Sunday, August 9, 2015

Cerita Tentang Separuh Bahu dan Kepala yang Penuh dengan Isi

Malamnya telah datang, namun tak nampak kulihat dari dua matanya tertarik untuk dipejamkan. Kedua matanya masih berkedip. Melihat ke atas, lalu menunduk lagi. Hidupnya kala itu sendiri, mungkin temannya yang lain sudah sampai pada singgasananya yang paling nyaman; memeluk guling dan tidur bersandarkan bantal yang empuk. Ku lirik lagi kedua matanya yang masih nakal, dan aku melihat dua buah aliran mengalir dipipinya. "Ya Tuhan, dia bersedih." Lirihku.

"Kau bersedih?" Tanyaku di keheningannya.
"Boleh kupinjami bahumu barang sebentar?"
"Silahkan, tapi untuk apa?"
"Aku ingin memiringkan sejenak kepalaku. Mungkin dengan begitu bisa tumpah sebagian isinya, setidaknya meringankanku malam ini." Ia menjawab dengan kedua matanya yang masih tak menoleh kepadaku.
"Silahkan, jika itu mampu mengurangi bebanmu"

Ia memiringkan kepalanya padaku perlahan, kemudian ia mengubah posisi duduknya, mungkin ia mencari posisi yang paling nyaman. Dan ia telah sampai pada pundakku dengan tenang.

Malam tak berkomentar. Angin berhembus sejenak, juga napasnya yang sesekali terdengar terhela. Hening. Segalanya menjadi hening. Tak ada bising dari sudut manapun. Aku meliriknya, ia memejamkan kedua matanya. Aku menoleh ke atas, tak ada bintang sama sekali. Aku meliriknya lagi. Dan ia masih memejamkan matanya. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. "Sebegitukah banyak isi kepalamu hingga kau terlihat sangat lelah?" Ucapku dalam hati.

Ada yang basah di pundakku tempatnya menaruh kepala. Aku meliriknya. Ia menangis lagi.
"Kau baik-baik saja?" Tanyaku.
"Boleh aku bercerita?"
"Ya tentu, aku ada untuk mendengar ceritamu".  "Rupanya dengan aku yang diam-diam, aku malah membebani diri menjadi semakin banyak. Ku pikir semua akan berlalu secara perlahan, nyatanya tidak. Mereka terus saja berdatangan kepadaku tanpa memikirkan isi kepalaku. Aku belum mampu menyelesaikannya, dan aku sedang ada pada saat-saat yang futur. Aku lelah." Ia masih memejamkan matanya, masih mengalir pula air matanya.
"Semoga Tuhanmu menyegerakan penyelesaian untukmu. Tetaplah tersenyum layaknya tak apa. Aku tak bisa membantu, maaf. Tapi jika lain kali kau butuh bahuku, aku bersedia kapanpun. Aku berdoa untukmu".
"Terima kasih untuk bahumu juga doamu. Aku harap begitu."
"Bangunlah, beristirahatlah, masih ada esok yang harus kau selesaikan."

Malamnya semakin dingin. Jarum jam terus berjalan. Ia mengangkat kepalanya, beranjak untuk beristirahat. "Semoga Dia yang Maha Baik segera menyelesaikannya." Ucapku.