Tuesday, November 20, 2018

Perihal Ikhlas


Aku tau memangisinya itu melelahkan
Aku ikhlas
Tapi tak dapat kupungkiri bahwa memiliki kehilangan adalah hal tak bisa kuhindari

Perihal sabar itu mudah
Namun menjalanina itu yang susah
Tapi aku tetap bersusah payah
Sebab ku tahu surga itu indah

Lelah rasanya ketika aku harus berpura-pura tegar
Menjadi batu di depan orang yang sangat aku tau kerapuhan jiwanya
Bukan karena aku ingin dikata jagoan
Sebab rasanya tak mungkin aku menimpuki lagi batu pada jiwa yang telah rapuh

Tuhan, kupinjam bahu-Mu untuk rebahku setiap saat
Melepas semua.kesedihanku
Membuang semua keterpura-puraanku
Sebab bukan pada jasad lagi aku telah jatuh
Ruhaniku jauh lebih rapuh
Dan kutahu penawarnya adalah berdua dengan-Mu


Serpong, 18 Oktober 2014



Kota Tua



Senja,
Boleh sedikit aku bercerita?
Dahulu di tempat yang kau bilang tua
Aku pernah mengisahkan tentang cerita yang tak pernah menua
Tentang cinta yang tak luput usia
Ditempat ini, kota yang kau bilang TUA

Kota Tua, 21 May 2014


Subuh Pukul Tujuh Pagi


Disepertiga malam di Jumat pagi itu
Kala keningku mencium pada tempat yang paking rendah
Doa-doa senantiasa keluar dengan seenaknya
Air mata dan permohonan ampunana menyanding si kening di tempatnya
Lalu, Tuhan datang dengan segala Maha-Nya
Ia bertanya perihal inginku
"Apa yang kamu inginkan disisa akhir hidupmu, hamba-Ku?"
Si bibir datang dan mengambil alih
"Aku ingin sederhana dalam hidupku, tapi aku ingin bermewahan dalan ibadahju"
Tuhan menanggapi
"Maka beribadalah sekuat tenagamu hingga Aku yang menggantikan posisimu."
Tuhan pergi meninggalkan aku yang rasa dengan penasaran
Aku sadar
Aku telah terbangun dari mimpi, dan aku tahu,
Aku belum subuh dipukul tujuh pagi


Serpong, 18 Oktober 2014

Neraca


Entah di suatu kota mana
Aku menemui si miskin yang tengah memegangi perutnya
Tulang tangan kanannya menjalar membentuk mangkuk yang siap ditumpahi sayur sop
Si miskin memelas
Berharap ia menerima.belas dari orang bekelas
Lalu terdengar lirih dari kedua bibirnya yang mengering kerontang
"Katanya rakyat miskin dipelihara negara
Tapi mengapa hingga detik kesekian aku masih merasakan lapar yang perih
Katanya petinggi kotaku adalah manusia yang adil
Adil layaknya aset yang diseimbangi penjumlahan hutang dan modal pada bagan neraca
Lalu, mengapa aku masih harus mencari selisih diantara keduanya? "
Perutnya kian meronta bak anak kecil yang menginginkan boneka
Bibirnya layaknya tanah kering yang rindu akan hujan turun
Si miskin semakin memegangi perutnya
Sedang rakyat yang lain tengah asyik memberi makan pada cacing yang hinggap di perutnya

Serpong, 16 Juni 2014

Wednesday, November 7, 2018

"Seperti Tidak Ada New York Hari Ini, Tidak Ada Istirahat Untuk Pekerjaan Ini"




Lima belas menit setelah waktu ini adalah waktu kepulangan bagi para penyembah kapitalis. Aku membuka ponsel pintarku, membuka kuncinya, lalu mencari aplikasi WhatsApp dan ku cari namamu.

"Pilar, kita jadi bareng?". Ku kirim pesan singkat itu untuk memastikan apakah kita jadi untuk pulang ke rumah bersama.

Pesanku tidak langsung sampai. Masih tercentang satu. Aku kesal. Aku mengeluh, sebab aku tidak lagi memiliki cukup pulsa untuk sekedar memberi pesan singkat. "Jika tidak ada kabar bagaimana dengan janji kita?" Gumamku.

Aku menaruh ponsel pintarku di atas meja sebelah kanan dekat dengan kotak tempat aku menaruh dokumen-dokumen kantor. Aku kembali fokus pada layar di hadapan mukaku, lalu mengecek e-mail, mencari email masuk untuk tanggungjawab ku besok.

"Hhhhh" aku mengembuskan napas. "Seperti tidak pernah ada berhentinya kesibukan menjadi penyembah kapitalis yang tidak beruntung" keluhku.

Ping.

Ponsel pintarku berbunyi, menandakan bahwa ada pesan singkat yang masuk ke chat WhatsAppku. Aku mengambilnya, membuka kunci layar dan membaca pesan singkat itu.

"Jadi, di kereta nomor lima ya, di jalur lima arah Serpong", Pilar membalas pesan singkatku delapan menit setelah aku mengirimanya pesan singkat.

"Oke. Nanti gue teng go ya."

"Hati-hati, Enigma." Balasnya.

Lima menit menuju jam lima. Aku dengan segera membereskan semua barang-barang yang sudah ku keluarkan dari dalam tas dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Membereskan berkas, mematikan sistem komputer, lalu menutupnya. Tepat pukul tujuh belas aku beranjak dari meja kerjaku.

***

Tidak akan ada habisnya keluh
Tanpa kau bereskan semua keluhmu.

"Nig, lo udah baca bukunya Aan Mansyur yang Tidak Ada New York Hari Ini?" , Tanyanya ketika aku dan Pilar sudah berdiri di kereta nomor lima, pintu kedua dari depan.

"Belum. Kenapa?" Jawabku.

"Bacalah, lo pasti suka". Ia memalingkan wajahnya dari mukaku ke jalan-jalan yang dibalik kaca kereta.

"Gak ada yang sebagus buku yang gue baca sekarang, Pilar."

"Oh ya?" Tanyanya dengan nada terkejut. "Buku apa?" Lanjutnya.

"Seperi Tidak Ada New York Hari Ini, Tidak Ada Istirahat Untuk Budak Kapitalis yang Tak Beruntung". Aku menjawabnya sembari menatap jalan dari balik kaca kereta.

Aku menghela napas, meliriknya dan kulihat ia tersenyum sambil menahan tawa.

"Seneng banget lo temen susah" ocehku.

"Oh. . .Jadi ini alasan ngajak gue balik bareng. Hahaha. Emang kenapa lagi sih?"

"Nambah." Jawabku dengan nada yang lemah. "Gue capek, Pi. Yang selama ini gue kerjain aja gue gak sanggup, gimana mau ditambahin lagi, coba."

"Ya lo terima lah. Resiko jadi budak kapitalis. Emang enak. Hahaha. Nig, gue kasih tau lo ya, selama lo masih hidup, dan selama lo nyembah kapitalis, kerjaan lo gak akan ada habisnya. Kalau lo gak mau nambah kerjaan, pilihannya ada dua. Usaha atau lo mati."

"Aku menundukkan kepalaku. Melihat lagi keluar jendela. Di luar, titik hujan mulai memenuhi kaca. Dingin, tapi tidak untuk kepalaku. Dia menatapku. Memberi senyum seperti biasanya. "Udahlah, nikmatin aja dulu. Nanti juga akan ada waktunya lo resign."

Dia mendekatkan tubuhnya ke sampingku, kemudian berbisik "Nig, kalau bagi lo seperti tidak ada habisnya kerjaan ini buat lo, kalau gue seperti tidak ada habisnya cinta ini buat lo".

Aku tersentak mendengar katanya. Aku diam, memandangnya dengan wajah biasa.

"Gitu kata rumput sore hari kepada angin. Hahahaha. Lo pasti udah seneng kan gue bilang gitu. Hahaha". Lanjutnya kali ini dengan tertawa yang lepas.

Aku memalingkan mukaku darinya. Sial, dia cuma meledek. Dia tidak pernah tau seberharap apa aku untuk kebenaran kalimatnya yang terakhir.

"Pilar, jangan meledek." Tukasku.

Berbeda dari buku "Tidak Ada New York Hari Ini, Tidak Akan Ada Cinta Untukku Sampai Kapanpun

Thursday, October 25, 2018

Nulis Kamisan S04E03 - Rawon




Ada begitu banyak cara bagaimana aku bisa mengenang seseorang dengan cara yang baik.
Sebuah cara yang dengannya, kenangan itu akan aku ceritakan dengan begitu manis.

Adalah seorang perempuan paruh baya dengan rambut gimbal dan bertubuh gempal.
Yang dengan tangan gemuk nan menggemaskan itu mampu membuat semangkuk sup berkuah hitam yang kata kebanyakan orang, sup ini adalah sup khas Jawa Timur menjadi sangat nikmat ketika berselancar di kerongkonganmu.

Beberapa potong daging, tauge, daun bawang, kerupuk juga sambal merahnya yang khas akan membawa kembali siapa saja yang pernah mencicipi Rawon Mbok Gempal. Pun begitu denganku, aku tidak pernah menghitung seberapa banyak aku kembali lagi hanya untuk semangkuk sup tanpa nasi dengan daging yang minta dilebihkan dari porsinya juga lima sendok makan sambal merah khas Mbok Gempal.

***
Tidak semua hal yang pada awalnya kau kemas dengan begitu manis akan berakhir menjadi cerita manis untuk dikenang dan dibagikan ceritanya.

Seminggu dari terakhir aku mengunjungi Mbok Gempal, aku melihat tenda itu porak poranda, hancur dan dinding tempat pengunjung makan berwarna hitam. Aku bingung dan kaget, kenapa tempat makan yang dulu favorit ini menjadi hancur berantakan dan bahkan ada garis polisi.

Aku membelokkan arahku ke warung kopi di seberang warung Mbok Gempal, memesan segelas kopi hitam, dan bertanya apa yang telah terjadi dengan Simbok. Sembari memberikan segelas kopi, penjual kopipun berkata “daging yang digunakan, daging manusia yang dijadikannya sebagai tumbal, mbak”.

Saturday, October 6, 2018

Sepeda - Kamisan S04E01




“Saya tidak pernah tahu sejarah mana yang benar dan yang bukan. Yang saya tahu sejarah ditulis para pemenang. Berdebat bukanlah sikap yang tepat. Sebab setiap bagian akan membenarkan diri dan akan menyalahkan yang lain. Yang saya tahu, sesiapa yang berhasil mengarang cerita, ia bukan hanya membohongi diri sendiri tetapi jutaan orang, juga anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Semua berhak memutarbalikkan fakta, semua berhak mendapat pengakuan, semua berhak mendapat bela.

Sesiapapun yang membuat sejarah, seharusnya dia tahu, bahwa Tuhannya tidak pernah tidur.”

Dua tahun setelah peristiwa. . .

Entah bagaimana nasibku juga ikut bersama mereka di bui ini. Bui yang setiap orang tidak ingin memasukinya, apalagi sampai mendekam di dalam dan begitu lamanya. Tapi, kini aku ada. Aku ada di bui ini, bersama mereka, menikmati sakit.

Aku ditempatkan di ujung blok. Aku sudah tua, dan mereka tau itu. Tubuhku bukan hanya rapuh, tapi komposisinya sudah tidak sanggup menyangga badanku sendiri. Aku di sandarkan di dinding berwarna putih, yang bahkan beberapa lepasan catnya menempel di tubuh. Mereka tidak peduli bagaimana aku menikmati hari-hari dengan sengatan matahari, dinginnya malam, suara-suara penyiksaan, suara-suara tangisan, suara-suara umpatan.

Aku tidak pernah memilih untuk menjadi seperti ini, atau bahkan paling tidak jangan aku yang harus di sini. Aku tidak suka tempat ini. Aku tidak tahu apa-apa, mengapa mereka memilih aku untuk di sini?

Lalu, lambat laun aku mulai menikmati. . .

Tapi, semua suara dan semua rasa yang awal aku rasakan seperti aku tidak ingin mendapatkannya, kini aku menerimanya. Sebab bagaimanapun, aku tidak bisa pergi begitu saja, di sini ketat penjagaanya, sipir-sipirpun kejam. Aku hanya berharap ada yang membawaku keluar dari bui ini.

Aku mulai terbiasa dengan suara tendangan sepatu boot yang menendang dengan empuk ke bagian tubuh penghuni. Suara lemparan piring, suara hujatan “pengkhianat pancasila”, suara hujatan “pengkhianat golongan”, suara orang-orang yang meringis kesakitan ketika tubuhnya di lempar, ketika bagian tubuhnya sengaja diinjak oleh meja.

Pada suatu hari di sebuah malam. . .

Aku tidak tahu mengapa hari ini begitu menjadi sangat damai. Sedari pagi, udara terasa sangat lembut menyentuh tubuh, siang hari tidak begitu menyengat seperti biasanya. Aku menikmati hari ini, bersyukur, karena di tengah tempat penyiksaan seperti ini jarang sekali aku merasakan senyaman ini.

Hingga suatu ketika, ada seseorang yang berani mengayuh pedalku. Seseorang itu kurus, aku tau karena aku tidak begitu merasakan beratnya di atas dudukku. Ia mengayuh dengan sangat cepat sembari membawa kepanikan yang luar biasa. Ya aku merasakan itu, merasakan degup jantungnya, merasakan peluhnya. Ia mengayuh dan terus mengayuh. Aku senang, aku pikir aku akan bebas dari tempat ini. Dan aku berteriak.

Tidak akan ada sejarah yang mencatatku sebagai sepeda tua yang tidak tahu apa-apa tapi ikut dipenjara dalam bui, dijemur di siang hari, dan akan merasakan dingin di malam hari. Pada malam aku di bawa kabur seorang tahanan, aku pikir aku akan dibawanya, merasakan bebasnya, dan menjadi normal seutuhnya. Tapi kenyataan berkata lain. Jejak tahanan ini diketahui oleh sipir yang-menurutku-sama-tidak-manusiawinya. Berawal sebuah tembakan mengenai rodaku, aku terjatuh, aku tak mampu menopangnya. Tahanan itu jatuh, ia kemudian lari masuk ke hutan. Nasibku sangat tidak bagus, aku kemudian dilindas oleh kendaraan yang jauh lebih kuat, dan juga beberapa. Aku kemudian terbagi menjadi beberapa bagian, tubuhku hancur. Aku dibiarkan.

Dan sekali lagi, sesiapapun mereka yang membuat sejarah, seharusnya mereka tahu, bahwa Tuhan tidak pernah tidur.

Galau - Kamisan S04E02




Andai aku tau sesakit ini rasanya menyakitimu,
akan aku putar waktu untuk tidak memulai semua pertengkaran ini.
Andai aku tau jika menduakanmu akan sebesar ini rasa bersalahku,
akan aku putar waktu untuk tidak mengenali lelaki yang bahkan ia memperlakukan sikap yang sama pada setiap perempuan.
Andai aku tau, sejatuh ini aku menyesal atas semua lakuku,     
Aku ingin tak menyakitimu lebih lama lagi.

Pilar, seandainya kamu tau apa yang sedang aku lakukan pada malam ini, apa kamu masih mau merasa iba untuk kesalahanku yang telah berulang-ulang?

-Enigma-

Pada malam itu, suasana di lapangan yang sangat luas angin mengembuskan napasnya. Sangat sejuk, tapi tidak untuk mewakili hati seorang perempuan yang patah hati atas kesalahan-kesalahannya sendiri. Perlahan hujan turun, gerimis, gerimis, kemudian hujan lebat.

ah, hujan mengapa kau selalu menjadi alasan-alasan yang tepat untuk menjadi galau?’’


Monday, October 1, 2018

Merajut Harkat by Putu Oka Sukanta



Judul             : Merajut Harkat
Penulis           : Putu Oka Sukanta
Penerbit        : PT. Elex Media Komputindo
5 bintang dari 5

“Ia memancing anak tikus dengan ikan asin. Benar-benar gila. Ia telentang di lantai kakus, telapak tangannya diisi ikan asin. Nah begitu anak tikus itu menggigit ikan asin, ia menggemgam tangannya, bayi tikus itu dimasukkan ke mulut lalu dimakannya.”

“Si Markus makan kulit pisang yang sudah terendam air kencing semalaman, dan dua hari kemudian, ia mati.”

-Sebuah Pengantar-

Buku ini menceritakan Mawa, seorang tahanan politik tahun ’65 yang ditangkap setahun setelah peristiwa itu terjadi. Buku ini diterbitkan tahun 2010. Saya beli dengan harga 30 (percayalah, bahagia itu sesedarhana ini, wkwkwkw) dan saya beli di April 2014, tapi baru saya baca sekarang dengan cara yang baik ehehehe .

Buku ini terdiri dari lima bagian dan di tiap bagiannya itu terdiri dari beberapa bagian cerita lagi. Buku ini saya kasih lima bintang dari lima bintang, kenapa? Mari saya ceritakan.

Buku ini diawali dengan pembukaan-pembukaan dari beberapa pembaca. Dari awal pembukaannya saja sudah menarik. Yang terpikirkan waktu baca buku ini adalah “baik-baik, nanti diciduk’ wkwkwkw. Dari tag line di cover bukunya saja kita sudah pasti tahu bahwa buku ini menceritakan tentang betapa tersiksanya menjadi seorang tahanan “disiksa, dibunuh, dibiarkan kelaparan, tanpa obat, tanpa perhatian, tanpa harga diri. . . “

Dan benar saja, Om Putu ini, menurut saya benar-benar pandai mendeskripsikan cerita dari awal sampai akhir. Benar-benar detail. Ketika kalian membacanya, kalian juga akan merasakan apa yang tahanan itu rasakan; gimana ia dibiarkan makan sehari sekali, minum sekali, dipukul, dipaksa mengaku, difitnah, dan segala apapun “penguasa” lakukan, bisa jadi kalian ikut menangis.

Di tiap bagiannya menceritakan gimana awal mula si Mawa ini ditangkap, kemudian dipenjara sampai ia bebas. Dimulai dari diintai, dicurigai, ditangkap lalu kemudian dipaksa mengaku dengan ibu jari diinjak dengan kaki meja (saya yang keinjek keponakan aja nyerinya setengah mati TT gimana kaki meja, duh Gusti), dan kisah Mawa yang dipindahkan dari satu penjara ke penjara yang lain, dari blok satu ke blok lain serta cerita di dalamnya. Dan Om Putu ini benar-benar membawa saya menjadi ikut nyeri (Saya gak tau waktu itu orang-orang di kereta atau di stasiun itu melihat saya gimana, karena pas baca penyiksaannya saya ikut bongkok-bongkok wkwkw). Selain kalian yang baca disguhkan rasa nyeri, kalian juga akan disuguhkan oleh “kisah cinta” Nio terhadap Mawa yang sangat setia, yang tidak pernah pergi apapun kondisi Mawa, yang justru membangkitkan semnagat Mawa untuk tetap hidup walau dalam tekanan. Kalian juga akan merasakan gimana rasanya dikhianati (tapi ini rasanya beda ya dikhianati sama anuan, ehehehe). Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari kisah Mawa ini. Kita harus bisa bangkit saat terjatuh, jangan ngikutin arus seakan-akan kita mati begini. Mawa idtengah siksaannya ia masih mau banyak belajar (bahasa, kerajinan dan lainnya), tidak memikirkan diri sendiri walau kekurangan (ini digambarkan ketika Mawa mendaptkan kiriman dari Nio, Mawa selalu membagikan ke teman yang lain disaat yang lain menjaga makanannya karena takut kelaparan), dan tetap berbuat baik terhadap orang yang sudah mengkhianati (Mawa tetap baik ketika Handi mecoba memfitnah dia da kawan-kawannya akan mengadakan sebuah organisasi dan pesta).

Ceritanya maju, jadi gak bikin pembaca bingung, gak bolak balik halaman untuk menyambungkan cerita (ini menyebalkan sih, masa disuruh mengingat masa lalu lagi). Kalaupun ada cerita tentang masa lalu, itu diceritakan di awal bagian dan dijelaskan pemisahnya. Jadi kita, tahu oh ini ceritanya si ini, penggalannya sampai sini, oh ini bagiannya ini, oh jadi si ini dulunya begitu. Ya pokoknya gak bikin pembaca pusing. Oh iya, tapi ada sebagian cerita dari kisah penjara yang membuat kita tertawa. Jadi gak sepenuhnya cerita ini tentang penyiksaan, ya walaupun 80%nya iya ehehe.

BUT, ENDINGNYA NGESELIN ALLAHU RABBI. Pas sudah sampai akhir, kalian akan cuma berkata “udah? Gini doang? Akhirnya begini”. Gak nyangka bukunya sudah sampai halaman akhir sedih akutuh

Buku ini membuka isi mata sejarah saya dari sisi yang beda. Sebuah sisi yang tak pernah diungkapkan juga dalam buku sejarah sekolah. Buku ini membuat saya sempat berpikir “kenapa yang ditanamkan kebencian kepada saya selama puluhan tahun adalah “mereka”, kenapa tak sama-sama. Saya tidak mendukung, tidak juga membenarkan, dan juga membenci “mereka” atas apa yang “mereka “lakukan waktu itu. Mereka yang menyiska para tahanan juga jahat, sama-sama gak punya hati, karena yang mereka tangkap tidak semua terlibat, tidak semua tahu, dan yang hanya ikut-ikutan, tapi ikut merasakan siksa, makanan tahanan diambil duluan, istri-istri diperkosa. Apa tidak berarti sama juga? Dan yang menjadi saya berpikir saat ini, kenapa saya harus ditanamkan kebencian hanya dengan satu sisi saja?. Kenapa sejarah itu hanya untuk pemenang (yak arena ditulis oleh pemenang wkwkw. WOY NUR AINI, INI FIKTIF, JANGAN MIKIR MACAM-MACAM, BAPER AMAT AMA CERITA DOANG, :(. )

----------------------

“Nio, banyak hal yang bisa mempertautkan dua hati. Tidak hanya kecantikan atau kekayaan. Ada yang lebih dari itu”. “Apa  itu, mas?”. “Engkau semakin dekat padaku, justru saat aku sudah mulai kehilangan sebagian besar dari apa yang pernah kumilik. . . aku merasa aman bersamamu (Ecieeeee, kalian juga kepengen kan diginiin,wkwkwk).” – Hal 58-59.

“Jadi, bukan hanya ideologi yang membuat orang-orang berkelahi, kopi dan rokokpun di kalangan seideologi sering menyudutkan percekcokkan.” – Hal 93.

“Para tahanan saling berpandangan. Mawa merasa ngeri, walaupunotaknya berusaha menangkan perasaan. Kriminal itukan manusia, pikirnya. Mereka menjadi criminal bukan karena kemauannya. Mereka kelaparan, kecewa, dendam, kemiskinan atau salah tangkap.” –Hal 149.



Sunday, July 29, 2018

Sebuah Buku yang Mencari Celah

Yang mengendap-endap, memasuki sebuah ruang gelap. Berusaha untuk mencari celah agar ia bisa memasuki diri. Sudut demi sudut ia cari. Lantai satu tidak ia temukan, ia beranjak ke lantai dua, tak lagi ia temukan. Tinggal satu harapannya, lantai tiga. ia mencoba mencari semua sela-sela. Ia menemukannya. Ia bergembira. Ia mengambil posisi di antara Tuhan Hitler dan Sabda Zarathrusta. Ia melirik keduanya. 

"Apalah aku ini, hanya seorang sufi dari Madura. Dua manusia yang tergambar di sebelahku adalah sosok laki-laki yang memiliki kumis. Kedua mata mereka memiliki sorot yang tajam. Tidak ada senyum diantara mereka. Sebelum masuk diantara mereka berdua, aku meminta izin agar aku bisa beristirahat dengan baik diantara mereka. "

"Kau orang baru?" Tanya Hitler padaku.
"Bukan, saya sudah dibeli olehnya tiga bulan yang lalu. Hanya saja ia baru berani membawaku kerumahnya hari ini. "
"Kau harus hati-hati kalau tidak ingin ketahuan. Ibu Suri di sini sangat bawel kalau dia tahu perempuan yang membawamu kesini telah membelimu." Sahut Nietz.

Nietz dan Hitler mempersilahkan aku untuk beristirahat diantaranya.Mereka berdua banyak menceritakan teman-temannya bisa masuk ke tempat ini. Nietz yang lebih banyak cerita karena ia yang lebih dahulu datang daripada Hitler. 

"Kau datang cuma sendirian?" Tanya Nietz.

"Tidak. Aku masih punya tiga orang teman lagi di meja tempatnya bekerja. Nanti kau akan kenal dengan mereka"





Thursday, March 29, 2018

Doaku Mengantar dari Luar, Om


"Aku bisa mengerti, tidak mudah baginya untuk mengingat. 
Tidak mudah baginya untuk memanggil masa lalu.
Mengingat adalah kerja masa kini yang mungkin melelahkannya.
Sedangkan masa lalu adalah belukar lampau yang terus hidup,
tumbuh dengan cara rumit dan sedih, di sebuah tempat yang sulit dijangkau
Mengingat dan masa lalu, adalah dua hal yang terpilin dan sama-sama debu." 

Retakan Kisah dalam Kumcer Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, hal 97.

Salah satu cerpen yang saya suka dari sekian banyak cerpen yang pernah ia tulis. Retakan kisah ini menceritakan seoran perempuan yang hidupnya dan keluarganya disandera oleh sebuah organisasi yang orang-orang bilang organisasi itu adalah organisasi yang jahat. Om memang pandai merangkai kata, sampai-sampai saya menjadikan dia panutan saya dalam menulis. Apa yang dilihat, asal dapat dirangkai dengan kata yang baik, pasti bisa menghasilkan sebuah cerita yang baik pula. Cerpen ini pula yang akhirnya yang buat saya keluar dari rasa malu saya (ketika saya harus tampil di sebuah acara komunitas saya di daerah Pamulang); mencoba menangis seakan-akan saya yang jadi perempuan yang mengalami kejadian itu. 

Pada akhirnya, berkah sisa usia, Om Puthut Ea. Sisa umur di dunia semakin berkurang, berbuat baiklah. Impian saya, semoga saya bisa bertemu Om Tuy melalui teman Om Tuy yang bekerja di daerah Jakarta Selatan. Teman om itu pernah bilang sama saya kalau dia sahabatnya om, dan dia pernah bilang kalau ia lagi mau bertemu om, dia mau kabari saya. semoga tercapai ya :)

ini sedikit hadiah dari saya, sebuah tulisan dari beberapa judul buku yang Om tulis dan yang saya punya, sekiranya om ingin menambahkan lagi koleksi saya, saya pasti berterimakasih. Kata-kata ini sebenarnya sudah pernah saya posting di IG waktu ikut lomba #ultahputhutea berhubung syarat lomba selfie dan saya kalah, jadi saya hapus dan saya ganti di sini.

Aku mengenalmu melalui cinta yang datang tak pernah tepat waktu.
Aku membacamu dan menyukai semua usahamu dala menulis sebuah surat cinta.
Aku mulai ingin menjadi sepertimu, dan menulis kata-kata yang kupunya dalam sebuah kitab yang tak suci dan dengan sarapan pagiku yang penuh dusta. 
AKu sedikit bahagia, karena biarpun sedikit aku bisamenulis dengan gaya sepertimu dan darimu aku tau bagaimana aku harus menulis.


Aku berjalan keluar rumah, dengan maksud mencari ide baru untuk tulisan-tulisanku, sebab sudah banyak waktu yang kubuang untuk mendiami kitabku itu. 
Aku mengikuti jejak-jejak air, 
sampai diujung jalan aku menemukan seekor bebek yang mati di pinggir kali.
Di waktu senja yang sudah menua, 
aku enggan beranjak dari tempatku,
aku tak ingin pulang, sebab Deleilah tak ingin pulang dari pestanya.