, hanya saja yang aku tahu mobil
yang membawa tubuhku ini berjalan mengikuti arah kemana dua orang
asing tadi yang memujiku.
Tanpa terasa
akupun telah sampai pada sebuah rumah yang besar. Tiang-tiang
penyangga rumah berlapis warna emas nampak membuat rumah itu mewah
dari kejauhan. Ada empat tiang sebagai penyangganya, satu di ujung
sisi kanan rumah, satu diujung sisi kiri rumah, dan dua tiang lagi
berada ditengah-tengah, dipisahkan daun pintu untuk masuk kedalam
rumah itu. Dan sekali lagi, aku benar-benar takjub dengan rumah ini.
Dari pertama aku diciptakan aku tak pernah hinggap dirumah yang
semewah ini, dan entah bagaimana aku tak bisa membayangkan keindahan
bagian dalam rumahnya. Dan ternyata benar, setelah aku dibawa masuk
kedalam rumah, rumah itu sangatlah luas. Saat pertama aku
menginjakkan kakiku kedalam rumah ini, aku melihat barisan-barisan
yang serupa denganku duduk rapih membentuk letter
U, mereka berwarna
cokelat tua. Sama seperti keadaanku, mereka diberi penyangga jati
berwarna cokelat. Saat aku melihat mereka, mereka semua memberikan
senyuman terbaikku dan mengucapkan selamat datang padaku.
Lalu aku dibawa
kembali menuju sebuah ruangan. Aku tak bisa lagi mendeskripsikan
bagaimana keadaan sekeliling rumah itu selama aku dibawa menuju
ruangan yang sekarang menjadi tempat singgahku. Aku berada didalam
ruangan yang lumayan besar, ruangan ini nampak ramai, dan setelah
yang aku tahu ternyata ini adalah ruangan keluarga. Aku berdiri kokoh
bersandar pada sebuah tembok menghadap sebuah telivisi besar yang aku
tak tahu berapa ukurannya. Didepanku membentanglah sebuah permadani
cokelat dan berbulu halus, diatasnya terhempas beberapa buah bantal
yang bergambar sebuah menara, dan setelah yang aku tahu ternyata
itulah Menara Pisa. Telivisi besar itu tertempel didinding,
dibawahnya berdiri pula sebuah almari kayu jati berisi barang-barang
tua yang memanjang sepanjang televisi itu. Disudut kanan ruangan,
berdiri pula lemari yang berisi buku, dan ia pun terbuat dari jati.
Sebelah sisi kiri dibiarkan tanpa ada almari, yang ada hanyalah
barisan-barisan jendela kayu. Jika kita melongok keluar, kita akan
melihat sebuah taman kecil dengan tanaman-tanamannya yang membuat
kita merasa sejuk. Dan tahukah, aku sangat bahagia berada dirumah
ini, aku ada diantara orang-orang yang menyayangiku.
Tak terasa sudah
tahun kelima aku berada dirumah ini, masih dalam ruangan yang sama,
hanya saja isi dari ruangan ini bertambah, dan tambahan tiga peri
kecil yang menambah keramaian dirumah ini. Tiga peri kecil ini sangat
senang bermain-main denganku, mereka sering loncat-loncat diatas
tubuhku. Meski pada akhirnya tubuhku sakit, aku menikmatinya, karena
setelahnya mereka akan tertidur pulas diatasku. Tubuhku sudah
bercampur aduk dengan mereka. Aku mulai dipipisi oleh mereka, bahkan
kadang mereka suka buang hajat diatasku. Terkadang jika mereka sakit,
mereka suka mengeluarkan sesuatu dari mulut mereka diatasku, namun
aku menerimanya, ya aku menerimanya karena aku tak bisa berbuat
apa-apa. Aku benar-benar pasrah setelahnya, hingga umur tiga peri
kecil itu menginjak usia sekolah, mereka makin membabi buta berada
diatasku. Ada bagian beberapa tubuhku yang mulai terkelupas. Namun
perempuan yang dulu pernah memujiku belum mau membuangku.
Hingga suatu
ketika, saat tiga peri kecil itu menginjak usia remaja, rupaku
benar-benar sudah tak seindah dulu. Bau tubuhku tak semenarik dahulu,
beberapa jahitan pun mulai terlepas. Dan ketika aku dalam lamunanku,
meratapi nasibku sekarang, aku mendengar keluarga ini berdiskusi
sesuatu, entah kenapa firasatku tak mengindahkan sesuatu.
***
Disenja yang
entah keberapa aku diciptakan, aku terhenti pada suatu pikiran, entah
aku harus bahagia atau sedih. Beberapa waktu yang lalu, aku berada
dalam sebuah rumah yang nyaman. Aku hidup bahagia, namun aku harus
terima tubuhku dalam keadaan dinjak-injak.
Namun diwaktu
ini, aku berada pada sebuah rumah yang jauh dari rasa nyaman, rumah
yang terbuat dari tumpukan papan, tak ada lagi tiang-tiang penyangga,
tak ada lagi taman kecil, tak ada lagi kata mewah.
Deru suara
kereta yang menemani keseharianku. Ya, aku sekarang tinggal disebuah
gubuk dibantaran rel di Stasiun Tanah Abang. Aku hidup seperti saat
aku dipindahtangankan dari penciptaku, aku dilihat orang banyak,
namun kali ini berbeda. Aku hanya bisa dilihat mata-mata yang berada
dibalik kaca pintu kereta, namun kebanyakan dari mereka melihatku
dalam keadaan jijik, dan sebagian yang lain dalam keadaan iba.
Seorang nenek tua yang sangat lusuh, yang sangat bau aromanya
tertidur tergulai lemah diatasku. Disampingnya ada seorang kakek yang
lusuh dan bau menemani nenek yang sudah tak berdaya ini.
Tak perlu lagi
menanyakan bagaimana bentuk rupaku, rupaku sudah semakin tak jelas
saat semua aktivitas nenek ini dilakukan diatas tubuhku. Aku
benar-benar pasrah dan menerima semua perlakuannya. Namun selama
usiaku diciptakan, aku tak pernah merasa se-enyuh ini seperti saat
aku melihat kesetiaan si kakek menemani nenek ini hingga detik
kesekian.
Tuesday, April 8, 2014
Karena Kamipun Punya Kisah Tersendiri
Bukan
hanya Indonesia saja kan yang boleh mempunyai sejarah?
Bukan
hanya orang – orang besar saja kan yang bisa menanggalkan kisahnya?
Hari
aja udah menjelang malam, seharusnya aku sudah berada pada
pembaringanku sambil merajut mimpi bukan?. Namun sepasang mataku
masih belum mau memanjakan dirinya bersama dengan bunga tidur yang
mungkin sudah ia bayangkan. Waktu sudah menujukan pukul 23.00 dan
satu jam lagi sudah berganti hari. Jemari-jemariku masih bekerja di
depan mesin yang sudah bertahun-tahun menemani. Aku masih berkutat
dengan programku. Namun lagi-lagi kebiasaan jelekku kumat, aku pasti
mengerjakan pekerjaan lain yang menghambat kerjaan yang memang
harusnya diselesaikan. Namun kali ini, kebiasaan jelekku menitikan
air mataku.
Setelah
jari jemariku lelah menelusuri kenangan dalam mesin ini, aku berhenti
pada suatu video. Video yang membuat malamku galau karena aku jadi
rindu teman-temanku. Teman seperjuangan di suatu tempat yang idealis,
mahahaha. Tempat dimana aku mengukir banyak kenangan manis disana.
Tempat dimana aku melahirkan emosi-emosi yang tak stabil kala ada
“gangguan” yang menghampiri. Tempat dimana aku melahirkan rindu
yang utuh untuk segala kisah yang pernah kulewati, mengucapkan
terimakasih karena telah membantu mengisi sejarah hidupku selama
lebih dari 700 hari.
Video
ini sebenernya udah dibuat lama, beberapa bulan yang lalu, tepatnya
seminggu sebelum aku mengundurkan diri dari tempat yang idealis itu.
Aku pernah sedikit bercerita tentang video ini pada temanku,
sayangnya aku malu mempublikasikannya, dan baru berani ya sekarang
ini.
Gaeysss,
kalian harus bertanggung jawab atas ke-tidak-bisa-an tidurku malam
ini. Kalian harus membayar semua rindu ini dengan pertemuan dan tentu
sebelas bar cokelat.
“Biar
bagaimanapun inilah kami, dengan segala kekurangannya yang beragam
tapi tertutupi dengan kelebihannya yang beragam jua”
“Dimanapun,
kapanpun akan terukir sejarahnya, dan inilah kami dengan sejarahnya
yang akan menjadi sebuah kisah yang klasik.”
“Jabat
tanganku mungkin untuk yang terakhir kali
“
We
are Team, bagaimanapun cara kami bekerja, bagaimanapun cara kami
menyapa, bagaimanapun cara kami tertawa, bagaimanapun cara kami
bercerita, dan apapun segala bentuknya. . kemarin, hari ini, esok
hingga entah sampai kapanpun kita tetap punya kisah yang sama, karena
kita pernah mengukirnya secara bergotong royong.”
Friday, April 4, 2014
Jumatulis #3 Cepirit - The Power Of Cepirit (Spirit) – Cerita Dibalik Kesuksesan Geng Mengsle
LO
YA JUL, LAMA-LAMA GUE EEKIN LO CARI RIBUT MULU SAMA GUE HAH”
“SIN
TAN KE TEMPAT GUE LO, ABIS ITU LO EEKIN TUH GUE SEPUAS LO”
Adalah
seorang perempuan bernama Tante Bije (begitu kami menyebut namanya)
yang sedang bertengkar dengan rekan sejerawatnya Bang Jul disebuah
grup whatsapp.
Grup WA (Whatsapp)
ini bernama “Geng Mengsle”. Yaitu grup yang isi para anggotanya
adalah manusia-manusia yang punya kelainan pada otaknya. Eh jangan
berpikir yang aneh-aneh dulu ya, kelainan ini bukan penyakit kok,
hanya saja kami terlalu kece jikalau kami menamakan grup ini adalah
“Geng Orang Keren”. Kayanya maksain aja dan kesannya tuh ingin
banget sih kita ini dibilang keren, kami memang terlalu keren, tapi
ndak
perlu dipublish
juga kan kekerenan kami ini. Okeh, balik lagi ke nama “Geng
Mengsle”. Mengsle memang memiliki arti kelainan pada otak tapi
bukan berarti isi dari anggota grup ini seperti yang kalian kira.
Mungkin bisa sajakan kalau kalian membayangkan isi dari anggota ini
adalah orang-orang yang punya nyawa tapi mereka segan untuk hidup
atau jika disuruh mati mereka tak mau atau orang-orang yang sedang
berputus asa karena cintanya yang ditolak, istilah kerennya galau
gitu. Bukan, kami bukanlah orang-orang yang macam itu. “Geng
Mengsle” hadir karena kami tak pernah serius, lebih tepatnya jarang
untuk serius. Hal apapun yang dibahas dalam grup WA ini pastinya akan
ada terselip percakapan yang offside
bahkan percakapanny bisa kebobolan dan malah gak serius.
Adalah
kami, kumpulan dari beberapa ekor manusia (hey kalian jangan marah ya
kalau saya bilang ekor, faktanya manusia itu memang memiliki ekor
kok, namanya “tulang ekor”) yang bertemu dan kemudian berkumpul
menjadi satu. Yuk mari berkenalan dengan anggotanya.
- Kak Nia, si ketua geng yang sebenernya saya sendiripun gak ngerti dia orang mana, lahir dan besar sampai remaja ababil di Lampung, kuliah sarjana di Depok dan kuliah magister di Bandung. Entah kota manalagi yang akan dia pijaki, atau mungkin sebenernya kota-kota yang pernah dia pijaki itu tak mau dihinggapi dia, jadi kota-kota tersebut punya cara tersendiri bikin Kak Nia gak betah, dan mungkin bisa saja kan kuliahnya itu dijadikan alasan. Hehehe. Oh iya Kak Nia ini adalah penemu Jamaah Eekiyah dengan tahta tetap sebagi ketua Jamaah. :D
- Bang Jul, si lelaki yang suka PHP saya ini berasal dari Bekasi. Memiliki cinta yang tulus terhadap “dede unyunya”. Tjieee Bang Jul :3. Abang yang satu ini pandai sekali merangkai kata. Saya suka dengan kata-katanya, namun agak mengkhawatirkan dengan PHPnya dia. Hehehe.
- Tante Bije, perempuan yang fleksibel cantiknya ini juga berasal dari Bekasi. Dia sangat suka sekali dengan senja. Romantis memang, tapi lebih banyak mengslenya juga, hahaha. Oh iya, Tante Bije ini pemegang tahta paling penting loh di Jamaah Eekiyah, dia memegang peranan sebagai sekretarisnya Kak Nia. Setiap Kak Nia mengisi materi di grup, pasti sebelumnya Tante Bije ini menyampaikan poin-poin yang akan dibahas, bahkan terkadang memberi sedikit materi yang akan dibahas. Hebat ya. :3. Oh iya satu hal lagi, dia senang sekali memberi buku ke temannya. Terimakasih loh tante atas buku yang sudah aku terima :D.
- Bang Yoga. Ehmmm bicara tentang abang yang satu ini agak sulit. Dia sosok yang misterius (entah misterius atau memang misteri ya). Aku tak tau terlalu banyak tentang dia. Tapi baru beberapa belakangan kali ini dia menunjukkan ke-om-om-an-nya sama salah satu anggota Geng Mengsle.
- Bang Andy. Hehehe si abang bapau. Ehmm dia warga Tangerang. Aktif di Wikipedia. Dia juga sama seperti Bang Jul, PHP. Buku saya belum jadi dikasih-kasih sama dia soalnya. :(
- 'Ndeh. Perempuan yang cantik, polos. :)
- Miptah. Adekku yang kadang suka menyebalkan juga. Dia dijuluki Miss Typo, ketypoannya parah loh, hahaha (sambil ngaca).
- Lia. Hey, saya memperkenalkan diri saya sendiri, hihi. Ehmmm, saya adalah apa yang kamu liat, udah gitu aja.
- Om Joko. Bicara soal om yang satu ini, dia seneng sekali tebar pesona digrup dengan voice notenya dia. Hampir semua suara di hape saya suara dia semua. Memiliki beberapa mantan diantaranya, seorang guru, seorang perawat, dan anak kimia. Hehehe
- Kak Lina. Kakak suhu penyuka Winnie The Pooh. Asli Suroboyo. :3
- Wira. Baik, kadang menyebalkan juga.
- Teh Vy. Teh Vy, pokoknya aku padamu uwuwuwuw.
Biar
bagaimanapun semengslenya otak kami, kami punya visi yang sama, hobi
yang sama, tapi tidak dalam hal jodoh, hehehe. Kami suka baca. Kami
suka menulis, dan kami ingin jadi penulis ditengah-tengah kesibukan
kami yang lain. Mungkin itulah salah satu alasannya kenapa Allah
mempertemukan kami disebuah grup.
Kami
mulai mengasah tulisan kami dari program satu minggu satu tulisan.
Tiap masing-masing anggota wajib menyerahkan tulisannya di hari
Jum'at yang diposting diblog masing-masing. Kegiatan ini sudah
berlangsung sejak tiga tahun yang lalu hingga sekarang. Masing –
masing dari kami saling menyemangati ketika salah satu anggota dari
kami lagi futur menulis. Hingga suatu hari di sebuah kesempatan
percakapan kami, terciptalah kalimat “The
Power Of Cepirit”.
Maksudnya?
Jadi, ada beberapa anggota dari kami yang sudah berapa kali mangkir
dari tulisannya sampai Kak Nia mulai lagi ngoceh-ngoceh
di grup dengan ketikan capslocknya
yang khas “HOY, YANG BELUM SETORAN MANA INI HAH! AYO-AYO KONSISTEN
LAGI SAMA NULISNYA. KALO KALIAN SAMA PRIBADINYA GAK KONSINSTEN GIMANA
KALIAN MAU URUS HATI HAH! PANTESAN KALIAN GALAU MULU YES”. Lalu
conv
dibalas dengan Ndeh “Iya, ayo semangat semua nulisnya, spirit
nulisnya keluarin lagi dong”. Percakapan terus berlanjut dengan
pembahasan masih tentang spirit untuk menulis. Dan tiba-tiba Tante
Bije yang dari tadi belum muncul di grup, datang dengan tulisan
capslocknya
“WOY, KALIAN BISA DIEM GAK, GUE LAGI EEK SAMPE GAK KONSEN KALIAN
RIBUT MULU DI GRUP. YANG UDAH JARANG NULIS AYO DONG CEPIRITNYA
DIKELUARIN, KATANYA KALIAN MAU JADI PENULIS, TAPI KALO GAK KONSITEN
UNTUK NULIS GIMANA KALIAN MAU JADI PENULIS.”
“Tan,
lu kalo lagi eek, eek aja deh gak usah muncul di grup dulu pake
bawa-bawa cepirit segala, lu kecepirit ya tan?”. Joko pun membalas
conv
dari Tante Bije.
“EAAKK
JOKO, JUSTRU GARA-GARA GUE EEK, GUE DAPET INSPIRASI ITU NGELUARIN
KATA YANG BARU, KARENA SPIRIT UDAH TERLALU MAINSTREEM
BUAT GUE JADI GUE MAU MENYEMANGATI LU SEMUA PAKE KATA CEPIRIT.”
Jelas tante Bije.
“Jadi
maksudnya cepurit itu spirit tan?.” Tanyaku pada Tante
“Typomu
li, iye maksud gue itu.” Penjelasan Tante Bije menutup conv
kami malam itu. Esoknya kata-kata spirit sudah tidak jadi trending
topic
lagi dipercakapan kami. Sejak saat itu, jikalau kami ingin saling
menyemangati, bukan kata ‘spirit’ lagi yang keluar tapi kata
‘cepirit’.
Kami
lalu melanjutkan tulisan-tulisan kami, sudah dua bulan lamanya kata
‘cepirit’ itu menjadi semangat tersendiri untuk nulis lebih baik
lagi, lebih rajin lagi. Ternyata kata ‘cepirit’ itu lebih banyak
penggemarnya daripada kata ‘spirit’ sendiri.
Hingga
suatu hari, kami semua mengikuti lomba menulis. Nantinya tulisan yang
menang akan dibukukan. Lima orang dari kamipun mengikuti lomba itu,
Tante Bije, Bang Jul, Om Joko, Diah, dan Ndeh. Namun ketika
pengumuman, yang lolos hanya tiga orang yaitu, Tante Bije, Om Joko,
dan Ndeh dan tulisan merekapun dibukukan.
Berawal
dari lomba sana, kami terus semangat untuk menulis. Kata-kata
‘cepirit’ tak pernah kita lupakan bahkan ‘cepirit’ itu
menjadi semboyan tersendiri bagi kami. Kami terus mengikuti lomba
menulis yang ada. Hingga masing-masing dari kami telah menjadi
penulis, meskipun tenggang waktu kami jadi penulis berbeda. Setelah
Tante Bije, Om Joko dan Ndeh, tibalah Bang Jul, Om Andy dan Wira yang
menerbitkan tulisannya lewat puisi. Lalu menyusul Diah, Kak Vy,
Miptah dan Kak Lina yang menyusul.
Tinggallah
saya, Kak Nia dan Bang Yoga yang belum menerbitkan buku, namun
anggota lain terus menyemangati kami dengan kata “The
Power Of Cepirit”.
Beberapa bulan kemudian, selang satu tahun, Kak Nia berhasil
menerbitkan buku pertamanya sendiri dengan mengangkat tema psikolog
anak. Bang Yoga lalu muncul dengan cerpen-cerpennya. Lalu bagaimana
dengan saya?. Tak lama setelah Kak Nia dan Bang Yoga, aku berhasil
menerbitkan beberapa buku dongeng dan cerita anak-anak.
“Kita
semua sudah punya karya ya?. Alhamdulillah.” Percakapan di grup
dimulai dengan Miftah
“Dari
dulu kita sudah berkarya Mip.” Timpal Kak Nia
“Iya
kak, maksudku, ehmm gimana ya bilangnya, hehehe.”
“Hey
gengs, kita ketemuan yuk, kalian kan udah pada nerbitin buku nih,
ketemulah kali-kali. Kita berbagi cerita, kalo di grup kan cuman GA.”
Tiba-tiba Joko datang disela-sela percakapan.
“GA?
Apa itu GA?.” Sahut Bang Yoga.
“Gitu-gitu
aja Bang.” Sahut Joko. “Hayu, mau gak nih ketemu, kebetulan bulan
ini kan ada libur tiga hari., kita ke Yogya yuk.”
“Setuju.”
Sahut semua
Akhirnya
kami semua sepakat untuk berkumpul di Yogya di akhir bulan ini.
Sesampainya mereka di Yogya,
“Gengs,
selamat ya untuk kalian semua, kita semua sekarang udah berhasil
mengejar mimpi kita. Sekarang kita tinggal pertahanin apa yang udah
kita dapet. Teruslah berkarya, jangan menyerah, tetap semangat
pokoknya. Dan kita harus tetap yakin, kita harus tetap jaga cepirit
kita. Okeh, Gengs”. Sahut Kak Nia.
Wednesday, April 2, 2014
Surat Untuk Mantan
Hai,
kamu, bagaimana dengan keadaan kamu disana?
Masihkah
kamu dengan badan kurusmu dulu? Ah, sepertinya tidak, gambarmu yang
muncul di dinding salah
satu media sosial nampak terlihat lebih berisi.
Maaf ya jika aku masih terlau ingin tahu tentang dirimu. Oh iya, lalu
bagaimana dengan keadaan istrimu? Dia cantik ya, sangat-sangat
cantik. Dia nampak sangat serasi dengan dirimu. Kau lelaki baik,
wajar jika kamu bisa bersanding dengan perempuan itu. Dia pandai
menutupi auratnya, tak seperti aku yang masih saja berpakaian seperti
ini. Oh iya, seperti yang aku tahu, dia itu seorang guru ya?
Subhanallah, sudah cantik dia pun punya kegiatan yang mulia. Aku iri
padanya, cita-citaku untuk menjadi guru malah belum tercapai. Oh
iya, waktu kamu mempersuntingnya dulu, kenapa kamu tak berbicara
denganku, setidaknya beri tahulah padaku kabar gembiramu itu. Ehmmm,
tapi aku tak bisa membayangkan kalau aku tahu bahwa kamu menikah dari
mulutmu sendiri, jadi apalah galauku nanti, hehehe. Mengetahui kamu
akan menikah dari hasil keingintahuanku saja aku galau berhari-hari.
Eh tapi siapa tau, aku malah bisa move
on
kali ya jika aku langsung tau darimu, setidaknya aku sudah
mempersiapkan hatiku untuk mendengarnya, hehehe. Ehmmm oh iya, aku
belum mendengar kabar atau melihat statusmu soal momongan, semoga
kalian berdua cepet ya dikaruniai peri kecil yang lucu, soleh dan
soleha, dan jadi kebanggaan kalian berdua. Aamiin.
Aku
masih seperti dulu. Aku masih seorang buruh, bekerja hingga senin
sampai dengan sabtu. Aku sekarang menyibukkan diri dengan beberapa
kegiatan. Sibuk berbagi waktu diluar agar aku tidak sering lagi
melamun dan terbayang-bayang tentang dirimu. Eh, maaf ya jika setelah
dua tahun kita tak berdekat lagi hingga detik ini aku menulis surat
untukmu, aku masih menginginkan sosok sepertimu. Aku masih bertahan
pada perasaanku. Aku masih memiliki segenggam rindu untukmu. Aku
masih menyampaikan tentang rinduku lewat bait-bait doaku. Hey tapi
kamu jangan salah pikir, aku berdoa untuk kalian berdua, meski aku
tau aku pastikan terluka. Akupun masih selalu ingin tahu tentang
dirimu lewat media sosialmu, mungkin itu juga yang bikin aku agak
susah move
on,
namun entah kenapa aku tak pernah mau block
atau unfriend
sosia mediamu.
Setelah
denganmu, aku masih sendiri, masih sesuai dengan prinsip yang aku
pegang dulu, prinsip yang dulu aku jadikan alasan untuk mengakhiri
hubungan kita. Aku hanya ingin bilang padamu, rupanya kamu tak
benar-benar memahami alasan dulu aku memutuskan hubungan ini. Aku
hanya tak ingin sikapku terlalu jauh melampaui batas yang semestinya.
Kamu tau, saat aku berucap padamu untuk mengakhiri hubungan ini, saat
itulah perasaan yang tidak jelas berkecamuk. Saat itu, aku
benar-benar bingung, disatu sisi aku benar-benar takut kehilangan
kamu tapi disisi lain aku benar-benar harus melepasmu. Aku menjadi
tak jelas berhari-hari karena hal itu. Pernah aku menyesali dengan
apa yang telah aku lakukan tapi ada hal lain yang menguatkanku. Saat
kamu bilang aku tak perlu mengganggumu lagi dan saat kamu blok aku
dari pertemanan kita di sosial media, disaat itu aku tambah kacau.
Dari sana aku menganggap kamu benar-benar tak mengerti maksudku. Aku
sangat ingin menjadi pendampingmu, tapi aku tak ingin kita terjalin
hubungan yang tak jelas berlama-lama. Kamu tahu, saat tak ada lagi
komunikasi diantara kita, aku berdoa yang terbaik buatmu, buatku,
buat hubungan kita, saat itu, aku masih bermimpi untuk bisa hidup
bersama denganmu. Hingga suatu hari disuatu malam, saat kamu menerima
permintaan pertemananku lagi, aku melihat poto-potomu dengan
perempuan yang sekarang telah sah menjadi istrimu. Kamu tau,
perasaanku hancur saat itu. Aku melewati malam dengan perasaan yang
rapuh. Ya Allah, selama ini aku masih mengharapkanmu, aku masih
bermimpi untuk menjadi pendampingmu, tapi sekarang aku sudah tak
bisa, aku telah kalah dengan mimpiku, aku telah kalah dengan takdir.
Sekarang
yang kulakukan hanya mencoba berbesar hati, melupakanmu, membuangmu
secara perlahan sebagai orang yang pernah kucintai. Doakan aku jua
agar aku juga sepertimu.
Dari
yang pernah mencintaimu,
"tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel bernard batubara"
Tuesday, April 1, 2014
Perihal Si Kopi Hitam dan Cangkir Tuanya
Senja hari ini telah pada puncaknya
Rangkaian barisan burung-burung
mewarnai langit yang memerah
Burung-burung telah kembali pada tempat
singgahnya
Lalu lalang pesawat sekali-kali nampak
terlihat
Angin telah berhembus kesana kemari
Menyibakkan kain-kain yang melekat pada
tubuh kita
Tapi kita masih disini sayang
Masih enggan meninggalkan kursi goyang
ini
Dua jam telah kita habiskan untuk
bercerita
"Mengenangmu membuatku merasa
bahagia" itu katamu
Kau kembali mengingatkan ingatanku
ketika aku pertama bertemu denganmu
Secangkir kopi hitam dikala senja saat
itu telah menyatukan kita
Bahkan hingga senja kesekian kalinya
Lima puluh tahun yang lalu kita
bertukar pikiran perihal kopi
Tentang bagaimana biji kopi bisa
menciptakan secangkir minuman
Tentang bagaimana jenis kopi
Tentang bagaimana menyajikan kopi
dengan hal yang menyenangkan
Lalu kita tertahan pada pikiran yang
sama
kita sama-sama menyukai kopi hitam
Kita sama-sama suka menyajikannya dalam
cangkir yang tua
Sama-sama suka jika kopi itu diseduh
dalam air mendidih
Menghirup wanginya
Meniup hawa panasnya
Lalu menikmati rasanya dengan
memejamkan mata
Dari sana kita jadi saling bertemu
Kamu jadi sering mengajakku
menikmatinya berdua dikala senja
Hingga tiba saatnya kita menjadi satu
Kita tak pernah melewati senja tanpa
kopi hitam dan cangkir tuanya
Tak pernah kita menikmati kopi senja
dengan hal-hal yang membuat kita semakin dekat
Hingga senja dihari ini
Saat rambutku dan rambutmu mulai
memutih
Saat penyakit tua yang tak bisa kita
hindari menyerang kita
Saat gigi -gigi kita mulai meninggalkan
rumahnya
Saat tangan kita mulai bergemetar
memegang si cangkir tua
Kamu bercerita perihal si kopi hitam
dan cangkir tuanya yang telah menyatukan kita
"Aku ingin menikmati kopi hitam
terakhirku dengan cangkir tuanya, tak terkecuali denganmu, perempuan
yang telah membuatku merasa hidup, menikmati dunia, berpetualang
dengan biji-biji kopi, dan satu hal yang buatku selalu mengenangmu,
kamu selalu pintar membuatku tersenyum"
Dan kamu mulai dengan perlahan menutup
matamu
Aku, kamu dan segala perihal secangkir
kopi hitam dan cangkir tuanya
Telah menyatukan kita hingga detik
terakhirmu
Aku Mencintaimu, Namun Hanya Sekali Cinta Itu Membuatku Nyata
Hari itu, aku perlahan melangkah menuju
singgasanamu
Kulihatmu dari kejauhan dan wajah
teduhmu masih seperti dahulu
Seperti saat aku masih berada di
dekatmu
Entah apa yang aku rasakan saat ini
Aku bahagia melihatmu
Namun jauh entah dimana letaknya
Aku merasakan apa yang tak pernah aku
bayangi sebelumnya
Aku patah hati, cinta
Saat aku telah tiba didepanmu
Saat aku menyalamimu
Aku tak berani menatap kedua matamu
yang dulu membuatku merasa nyaman
Aku menunduk
Mataku hanya menatap jari-jariku yang
tak menyentuh jarimu
Saat aku pindah ke perempuan
disebelahmu
Saat aku memeluknya
Saat kedua pipiku menyentuh kedua
pipinya
Saat aku menyalaminya
Mengucapi selamat bahagia padanya
Berdoa untuk keluarga kecil kalian
Saat itu aku merasa duniaku seakan
berakhir
Satu hal bodoh yang kulakukan
adalah aku menemuimu di acara ini
Di acara yang membuatku membencimu
Aku mencintaimu, cinta
Namun cinta itu hanya sekali membuatku
merasa nyata
Tidak untuk setelah hari ini
Bisu
Cerminku tak akan pernah menjawab apa
yang kupertanyakan
Meski tanya itu kubalut dengan hal yang
mudah sekalipun, cerminku tetap bisu
Tetap tak memberiku satu jawaban
Namun pertanyaan-pertanyaan itu terus
memaksaku
Hingga aku bosan dengan diriku sendiri
Aku tak tau harus apa
Cerminku bisu
Bibirku bisu
Hingga semua menjadi bisu
Subscribe to:
Posts (Atom)