Sunday, November 22, 2015

Mengapa Kau Memulainya Jika Kau Tahu Kau Tak Bisa Bersamaku

"Bu, saya izin pulang duluan."
"Oh ya. Silahkan", perintahnya.
"Mari, bu. Assalammualaikum".
"Waalaikumsalam".

Ini Rabu malam. Tepat ditanggal 11 November 2015 pukul 20.00 waktu Jakarta yang masih ramai. Orang-orang masih lalu lalang. Memberhentikan bis, angkot, menyeberang jalan untuk sekedar pergi ke supermarket yang berdiri tepat di pertigaan jalan. Tenda-tenda warung makan yang beroperasi pada malam hari sudah mulai ramai dengan pembelinya. Berdiri dengan kokoh beberapa gerobak yang menghiasi trotoar jalan depan supermarket itu; gerobak gorengan, martabak bandung, nasi goreng, juga mie aceh.

Di setiap pertigaan wilayah ini masih dikomando mungkin-orang-yang-tinggal-di-sekitar-sini untuk mengatur lalu lintas. Aku memilih jalan kaki untuk sampai di tempat biasa aku menaiki bis jurusan ke rumah. Sebab jalan mobilpun harus dengan merayap dan berhenti untuk beberapa menit. Aku berlari kecil sebab gerimis telah turun.

Trotoar jalanan ini memiliki cahaya remang-remang. Sebab lampu yang berdiri di pinggir jalan tertutup pohon-pohon yang begitu rimbun. Adem dan menyenangkan memang jika digunakan untuk jalan di siang hari. Tapi tidak bagiku dimalam hari. Untuk ukuran mataku yang minus 3.75 harus bekerja keras untuk hati-hati menelusurinya. Tak jarang aku ditegur bapak-bapak atau mungkin mas-mas dan bisa jadi abang-abang yang duduk di halte. "Hati-hati mba" katanya. Sebab aku sering sekali tersandung karena ulah ketidakhati-hatian mataku.

Lima belas menit berlalu. Aku sampai di SPBU tempat biasa aku menanti bis. Aku terengah-engah. Kutengok tempat minum yang biasa kubawa. Sial. Aku lupa mengisi kembali sebelum aku pulang. Rasa haus memaksaku untuk pergi ke minimarket di SPBU ini. Aku langsung menuju lemari pendingin, membukannya lalu memilih Good Day Cappuccino. Aku membalik badanku, mengambil tiga bungkus Beng-Beng untu camilannya. Aku mengantri untuk sampai dikasir. Sembari mendapat giliran, aku melihat telepon genggamku. "Tak ada kabar" usikku dalam hati. Aku menghela. "Sudah berapa lama ia tak mengabari aku".

Aku duduk di pinggir tempat biasa kendaraan keluar dari SPBU ini. Membuka tutup botol kopi yang telah kubeli tadi lalu kuteguk ia sampai habis. Rupanya jalan kaki tadi telah menghabiskan tenagaku.

Bispun tiba. Dipukul 20.30 seperti ini masih ada beberapa orang yang menunggu bis. Kupikir sesampainya di dalam nanti aku bisa memilih tempat duduk dekat jendela dengan leluasa, nyatanya tidak. Bis ini masih penuh dengan orang-orang. Aku celingak-celinguk, mencari tempat duduk yang kosong. Aku tak berharap untuk dapat duduk di dekat jendela, untuk dapat bisa duduk pun rasanya "alhamdulillah". Tapi takdir berkata lain, tempat duduk di samping jendela masih tersisa satu.  Aku berjalan menujunya. Meminta izin agar bisa duduk di samping jendela. Dan ia mempersilakannya. "Terima kasih, Pak". Senyumku.

Dan bis pun melaju

Aku menyandarkan kepalaku ke jendela, melihat keluar. Titik-titik air sudah menghiasi jendela. "Kamu di mana Pilar? Tak rindukah kamu dengan aku?".

Deras hujan yang turun 
Mengingatkanku pada dirimu
Aku masih di sini untuk setia

Ah sial!. Lagu yang diputar bis terpaksa mengangkat kepalaku yang sedari tadi bersandar di jendela. Aku baru ingat. Sudah satu minggu sejak pertemuan terakhirnya denganku ia tak pernah mengabari aku mengenai keadaannya. Ia hilang. Tanpa pesan. Satupun.

"Kamu kemana, Pilar? Aku rindu" .

***

Ini tentang tiga atau bahkan empat minggu yang lalu. Satu pesan pribadi dari aplikasi whatsapp masuk. Aku membuka aplikasinya. Baru aku sadar, sudah berapa hari aku tak menengok delapan grup dan sembilan pesan pribadi yang masuk. Aku membukanya dari paling yang baru masuk. Pesan dari seorang teman yang sama hobinya denganku.

"Neng bikin cerpen, yuk". Ujarnya lewat pm.
"Cerpen apa, kak?".
"Nanti kamu bikin cerita ya dari gambar yang aku kirim. Ini gambarnya".


Aku mengunduh gambarnya. Saat terunduh, entah kenapa aku langsung berpikir "kalau gambar ini beneran terjadi gimana ya?".  Aku menggelengkan kepala. Melawannya. Ya melawan pikiran anehku sendiri.

"Oke, kak. Aku setuju. Kapan dikumpulin terakhir?"
"Akhir bulan ini ya. Ada beberapa juga kok yang ikut"
"Siap, kak. Sebisanya aku usahain akhir bulan ini yak kalau ndak sibuk, hahahahaha" balasku.

Aku menaruh telepon genggamku di atas bantal. Aku menuju dapur. Membuka pintu atas kulkas yang berwarna hijau yang mirip dengan warna tembok dapur. Aku menyeruput segelas besar teh dingin. Aku menghela. Segar sekali rasanya. Aku kembali ke depan, tetapi bukan kamar, aku menuju ruang tamu, kemudian duduk di depan pintu sembari memikirkan cerita apa yang akan aku buat untuk cerpen ini.

***

"Gak ada cara lain kah?" Kali ini aku beranikan diri untuk menatap matanya secara fokus. Meyakinkannya. Ya melihat keyakinan di matanya.
"Gak ada, Enigma. Aku minta maaf.
"Kamu bohong sayang sama aku".
"Kok bohong? Aku sayang sama kamu, tapi caraku menyayangimu yang salah".
"Bagian mana yang salah, Pil?"
"Menyentuhmu".

Aku diam. Aku menundukkan kepalaku. Pikiranku perihal cerpen yang ditantang waktu lalu benar-benar terjadi. Taman ini kemudian hening. Sehening-heningnya. Berisiknya orang-orang di sekitar bahkan samar-samar terdengar. Angin melambai pelan. Memberi kibar pada kerudungku ke kanan dan ke kiri.

"Aku minta maaf. Sungguh aku menginginkamu. Tapi aku gak mau buat kamu nunggu. Aku gak mau jadi penghalang buat kamu untuk ngelakuin pahala yang besar itu".
"Tapi aku siap nunggu kamu, Pilar. Aku pernah bilang kan?" Aku kembali untuk yang kesekian kali menghela. Mencoba untuk tak menangis di depannya.
"Tapi aku masih lama. Masih banyak yang harus aku lakuin. Aku minta maaf. Sungguh"

Aku kembali diam. Lagi. Aku menyeka air mata. Sial. Aku nangis.

"Jangan nangis. Aku minta maaf".
"Kamu tau kan soal aku yang paling males kalau udah deket sama orang terus begini jadinya? Kamu tau kalau aku paling males buat ngerasain yang kayak gini lagi. Kamu tau itu kan? Kamu datang disaat aku jaga dengan diam-diam perasaanku buat seseorang. Terus aku dengan begitu susahnya untuk kemudian melenyapkan rasa diam-diam itu dan memulainya untuk menyukaimu. Kamu tau itu kan?".
"Ya aku tau".
"Terus kenapa kamu harus memulai semuanya?".
"Aku cuma mau jaga perasaanmu."
"Tapi gak gitu caranya".

Aku pulang. Dia pulang. Kami pulang ke masing-masing diri kami. Aku kecewa. Aku hancur. Dia hancur. Tidak! Dia tidak hancur. Tapi aku saja. Ya aku saja.