Friday, April 11, 2014

Jumatulis #4 Sofa - Sofa dan Cerita Kehidupannya

Dua puluh tahun yang lalu aku sengaja diciptakan oleh tangan-tangan pecinta seni. Mereka menciptakanku sedemikian rupa agar aku nampak mempesona dan anggun. Tubuhku berwarna krem dengan tutul bunga-bunga berwana merah muda disekujur tubuh. Aku nampak lebih berisi ketika tanaman yang kalian sebut kapas dan beberapa tambahan busa masuk kedalam tubuhku. Lalu aku dibuat menjadi kuat dengan jati sebagai penyangga diri.
Aku kemudian berdiri kokoh disebuah bangunan yang sebagian penghuninya memang dari keluargaku. Aku telah dipindah tangankan oleh pembuatku ke penjual perkakas rumah. Dan aku tersadar, aku diciptakan memang bukan untuk dinikmati tangan yang penuh seni itu. Aku diciptakan karena aku adalah barang yang komersil.
 
Awal aku memasuki toko itu, aku sangat bingung. Aku tak tahu harus bagaimana, aku tak mengenal sekelilingku, dan aku berdiri dibarisan paling depan. Detik berganti menit, menit berganti jam, dan haripun telah berlalu. Aku mulai mengenali sekelilingku. Aku mulai terbiasa dengan keadaan sekelilingku. Tiap hari aku menghabiskan waktu bersama mereka, bercengkrama. Aku sangat suka dengan keadaanku sekarang, aku banyak dilihat orang, banyak yang menyentuhku, memujiku kemolekkanku. Hingga suatu ketika, “Pak, harga sofa ini berapa? Dia unik sekali ya, saya suka bentuk dan padu padan warnanya. Ini dijual kan ya Pak?.” Ada yang menanyakan tentang diriku, menanyakan hargaku, menanyakan dari apa aku terbuat. Aku tak tahu dia siapa, yang tergambar dalam rupa yang aku lihat dia seorang wanita yang cantik, anggun, putih dan seorang laki-laki yang berdiri disebelahnya sambil memegang benda yang aku tak tahu itu apa. Dua orang asing itu lalu berlalu ke arah belakang toko, dan setelahnya aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, yang ada dalam pikirku hanyalah sepertinya aku akan berpindah tangan lagi.

Rupanya benar dugaanku. Setelah berjam-jam mereka berbicara, tubuhku lalu diangkat beberapa orang dan dipindahkan ke dalam mobil bak berwarna biru tua itu. Aku tak tahu akan dibawa kemana, hanya saja yang aku tahu mobil yang membawa tubuhku ini berjalan mengikuti arah kemana dua orang asing tadi yang memujiku.

Tanpa terasa akupun telah sampai pada sebuah rumah yang besar. Tiang-tiang penyangga rumah berlapis warna emas nampak membuat rumah itu mewah dari kejauhan. Ada empat tiang sebagai penyangganya, satu di ujung sisi kanan rumah, satu diujung sisi kiri rumah, dan dua tiang lagi berada ditengah-tengah, dipisahkan daun pintu untuk masuk kedalam rumah itu. Dan sekali lagi, aku benar-benar takjub dengan rumah ini. Dari pertama aku diciptakan aku tak pernah hinggap dirumah yang semewah ini, dan entah bagaimana aku tak bisa membayangkan keindahan bagian dalam rumahnya. Dan ternyata benar, setelah aku dibawa masuk kedalam rumah, rumah itu sangatlah luas. Saat pertama aku menginjakkan kakiku kedalam rumah ini, aku melihat barisan-barisan yang serupa denganku duduk rapih membentuk letter U, mereka berwarna cokelat tua. Sama seperti keadaanku, mereka diberi penyangga jati berwarna cokelat. Saat aku melihat mereka, mereka semua memberikan senyuman terbaikku dan mengucapkan selamat datang padaku.

Lalu aku dibawa kembali menuju sebuah ruangan. Aku tak bisa lagi mendeskripsikan bagaimana keadaan sekeliling rumah itu selama aku dibawa menuju ruangan yang sekarang menjadi tempat singgahku. Aku berada didalam ruangan yang lumayan besar, ruangan ini nampak ramai, dan setelah yang aku tahu ternyata ini adalah ruangan keluarga. Aku berdiri kokoh bersandar pada sebuah tembok menghadap sebuah telivisi besar yang aku tak tahu berapa ukurannya. Didepanku membentanglah sebuah permadani cokelat dan berbulu halus, diatasnya terhempas beberapa buah bantal yang bergambar sebuah menara, dan setelah yang aku tahu ternyata itulah Menara Pisa. Telivisi besar itu tertempel didinding, dibawahnya berdiri pula sebuah almari kayu jati berisi barang-barang tua yang memanjang sepanjang televisi itu. Disudut kanan ruangan, berdiri pula lemari yang berisi buku, dan ia pun terbuat dari jati. Sebelah sisi kiri dibiarkan tanpa ada almari, yang ada hanyalah barisan-barisan jendela kayu. Jika kita melongok keluar, kita akan melihat sebuah taman kecil dengan tanaman-tanamannya yang membuat kita merasa sejuk. Dan tahukah, aku sangat bahagia berada dirumah ini, aku ada diantara orang-orang yang menyayangiku.

Tak terasa sudah tahun kelima aku berada dirumah ini, masih dalam ruangan yang sama, hanya saja isi dari ruangan ini bertambah, dan tambahan tiga peri kecil yang menambah keramaian dirumah ini. Tiga peri kecil ini sangat senang bermain-main denganku, mereka sering loncat-loncat diatas tubuhku. Meski pada akhirnya tubuhku sakit, aku menikmatinya, karena setelahnya mereka akan tertidur pulas diatasku. Tubuhku sudah bercampur aduk dengan mereka. Aku mulai dipipisi oleh mereka, bahkan kadang mereka suka buang hajat diatasku. Terkadang jika mereka sakit, mereka suka mengeluarkan sesuatu dari mulut mereka diatasku, namun aku menerimanya, ya aku menerimanya karena aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar pasrah setelahnya, hingga umur tiga peri kecil itu menginjak usia sekolah, mereka makin membabi buta berada diatasku. Ada bagian beberapa tubuhku yang mulai terkelupas. Namun perempuan yang dulu pernah memujiku belum mau membuangku.

Hingga suatu ketika, saat tiga peri kecil itu menginjak usia remaja, rupaku benar-benar sudah tak seindah dulu. Bau tubuhku tak semenarik dahulu, beberapa jahitan pun mulai terlepas. Dan ketika aku dalam lamunanku, meratapi nasibku sekarang, aku mendengar keluarga ini berdiskusi sesuatu, entah kenapa firasatku tak mengindahkan sesuatu.
***
Disenja yang entah keberapa aku diciptakan, aku terhenti pada suatu pikiran, entah aku harus bahagia atau sedih. Beberapa waktu yang lalu, aku berada dalam sebuah rumah yang nyaman. Aku hidup bahagia, namun aku harus terima tubuhku dalam keadaan dinjak-injak.
Namun diwaktu ini, aku berada pada sebuah rumah yang jauh dari rasa nyaman, rumah yang terbuat dari tumpukan papan, tak ada lagi tiang-tiang penyangga, tak ada lagi taman kecil, tak ada lagi kata mewah.
Deru suara kereta yang menemani keseharianku. Ya, aku sekarang tinggal disebuah gubuk dibantaran rel di Stasiun Tanah Abang. Aku hidup seperti saat aku dipindahtangankan dari penciptaku, aku dilihat orang banyak, namun kali ini berbeda. Aku hanya bisa dilihat mata-mata yang berada dibalik kaca pintu kereta, namun kebanyakan dari mereka melihatku dalam keadaan jijik, dan sebagian yang lain dalam keadaan iba. Seorang nenek tua yang sangat lusuh, yang sangat bau aromanya tertidur tergulai lemah diatasku. Disampingnya ada seorang kakek yang lusuh dan bau menemani nenek yang sudah tak berdaya ini.
Tak perlu lagi menanyakan bagaimana bentuk rupaku, rupaku sudah semakin tak jelas saat semua aktivitas nenek ini dilakukan diatas tubuhku. Aku benar-benar pasrah dan menerima semua perlakuannya. Namun selama usiaku diciptakan, aku tak pernah merasa se-enyuh ini seperti saat aku melihat kesetiaan si kakek menemani nenek ini hingga detik kesekian.

2 comments:

  1. tersentuh, pada kalimat kalimat terakhirnya Liiiii,.

    semangat menulis kembali ',')9

    ReplyDelete
  2. Keinspirasi sama sofa ditanah abang yang lusuh kak ;(

    ReplyDelete