Wednesday, December 3, 2014

Jumatulis Season 2 - Perjalanan - Ayah, 40 Hari, dan Kenangan yang Ditinggalkannya


"Terkadang tingkah laku orangtua yang membuat seorang anaknya "kesal", kelak di masa yang akan datang akan jadi kenangan yang terlalu sayang untuk dilupakan begitu saja. Dan itulah yang terjadi ."

"Rapuhku mengalir menganak sungai pada air yang jatuh dari kedua mata yang ibu punya. Beritahu padaku, adakah seseorang yang hatinya mampu sekuat baja? Jika ada, aku ingin belajar darinya sebab aku tak lagi sanggup berpura-pura merasa tidak apa-apa pada kehilangan. "

Untuk kenangan yang tak pernah kusangka sebelumnya. . .

Selasa kala itu. Seperti biasa ayah selalu siap lebih dahulu dibandingkan perempuan yang akan diantarkannya. Aku masih membenarkan lekukan-lekukan kerudung yang kutaruh di atas kepalaku, melengok ke kanan melengok ke kiri, mengambil sedikit bagian dari dua sisinya, lalu kusematkan keduanya di leher dengan jarum pentul.

"Teh, udah belum? Lama amat dandannya? Ayah makan dulu bisa gak?"

Seperti biasa, ayah selalu cerewet perihal keleletanku. Tapi jujur saja, soal dandan, aku paling tidak bisa disuruh terburu-buru.

"Yaudah, makan dulu aja yah, dianter ayah ini kan? Berangkat setengah tujuh aja, lagian sekarang masih jam enam."

Ayah beranjak ke tempat makan. Mengambil beberapa potong daging yang dimasak rendang-yang tak pernah kusangka akan jadi rendang terakhirnya-.

Pukul setengah tujuh. "Ayo yah berangkat". Bagiku, ayah adalah sosok yang takkan ku bisa gambarkan seperti apapun, ah atau mungkin ia seperti malaikat? sebab ia selalu ada saat kubutuh. Saat aku tak ada disampingnya, ayah selalu siap datang jika kubutuhkan. Ia tak pernah mau menginginkan si perempuannya merasa susah.

Aku berangkat ke tempat kerja dengan ayah juga dengan sepeda motornya. Sejak pertama aku mendapatkan kerja di tempat yang baru, ayah selalu memaksa untuk mengantarkanku sampau tempat kerja. Aku selalu menolak, tapi hari itu aku yang memaksa ayah untuk mengantar sampai tempat kerja. Ayah sudah biasa jika aku selalu tertidur dalam tunggangannya, memeluknya dari belakang. Namun, entah mengapa di Selasa pagi yang cerah saat itu, pelukannya terasa berbeda, aku tertidur pulas dan sangat pulas sampai Lebak Bulus.

Aku tak pernah menyangka, tatapanku di Selasa itu adalah tatapan untuk yang terakhir kalinya. Aku tak tau apa yang mendorongku untuk tak langsung menyuruhnya pulang sesampainya di tempat kerja, aku menatap matanya. Rasanya baru kali ini aku menatap ayah lekat-lekat. Ada sesuatu yang ingin kujelaskan tapi aku tak bisa. Aku memberikan salam padanya dengan mencium tangannya yang kurasapun berbeda. Ia pulang dengan menatapku yang tak seperti biasa. . .

Malam yang kupikir semua hanyalah candaan yang biasa ia lakukan. . .

Aku maih dalam perjalanan pulang menuju tempat kerjaku setelah hampir dari sehari ini aku rapat dengan klien-kliennya bos. Handphoneku berdering. Ah ayah rupanya. Aku menerima panggilan itu, ternyata bukan ayah, suara seorang perempuan

"Teh pulang ya, ayah sakit, ntar pulangnya naik ojek aja".
"Ini tante ya? Pasti boong mau ngerjain?" Jawabku.

Aku masih menganggap si perempuan itu berbohong, ia mengaku tetanggaku katanya. Tapi curigaku adalah saudara perempuan ayah yang sedang disuruh ayah untuk mengibuliku.

Pukul sembilan aku sudah kembali ke tempat kerja. Sudah memang kuniatkan aku akan tidur di tempat kerja. Aku kembali lagi menelepon ayah. Tetanggaku yang mengangkat kembali, ia bilang ayah masuk rumah sakit. Aku masih tidak percaya hingga akhirnya ibu yang berbicara dengan nada lirihnya. Lalu aku kembali kerumah bersama perasaan yang teu paruguh.

Sebuah perjalanan yang sangat singkat
Lima puluh sembilan tahun perjuanganmu mencari akhirat
Tiga bulan lamanya engkau meyakinkan perempuan yang pertama kali kau lihat sedang menyapu, bahwa engkau sungguh menyayanginya
Tiga puluh tahun, engkau menjalani hidup bersama perempuan yang sangat kau sayangi
Ayah, dua puluh tiga tahun tak cukup rasanya untuk sekedar berdua-dua denganmu
Ibarat kaki, aku telah pincang
Sebab ku telah kehilangan satu penyangga tubuhku
Tiang-tiang yang mampu menjadikanku perempuan yang kokoh

Ayah, aku pernah merasa kehilangan dengan lelaki yang kucintai
Tapi tak pernah aku merasa kehilangan yang amat dalam seperti kehilangan padamu
Aku telah kehilangan jiwa lelaki setia
Lelaki yang amat sangat sabar
Lelaki yang perhatiannya tiada tara
Empat puluh hari bukanlah waktu yang sangat lama untuk mengumpulkan kenangan yang telah kau tinggali

****

Hujan mengguyur deras siang itu. Angin yang sangat kencang. Gemuruh petir yang saling sahut-sahutan. Aku terbangun dari tidur siangku. Melihat jam diantara dua bingkai poto ayah dan ibu. Sudah pukul setengah satu, adzan dzuhur tak menghiraukan tidurku yang sangat lelah. Aku mengucek mata, bantalku telah basah. Ah rupanya aku menangis dalam mimpi. Aku bergegas ke kamar ayah, kulihat ia sedang mengaji dengan suara lembutnya, aku belum kehilangan dia, mimpi yang telah kehilangan ayahnya. "Ya Allah muliakanlah ia, sayangi ia seperti ia menyayangiku, cintai ia seperti ia mencintaiku."  lirihku.