Tuesday, November 20, 2018

Perihal Ikhlas


Aku tau memangisinya itu melelahkan
Aku ikhlas
Tapi tak dapat kupungkiri bahwa memiliki kehilangan adalah hal tak bisa kuhindari

Perihal sabar itu mudah
Namun menjalanina itu yang susah
Tapi aku tetap bersusah payah
Sebab ku tahu surga itu indah

Lelah rasanya ketika aku harus berpura-pura tegar
Menjadi batu di depan orang yang sangat aku tau kerapuhan jiwanya
Bukan karena aku ingin dikata jagoan
Sebab rasanya tak mungkin aku menimpuki lagi batu pada jiwa yang telah rapuh

Tuhan, kupinjam bahu-Mu untuk rebahku setiap saat
Melepas semua.kesedihanku
Membuang semua keterpura-puraanku
Sebab bukan pada jasad lagi aku telah jatuh
Ruhaniku jauh lebih rapuh
Dan kutahu penawarnya adalah berdua dengan-Mu


Serpong, 18 Oktober 2014



Kota Tua



Senja,
Boleh sedikit aku bercerita?
Dahulu di tempat yang kau bilang tua
Aku pernah mengisahkan tentang cerita yang tak pernah menua
Tentang cinta yang tak luput usia
Ditempat ini, kota yang kau bilang TUA

Kota Tua, 21 May 2014


Subuh Pukul Tujuh Pagi


Disepertiga malam di Jumat pagi itu
Kala keningku mencium pada tempat yang paking rendah
Doa-doa senantiasa keluar dengan seenaknya
Air mata dan permohonan ampunana menyanding si kening di tempatnya
Lalu, Tuhan datang dengan segala Maha-Nya
Ia bertanya perihal inginku
"Apa yang kamu inginkan disisa akhir hidupmu, hamba-Ku?"
Si bibir datang dan mengambil alih
"Aku ingin sederhana dalam hidupku, tapi aku ingin bermewahan dalan ibadahju"
Tuhan menanggapi
"Maka beribadalah sekuat tenagamu hingga Aku yang menggantikan posisimu."
Tuhan pergi meninggalkan aku yang rasa dengan penasaran
Aku sadar
Aku telah terbangun dari mimpi, dan aku tahu,
Aku belum subuh dipukul tujuh pagi


Serpong, 18 Oktober 2014

Neraca


Entah di suatu kota mana
Aku menemui si miskin yang tengah memegangi perutnya
Tulang tangan kanannya menjalar membentuk mangkuk yang siap ditumpahi sayur sop
Si miskin memelas
Berharap ia menerima.belas dari orang bekelas
Lalu terdengar lirih dari kedua bibirnya yang mengering kerontang
"Katanya rakyat miskin dipelihara negara
Tapi mengapa hingga detik kesekian aku masih merasakan lapar yang perih
Katanya petinggi kotaku adalah manusia yang adil
Adil layaknya aset yang diseimbangi penjumlahan hutang dan modal pada bagan neraca
Lalu, mengapa aku masih harus mencari selisih diantara keduanya? "
Perutnya kian meronta bak anak kecil yang menginginkan boneka
Bibirnya layaknya tanah kering yang rindu akan hujan turun
Si miskin semakin memegangi perutnya
Sedang rakyat yang lain tengah asyik memberi makan pada cacing yang hinggap di perutnya

Serpong, 16 Juni 2014

Wednesday, November 7, 2018

"Seperti Tidak Ada New York Hari Ini, Tidak Ada Istirahat Untuk Pekerjaan Ini"




Lima belas menit setelah waktu ini adalah waktu kepulangan bagi para penyembah kapitalis. Aku membuka ponsel pintarku, membuka kuncinya, lalu mencari aplikasi WhatsApp dan ku cari namamu.

"Pilar, kita jadi bareng?". Ku kirim pesan singkat itu untuk memastikan apakah kita jadi untuk pulang ke rumah bersama.

Pesanku tidak langsung sampai. Masih tercentang satu. Aku kesal. Aku mengeluh, sebab aku tidak lagi memiliki cukup pulsa untuk sekedar memberi pesan singkat. "Jika tidak ada kabar bagaimana dengan janji kita?" Gumamku.

Aku menaruh ponsel pintarku di atas meja sebelah kanan dekat dengan kotak tempat aku menaruh dokumen-dokumen kantor. Aku kembali fokus pada layar di hadapan mukaku, lalu mengecek e-mail, mencari email masuk untuk tanggungjawab ku besok.

"Hhhhh" aku mengembuskan napas. "Seperti tidak pernah ada berhentinya kesibukan menjadi penyembah kapitalis yang tidak beruntung" keluhku.

Ping.

Ponsel pintarku berbunyi, menandakan bahwa ada pesan singkat yang masuk ke chat WhatsAppku. Aku mengambilnya, membuka kunci layar dan membaca pesan singkat itu.

"Jadi, di kereta nomor lima ya, di jalur lima arah Serpong", Pilar membalas pesan singkatku delapan menit setelah aku mengirimanya pesan singkat.

"Oke. Nanti gue teng go ya."

"Hati-hati, Enigma." Balasnya.

Lima menit menuju jam lima. Aku dengan segera membereskan semua barang-barang yang sudah ku keluarkan dari dalam tas dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Membereskan berkas, mematikan sistem komputer, lalu menutupnya. Tepat pukul tujuh belas aku beranjak dari meja kerjaku.

***

Tidak akan ada habisnya keluh
Tanpa kau bereskan semua keluhmu.

"Nig, lo udah baca bukunya Aan Mansyur yang Tidak Ada New York Hari Ini?" , Tanyanya ketika aku dan Pilar sudah berdiri di kereta nomor lima, pintu kedua dari depan.

"Belum. Kenapa?" Jawabku.

"Bacalah, lo pasti suka". Ia memalingkan wajahnya dari mukaku ke jalan-jalan yang dibalik kaca kereta.

"Gak ada yang sebagus buku yang gue baca sekarang, Pilar."

"Oh ya?" Tanyanya dengan nada terkejut. "Buku apa?" Lanjutnya.

"Seperi Tidak Ada New York Hari Ini, Tidak Ada Istirahat Untuk Budak Kapitalis yang Tak Beruntung". Aku menjawabnya sembari menatap jalan dari balik kaca kereta.

Aku menghela napas, meliriknya dan kulihat ia tersenyum sambil menahan tawa.

"Seneng banget lo temen susah" ocehku.

"Oh. . .Jadi ini alasan ngajak gue balik bareng. Hahaha. Emang kenapa lagi sih?"

"Nambah." Jawabku dengan nada yang lemah. "Gue capek, Pi. Yang selama ini gue kerjain aja gue gak sanggup, gimana mau ditambahin lagi, coba."

"Ya lo terima lah. Resiko jadi budak kapitalis. Emang enak. Hahaha. Nig, gue kasih tau lo ya, selama lo masih hidup, dan selama lo nyembah kapitalis, kerjaan lo gak akan ada habisnya. Kalau lo gak mau nambah kerjaan, pilihannya ada dua. Usaha atau lo mati."

"Aku menundukkan kepalaku. Melihat lagi keluar jendela. Di luar, titik hujan mulai memenuhi kaca. Dingin, tapi tidak untuk kepalaku. Dia menatapku. Memberi senyum seperti biasanya. "Udahlah, nikmatin aja dulu. Nanti juga akan ada waktunya lo resign."

Dia mendekatkan tubuhnya ke sampingku, kemudian berbisik "Nig, kalau bagi lo seperti tidak ada habisnya kerjaan ini buat lo, kalau gue seperti tidak ada habisnya cinta ini buat lo".

Aku tersentak mendengar katanya. Aku diam, memandangnya dengan wajah biasa.

"Gitu kata rumput sore hari kepada angin. Hahahaha. Lo pasti udah seneng kan gue bilang gitu. Hahaha". Lanjutnya kali ini dengan tertawa yang lepas.

Aku memalingkan mukaku darinya. Sial, dia cuma meledek. Dia tidak pernah tau seberharap apa aku untuk kebenaran kalimatnya yang terakhir.

"Pilar, jangan meledek." Tukasku.

Berbeda dari buku "Tidak Ada New York Hari Ini, Tidak Akan Ada Cinta Untukku Sampai Kapanpun