Sunday, July 26, 2015

Senja yang Hujan

"Barangkali senja datang dengan begitu kecewanya. Lagi. Kuperbuat dia lagi kecewa dengan segala kesibukanku. Dan lagi. Bertemu dengan katanya yang menjadi rekan bisnis lagi yang menjadi alasannya. Kota ini. Jakarta yang dengan segala keonarannya kembali menduakanku pada senja". 

Jalan kota besar ini sudah dipenuhi mobil juga bis-bis dan motor-motor. Orang-orang yang kebanyakan sepertiku sudah berdiri di halte bis atau bahkan diujung jalan tempat biasa bis-bis itu berhenti. Entah mereka jua hendak kemana. Mungkin sebagian besar pulang, mungkin sebagian besar yang lain menyelesaikan urusannya yang belum diselesaikan. Pun denganku. Aku berada di tengah keramaian mereka, namun bukan ke rumah hendakku. Aku kembali lagi menuju ruang yang menjadi sangat kapitalis. 

Sopir tempatku mengais rezeki mengarahkan setir mobilnya ke arah kiri. Sudah dari beberapa meter sebelumnya ia menyalakan lampu sen kirinya, memberi tanda bahwa mobil yang kutumpangi akan segera berbelok arah. Aku melirik jam di mobil ini, 16.45. "Mendung" ucapku. "Kau sembunyi dimana senja? Jinggaku kau kemanakan?" Aku mengoceh dalam hati sembari membenarkan jilbabku yang tak karuan. 
"Takkah kau memberiku sedikit senyuman untuk memberiku semangat di sore ini? Aku tahu, kau pasti kecewa lagi padaku, bukan? Sebab sudah beberapa hari ini aku tak memuji Tuhanku karena eloknya dirimu". Ocehanku terus mengalir tanpa bisa keluar dari mulut. Menggerutu pada senja sebab ia menyembunyikan jingganya buatku.

Aku mengenakan sepatu andalanku. Ya heels dengan tinggi lima sentimeter berwarna hitam itu menjadi andalanku setiap keperluan kerja. Mobilku telah sampai di lobby.  Aku membuka pintu mobil, menuruni badanku yang sebenarnya sudah rindu dengan nasi, lauk yang dimasak ibu, teh hangat, juga tempat tidur. Aku melangkahkan kakiku. Kembali lagi mengukir senyum yang, ah sebenarnya pak satpam pun tau senyum yang kusungging adalah senyum kelelahan. 

***

"Hahahahaha. . Maaf sayang, bukannya aku menyembunyikan jinggaku untuk kamu nikmati keindahannya, sungguh bukan. Aku hanya memberi sedikit waktu agar air-air yang telah tertampung padaku untuk turun. Bukankah sudah beberapa puluh hari ini tidak turun hujan? Memangnya kamu tidak kepanasan?" Hari itu senja kelabu. Jakarta hari ini sejuk. Perlahan, ratusan titik air turun membasahi kota ini. Orang-orang yang hendak pergi itu mulai mencari sesuatu untuk menutupi kepalanya yang mulai basah. Beruntunglah bagi yang sudah di dalam mobil dan bis. Mereka tak perlu pusing mencari penutup kepala untuk melindunginya dari gerimis rintik, kecuali kalau atap-atap mobil dan bis itu bocor. 

*** 

Aku memijit lift. Menunggu pintunya terbuka. Aku melihat keluar. "Alhamdulillah, Allahumma shayiban naafian". Aku tersenyum. Sepertinya rinduku pada bau tanah akan segera terlunasi. 

***

"Aku tahu. Aku akan belajar untuk mengerti dengan segala tugasmu sebagai pegawai. Takkan lagi aku menunggumu untuk pulang di waktuku. Aku akan belajar ikhlas, meski ku tahu nantinya akan ada sedikit keluhan dariku, sebab aku merinduimu. Tapi itu tak apa. Aku pun akan belajar bersabar. Menunggumu memiliki seseorang yang mungkin bisa membuatmu menikmati elokku kembali dengan lama-lama. Lagi pula bukankah kamu menyukai bau tanah? Ini sedikit kuberikan pada jinggamu kali ini. Maaf untuk semangatmu kali ini, ku alihkan pada si bau tanah biar jingga beristirahat sejenak." Hujan lalu turun dengan derasnya. Kota ini sudah mencium kembali bau tanah. Merasakan kembali udara sejuk. 

Aku pun telah sampai di tempat seperti biasanya. Meja panjang berwarna cokelat, beberapa kursi, dan papan tulis yang berdiri tegak di hadapanku. Sepertinya mereka lebih siap untuk mendengarkan rapat daripada aku yang memiliki kuping yang nyata. Aku memilih tempat paling ujung dekat jendela, kemudian mengalihkan pandanganku keluar. Dan aku tersenyum. 

"Pada seperti biasanya, tetaplah engkau seperti tersenyum, hai perempuan yang selalu kusebut "kesayangan yang memujiku". Tetaplah pada semangatmu. Aku tetap akan memberimu semangat dengan berbagai caraku. Tapi,apapaun itu, nikmatilah, sebab itu kuberikan secara ikhlas. Kamu mungkin tak bisa menemuiku seseringmu menemui kekasih tak sampainya aku, si fajar. Padahah seharusnya kamu tahu, dia tak kalah indahnya sepertiku. Maka berilah dia pula pujian-pujian pada Tuhanmu. Sebab kekasih tak sampaikulah yang menjadi awal penyemangat hari-harimu". 

***

Hujan masih mengguyur deras kota sibuk ini, dan aku masih menunggu orang-orang yang akan memenuhi kursi di ruangan ini. 

Wednesday, July 22, 2015

Sekiranya

Sekiranya, semoga Allah yang dengan Maha Penyayang-Nya senantiasa menunjukiku jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat pada mereka, bukan jalan yang dimurkai dan bukan pula jalan yang sesat.

Sekiranya, dengan segala kasih sayangnya, Allah senantiasa memelukku dalan keistiqomahan, dibangkitkan ketika futur dan tidak berlarut-larut untuk waktu yang terlalu jauh.

Dan sekiranya, aku bisa menjadikan diri sebagai generasi menunduk yang lebih berguna dan lebih bermanfaat. Menjadikan kitab itu sebagai yang wajib dibawa kemana-mana kemudian menjadikannya sebagai pengisi di waktu luang.

Sekiranya, aku bisa berlama-lama dengannya dengan bacaan yang tartil. Dengan tajwid yang dipelajari sedari dulu. Mengulang kembali ilmu yang dulu pernah kutelan tiap sore hingga malam.
Sekiranya, semoga tiap huruf-huruf hijaiyah tersebut menjadi penolongku yang tak hanya di dunia. Yang menjadikannya tenang saat jiwa tak lagi pada warasnya, saat yang dirasa hidup tak lagi didekati Tuhannya. Tapi bisa menjadi penolongku lebih jauh, di saat menjadi penerang dan menjadi penolong pada saat kubur menjadi tempat terakhirku.

Monday, July 20, 2015

Doa di Hari yang Fitri


Shalat Idul Fitri telah usai. Berdua pulang dari masjid. Kini tak lagi bertiga. Hilang satu.
Kami sampai di rumah. Aku memeluknya saat perempuan itu memotong ketupat untuk aku dan anaknya yang lain juga menantunya makan. Aku membalikkan tangannya, kemudian menyaliminya. Meminta maaf. Sebab katanya aku adalah anak yang paling sering bikin dia bawel. Dia memelukku. Air matanya mengalir. Pun denganku.

"Ayah gak ada". Ia mengusap pundakku.
"Semoga Allah memberimu dengan cepat jodoh yang baik buatmu juga buat ibu, supaya ibu tenang kalau ibu harus ninggalin anak perempuan ibu." Ia mengusap pundakku lagi. Air mata semakin dengan asyiknya berebut keluar. Ia semakin mengerti dengan suasananya.
"Makan yang banyak, sayang. Kamu makin kurus, pipimu hilang. Kerjamu capek." Ia mengusap lagi. Ya Allah ndak ada lagi saat itu hari yang paling bahagia.
"Maaf ya ibu sering ngomel, sering bawel. Ibu lakuin karena ibu sayang. Ibu gak mau kamu kenapa-kenapa. Kamu cuma ada satu".

Lalu kami saling mengusap pipi kami masing-masing. Berdua jalan ke kamar ibu dari dapur. Lalu memandang lukisan yang menggambarkan ayah. Memeluk lagi. "Ayah udah gak ada, bu".
***
Doamu, ibu. Doamu yang menguatkanku sampai detik ini. Doamu. Doamu yang membuatku sehat sampai saat ini. Aku mungkin semakin kurus. Namun setiap sesendok nasi yang engkau suapkan kepadaku itulah yang menjadi tenagaku, yang mampu membuatku berjalan, mengejar bis, berdiri, membawa barang, lalu menunggu bis lagi, berdiri lagi bahkan aku bisa kuat pulang dengan rute yang lebih jauh karena selalu tertinggal bis, angin malam, hingga akhirnya aku membuka pagar, lalu menyalimi tanganmu dan meminum lagi teh hangat atau susu yang kau sediakan buatku. Doamu. Doamu yang membuat rezekiku darimanapun akan datang. Doamu. Doamu yang akan mendatangkan lelaki yang baik, yang mampu menjadi imam bagi keluargaku seperti permintaanmu juga ayah. Doamu, ibu. Doamu yang membawa hidupku jadi berkah. Doa yang selalu engkau lantunkan pada Allah dengan menengadahkan kedua tanganmu, menunduk, memohon yang terbaik untukku, salah satunya juga untuk anak-anakmu yang lain. Doamu, ibu. Doamu yang selalu membuatku tersenyum.