Sunday, March 13, 2016

Ketika Kamu Menjadi Alasan Mengapa Aku Ada di Dunia Ini

Setu Babakan, Jagakarsa, 26 Februari 2016

Langit yang cerah kembali lagi hadir mewarnai Jakarta yang sedang pada hiruk pikuknya. Pukul empat sore telah tiba, aku bergegas untuk kembali pulang ke rumah; membenahi tas, dan mengecek isinya, memastikan tidak ada yang tertinggal. Aku menggedong tas punggungku, berjalan cepat menuju tempatnya yang telah menungguku sedari tadi.

"Hayo pulang, Mas". Ucapku sembari sedikit terengah-engah karena berlari. 
"Udah selesai, kita mau kemana?" Tanyanya.

Aku menatap matanya sembari mengatur ulang napasku, aku menatap matanya, tampaklah kelelahan di kedua matanya. Ingin sekali aku mengajaknya sekedar menikmati senja, sekarang masih pukul empat, dan cuaca sedang berpihak baik, namun rasanya aku tak tega mengajaknya untuk sekedar menikmati senja hari ini. 

"Hey, mau kemana?"  Tanyanya lagi sembari memakaikan helm ke kepalaku.
"Capek gak? Babakan yuk". Ajakku
"Babakan lagi? Iya boleh". Ujarnya.

Motornya melaju pelan ditengah Jakarta yang cerah. Jalan sudah ramai atau mungkin sudah memasuki wakt macet. Warung-warung tenda mulai berdiri, dan terlihat dengan sibuk orang-orang yang mempersiapkan jajanannya. Kami melewati jalan yang beda dari biasanya, "pemandangan baru" katanya.

***

Kami telah sampai. Kami memasuki Gapura Setu Babakan. Warung-warung yang menjual apapun khas betawi bersejajar rapi beberapa meter dari gapura. Angin melambai-lambai menyentuh jilbabku. Tidak seperti pada sebelum-sebelum kami mengunjungi Babakan, kali ini senja begitu manja terhadap kami. Kami beruntung, sebab telah dua kali kami ke sini dan senja selalu pada kemurungannya.

Kami melirik ke kanan dan ke kiri, mencari tempat yang cukup pas atau bahkan berhadapan langsung dengan matahari terbenam. "Mau di mana?" Tanyanya. Ia tetap mengendarai motornya lurus. Lalu, kita terhenti pada sebuah tempat yang jika kita lihat mataharinya, tepat sekali berhadapan dengannya.

Aku turun dari motor, melepas helm dan lalu duduk di pinggiran setu ini. Aku tersenyum. Sungguh. Bukan senang lagi rasanya melihat potongan senja yang cantik ini. Ia pun duduk beberapa jarak di sebelahku.

"Menurutmu, mengapa kamu dilahirkan di dunia ini?" Tanyanya yang mengejutkanku yang sedang asyik-asyiknya termenung.  Aku diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Entah apa yang ada dalam pikirku. Aku bingung, kenapa diantara jutaan sel sperma ayah, akulah yang juara, akulah yang menjadi benih di rahim ibu. Kemudian aku lahir, mencoba mengadu nasib di dunia. Menangis, tersenyum, merasa sedih, merasa bahagia, menyesal, bekerja keras, merasa kesal, membenci, memaafkan dan merasakan apapun yang aku alami hingga sejauh ini. 

Aku diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Dalam pikirku, aku telah berbuat baik apa di dunia ini. Setidaknya, tidak untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri, lebih banyak menyakiti atau membahagiakan diri.

Aku diam. Aku menundukkan kepalaku.

"Heh, kok bengong sih, ayo jawab" tanyanya sembari melemparkan bangkai kelomang kecil kemukaku. Aku menggelengkan kepala sambil sedikit tersenyum kepadanya.

"Kamu ada di dunia ini, karena kamu diciptakan untuk ketemu aku, untuk bikin aku jadi orang yang lebih baik. Untuk aku tahu apa artinya cinta yang sebenarnya. Kamu ada karena kamu emang diciptain buat bareng sama aku". Ujarnya sembari tertawa terkekeh melirikku.

Aku tersenyum ke arahnya. "Sial" pikirku, aku sudah terlalu serius menganggap pertanyaan bodohnya. Memutar-mutar otak untuk mencari jawabannya.

"Sungguh, untuk jawaban alasan yang paling akhir adalah alasan yang paling ingin kuciptakan dalam hidupku. Aku sungguh benar-benar berharap, berdoa, bahkan mungkin aku mengemis agar kamu benar-benar bisa hidup denganku."

Aku tersenyum sembari menoleh ke arahnya, mengambil batu kecil di sekitar lalu melemparnya ke arah lengan kirinya, "rese kamu" ujarku. Dia tersenyum lalu disusul dengan lidahnya yang dikeluarkan.

Angin tidak ada disenja kali ini. Tapi aku bersyukur betapa nikmatnya aku duduk berhadapan dengan senja kali ini. Dan kami, kami masih duduk beberapa jarak hingga salah satu diantara kami berdiri, menyadari bahwa malam sudah harus berganti.