Dua puluh tahun
yang lalu aku sengaja diciptakan oleh tangan-tangan pecinta seni.
Mereka menciptakanku sedemikian rupa agar aku nampak mempesona dan
anggun. Tubuhku berwarna krem dengan tutul bunga-bunga berwana merah
muda disekujur tubuh. Aku nampak lebih berisi ketika tanaman yang
kalian sebut kapas dan beberapa tambahan busa masuk kedalam tubuhku.
Lalu aku dibuat menjadi kuat dengan jati sebagai penyangga diri.
Aku
kemudian berdiri kokoh disebuah bangunan yang sebagian penghuninya
memang dari keluargaku. Aku telah dipindah tangankan oleh pembuatku
ke penjual perkakas rumah. Dan aku tersadar, aku diciptakan memang
bukan untuk dinikmati tangan yang penuh seni itu. Aku diciptakan
karena aku adalah barang yang komersil.
Awal aku memasuki toko itu, aku
sangat bingung. Aku tak tahu harus bagaimana, aku tak mengenal
sekelilingku, dan aku berdiri dibarisan paling depan. Detik berganti
menit, menit berganti jam, dan haripun telah berlalu. Aku mulai
mengenali sekelilingku. Aku mulai terbiasa dengan keadaan
sekelilingku. Tiap hari aku menghabiskan waktu bersama mereka,
bercengkrama. Aku sangat suka dengan keadaanku sekarang, aku banyak
dilihat orang, banyak yang menyentuhku, memujiku kemolekkanku. Hingga
suatu ketika, “Pak,
harga sofa ini berapa? Dia unik sekali ya, saya suka bentuk dan padu
padan warnanya. Ini dijual kan ya Pak?.” Ada
yang menanyakan tentang diriku, menanyakan hargaku, menanyakan dari
apa aku terbuat. Aku tak tahu dia siapa, yang tergambar dalam rupa
yang aku lihat dia seorang wanita yang cantik, anggun, putih dan
seorang laki-laki yang berdiri disebelahnya sambil memegang benda
yang aku tak tahu itu apa. Dua orang asing itu lalu berlalu ke arah
belakang toko, dan setelahnya aku tak tahu apa yang mereka bicarakan,
yang ada dalam pikirku hanyalah sepertinya aku akan berpindah tangan
lagi.
Rupanya benar
dugaanku. Setelah berjam-jam mereka berbicara, tubuhku lalu diangkat
beberapa orang dan dipindahkan ke dalam mobil bak berwarna biru tua
itu. Aku tak tahu akan dibawa kemana, hanya saja yang aku tahu mobil
yang membawa tubuhku ini berjalan mengikuti arah kemana dua orang
asing tadi yang memujiku.
Tanpa terasa
akupun telah sampai pada sebuah rumah yang besar. Tiang-tiang
penyangga rumah berlapis warna emas nampak membuat rumah itu mewah
dari kejauhan. Ada empat tiang sebagai penyangganya, satu di ujung
sisi kanan rumah, satu diujung sisi kiri rumah, dan dua tiang lagi
berada ditengah-tengah, dipisahkan daun pintu untuk masuk kedalam
rumah itu. Dan sekali lagi, aku benar-benar takjub dengan rumah ini.
Dari pertama aku diciptakan aku tak pernah hinggap dirumah yang
semewah ini, dan entah bagaimana aku tak bisa membayangkan keindahan
bagian dalam rumahnya. Dan ternyata benar, setelah aku dibawa masuk
kedalam rumah, rumah itu sangatlah luas. Saat pertama aku
menginjakkan kakiku kedalam rumah ini, aku melihat barisan-barisan
yang serupa denganku duduk rapih membentuk letter
U, mereka berwarna
cokelat tua. Sama seperti keadaanku, mereka diberi penyangga jati
berwarna cokelat. Saat aku melihat mereka, mereka semua memberikan
senyuman terbaikku dan mengucapkan selamat datang padaku.
Lalu aku dibawa
kembali menuju sebuah ruangan. Aku tak bisa lagi mendeskripsikan
bagaimana keadaan sekeliling rumah itu selama aku dibawa menuju
ruangan yang sekarang menjadi tempat singgahku. Aku berada didalam
ruangan yang lumayan besar, ruangan ini nampak ramai, dan setelah
yang aku tahu ternyata ini adalah ruangan keluarga. Aku berdiri kokoh
bersandar pada sebuah tembok menghadap sebuah telivisi besar yang aku
tak tahu berapa ukurannya. Didepanku membentanglah sebuah permadani
cokelat dan berbulu halus, diatasnya terhempas beberapa buah bantal
yang bergambar sebuah menara, dan setelah yang aku tahu ternyata
itulah Menara Pisa. Telivisi besar itu tertempel didinding,
dibawahnya berdiri pula sebuah almari kayu jati berisi barang-barang
tua yang memanjang sepanjang televisi itu. Disudut kanan ruangan,
berdiri pula lemari yang berisi buku, dan ia pun terbuat dari jati.
Sebelah sisi kiri dibiarkan tanpa ada almari, yang ada hanyalah
barisan-barisan jendela kayu. Jika kita melongok keluar, kita akan
melihat sebuah taman kecil dengan tanaman-tanamannya yang membuat
kita merasa sejuk. Dan tahukah, aku sangat bahagia berada dirumah
ini, aku ada diantara orang-orang yang menyayangiku.
Tak terasa sudah
tahun kelima aku berada dirumah ini, masih dalam ruangan yang sama,
hanya saja isi dari ruangan ini bertambah, dan tambahan tiga peri
kecil yang menambah keramaian dirumah ini. Tiga peri kecil ini sangat
senang bermain-main denganku, mereka sering loncat-loncat diatas
tubuhku. Meski pada akhirnya tubuhku sakit, aku menikmatinya, karena
setelahnya mereka akan tertidur pulas diatasku. Tubuhku sudah
bercampur aduk dengan mereka. Aku mulai dipipisi oleh mereka, bahkan
kadang mereka suka buang hajat diatasku. Terkadang jika mereka sakit,
mereka suka mengeluarkan sesuatu dari mulut mereka diatasku, namun
aku menerimanya, ya aku menerimanya karena aku tak bisa berbuat
apa-apa. Aku benar-benar pasrah setelahnya, hingga umur tiga peri
kecil itu menginjak usia sekolah, mereka makin membabi buta berada
diatasku. Ada bagian beberapa tubuhku yang mulai terkelupas. Namun
perempuan yang dulu pernah memujiku belum mau membuangku.
Hingga suatu
ketika, saat tiga peri kecil itu menginjak usia remaja, rupaku
benar-benar sudah tak seindah dulu. Bau tubuhku tak semenarik dahulu,
beberapa jahitan pun mulai terlepas. Dan ketika aku dalam lamunanku,
meratapi nasibku sekarang, aku mendengar keluarga ini berdiskusi
sesuatu, entah kenapa firasatku tak mengindahkan sesuatu.
***
Disenja yang
entah keberapa aku diciptakan, aku terhenti pada suatu pikiran, entah
aku harus bahagia atau sedih. Beberapa waktu yang lalu, aku berada
dalam sebuah rumah yang nyaman. Aku hidup bahagia, namun aku harus
terima tubuhku dalam keadaan dinjak-injak.
Namun diwaktu
ini, aku berada pada sebuah rumah yang jauh dari rasa nyaman, rumah
yang terbuat dari tumpukan papan, tak ada lagi tiang-tiang penyangga,
tak ada lagi taman kecil, tak ada lagi kata mewah.
Deru suara
kereta yang menemani keseharianku. Ya, aku sekarang tinggal disebuah
gubuk dibantaran rel di Stasiun Tanah Abang. Aku hidup seperti saat
aku dipindahtangankan dari penciptaku, aku dilihat orang banyak,
namun kali ini berbeda. Aku hanya bisa dilihat mata-mata yang berada
dibalik kaca pintu kereta, namun kebanyakan dari mereka melihatku
dalam keadaan jijik, dan sebagian yang lain dalam keadaan iba.
Seorang nenek tua yang sangat lusuh, yang sangat bau aromanya
tertidur tergulai lemah diatasku. Disampingnya ada seorang kakek yang
lusuh dan bau menemani nenek yang sudah tak berdaya ini.
Tak perlu lagi
menanyakan bagaimana bentuk rupaku, rupaku sudah semakin tak jelas
saat semua aktivitas nenek ini dilakukan diatas tubuhku. Aku
benar-benar pasrah dan menerima semua perlakuannya. Namun selama
usiaku diciptakan, aku tak pernah merasa se-enyuh ini seperti saat
aku melihat kesetiaan si kakek menemani nenek ini hingga detik
kesekian.
tersentuh, pada kalimat kalimat terakhirnya Liiiii,.
ReplyDeletesemangat menulis kembali ',')9
Keinspirasi sama sofa ditanah abang yang lusuh kak ;(
ReplyDelete