Thursday, October 25, 2018

Nulis Kamisan S04E03 - Rawon




Ada begitu banyak cara bagaimana aku bisa mengenang seseorang dengan cara yang baik.
Sebuah cara yang dengannya, kenangan itu akan aku ceritakan dengan begitu manis.

Adalah seorang perempuan paruh baya dengan rambut gimbal dan bertubuh gempal.
Yang dengan tangan gemuk nan menggemaskan itu mampu membuat semangkuk sup berkuah hitam yang kata kebanyakan orang, sup ini adalah sup khas Jawa Timur menjadi sangat nikmat ketika berselancar di kerongkonganmu.

Beberapa potong daging, tauge, daun bawang, kerupuk juga sambal merahnya yang khas akan membawa kembali siapa saja yang pernah mencicipi Rawon Mbok Gempal. Pun begitu denganku, aku tidak pernah menghitung seberapa banyak aku kembali lagi hanya untuk semangkuk sup tanpa nasi dengan daging yang minta dilebihkan dari porsinya juga lima sendok makan sambal merah khas Mbok Gempal.

***
Tidak semua hal yang pada awalnya kau kemas dengan begitu manis akan berakhir menjadi cerita manis untuk dikenang dan dibagikan ceritanya.

Seminggu dari terakhir aku mengunjungi Mbok Gempal, aku melihat tenda itu porak poranda, hancur dan dinding tempat pengunjung makan berwarna hitam. Aku bingung dan kaget, kenapa tempat makan yang dulu favorit ini menjadi hancur berantakan dan bahkan ada garis polisi.

Aku membelokkan arahku ke warung kopi di seberang warung Mbok Gempal, memesan segelas kopi hitam, dan bertanya apa yang telah terjadi dengan Simbok. Sembari memberikan segelas kopi, penjual kopipun berkata “daging yang digunakan, daging manusia yang dijadikannya sebagai tumbal, mbak”.

Saturday, October 6, 2018

Sepeda - Kamisan S04E01




“Saya tidak pernah tahu sejarah mana yang benar dan yang bukan. Yang saya tahu sejarah ditulis para pemenang. Berdebat bukanlah sikap yang tepat. Sebab setiap bagian akan membenarkan diri dan akan menyalahkan yang lain. Yang saya tahu, sesiapa yang berhasil mengarang cerita, ia bukan hanya membohongi diri sendiri tetapi jutaan orang, juga anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Semua berhak memutarbalikkan fakta, semua berhak mendapat pengakuan, semua berhak mendapat bela.

Sesiapapun yang membuat sejarah, seharusnya dia tahu, bahwa Tuhannya tidak pernah tidur.”

Dua tahun setelah peristiwa. . .

Entah bagaimana nasibku juga ikut bersama mereka di bui ini. Bui yang setiap orang tidak ingin memasukinya, apalagi sampai mendekam di dalam dan begitu lamanya. Tapi, kini aku ada. Aku ada di bui ini, bersama mereka, menikmati sakit.

Aku ditempatkan di ujung blok. Aku sudah tua, dan mereka tau itu. Tubuhku bukan hanya rapuh, tapi komposisinya sudah tidak sanggup menyangga badanku sendiri. Aku di sandarkan di dinding berwarna putih, yang bahkan beberapa lepasan catnya menempel di tubuh. Mereka tidak peduli bagaimana aku menikmati hari-hari dengan sengatan matahari, dinginnya malam, suara-suara penyiksaan, suara-suara tangisan, suara-suara umpatan.

Aku tidak pernah memilih untuk menjadi seperti ini, atau bahkan paling tidak jangan aku yang harus di sini. Aku tidak suka tempat ini. Aku tidak tahu apa-apa, mengapa mereka memilih aku untuk di sini?

Lalu, lambat laun aku mulai menikmati. . .

Tapi, semua suara dan semua rasa yang awal aku rasakan seperti aku tidak ingin mendapatkannya, kini aku menerimanya. Sebab bagaimanapun, aku tidak bisa pergi begitu saja, di sini ketat penjagaanya, sipir-sipirpun kejam. Aku hanya berharap ada yang membawaku keluar dari bui ini.

Aku mulai terbiasa dengan suara tendangan sepatu boot yang menendang dengan empuk ke bagian tubuh penghuni. Suara lemparan piring, suara hujatan “pengkhianat pancasila”, suara hujatan “pengkhianat golongan”, suara orang-orang yang meringis kesakitan ketika tubuhnya di lempar, ketika bagian tubuhnya sengaja diinjak oleh meja.

Pada suatu hari di sebuah malam. . .

Aku tidak tahu mengapa hari ini begitu menjadi sangat damai. Sedari pagi, udara terasa sangat lembut menyentuh tubuh, siang hari tidak begitu menyengat seperti biasanya. Aku menikmati hari ini, bersyukur, karena di tengah tempat penyiksaan seperti ini jarang sekali aku merasakan senyaman ini.

Hingga suatu ketika, ada seseorang yang berani mengayuh pedalku. Seseorang itu kurus, aku tau karena aku tidak begitu merasakan beratnya di atas dudukku. Ia mengayuh dengan sangat cepat sembari membawa kepanikan yang luar biasa. Ya aku merasakan itu, merasakan degup jantungnya, merasakan peluhnya. Ia mengayuh dan terus mengayuh. Aku senang, aku pikir aku akan bebas dari tempat ini. Dan aku berteriak.

Tidak akan ada sejarah yang mencatatku sebagai sepeda tua yang tidak tahu apa-apa tapi ikut dipenjara dalam bui, dijemur di siang hari, dan akan merasakan dingin di malam hari. Pada malam aku di bawa kabur seorang tahanan, aku pikir aku akan dibawanya, merasakan bebasnya, dan menjadi normal seutuhnya. Tapi kenyataan berkata lain. Jejak tahanan ini diketahui oleh sipir yang-menurutku-sama-tidak-manusiawinya. Berawal sebuah tembakan mengenai rodaku, aku terjatuh, aku tak mampu menopangnya. Tahanan itu jatuh, ia kemudian lari masuk ke hutan. Nasibku sangat tidak bagus, aku kemudian dilindas oleh kendaraan yang jauh lebih kuat, dan juga beberapa. Aku kemudian terbagi menjadi beberapa bagian, tubuhku hancur. Aku dibiarkan.

Dan sekali lagi, sesiapapun mereka yang membuat sejarah, seharusnya mereka tahu, bahwa Tuhan tidak pernah tidur.

Galau - Kamisan S04E02




Andai aku tau sesakit ini rasanya menyakitimu,
akan aku putar waktu untuk tidak memulai semua pertengkaran ini.
Andai aku tau jika menduakanmu akan sebesar ini rasa bersalahku,
akan aku putar waktu untuk tidak mengenali lelaki yang bahkan ia memperlakukan sikap yang sama pada setiap perempuan.
Andai aku tau, sejatuh ini aku menyesal atas semua lakuku,     
Aku ingin tak menyakitimu lebih lama lagi.

Pilar, seandainya kamu tau apa yang sedang aku lakukan pada malam ini, apa kamu masih mau merasa iba untuk kesalahanku yang telah berulang-ulang?

-Enigma-

Pada malam itu, suasana di lapangan yang sangat luas angin mengembuskan napasnya. Sangat sejuk, tapi tidak untuk mewakili hati seorang perempuan yang patah hati atas kesalahan-kesalahannya sendiri. Perlahan hujan turun, gerimis, gerimis, kemudian hujan lebat.

ah, hujan mengapa kau selalu menjadi alasan-alasan yang tepat untuk menjadi galau?’’


Monday, October 1, 2018

Merajut Harkat by Putu Oka Sukanta



Judul             : Merajut Harkat
Penulis           : Putu Oka Sukanta
Penerbit        : PT. Elex Media Komputindo
5 bintang dari 5

“Ia memancing anak tikus dengan ikan asin. Benar-benar gila. Ia telentang di lantai kakus, telapak tangannya diisi ikan asin. Nah begitu anak tikus itu menggigit ikan asin, ia menggemgam tangannya, bayi tikus itu dimasukkan ke mulut lalu dimakannya.”

“Si Markus makan kulit pisang yang sudah terendam air kencing semalaman, dan dua hari kemudian, ia mati.”

-Sebuah Pengantar-

Buku ini menceritakan Mawa, seorang tahanan politik tahun ’65 yang ditangkap setahun setelah peristiwa itu terjadi. Buku ini diterbitkan tahun 2010. Saya beli dengan harga 30 (percayalah, bahagia itu sesedarhana ini, wkwkwkw) dan saya beli di April 2014, tapi baru saya baca sekarang dengan cara yang baik ehehehe .

Buku ini terdiri dari lima bagian dan di tiap bagiannya itu terdiri dari beberapa bagian cerita lagi. Buku ini saya kasih lima bintang dari lima bintang, kenapa? Mari saya ceritakan.

Buku ini diawali dengan pembukaan-pembukaan dari beberapa pembaca. Dari awal pembukaannya saja sudah menarik. Yang terpikirkan waktu baca buku ini adalah “baik-baik, nanti diciduk’ wkwkwkw. Dari tag line di cover bukunya saja kita sudah pasti tahu bahwa buku ini menceritakan tentang betapa tersiksanya menjadi seorang tahanan “disiksa, dibunuh, dibiarkan kelaparan, tanpa obat, tanpa perhatian, tanpa harga diri. . . “

Dan benar saja, Om Putu ini, menurut saya benar-benar pandai mendeskripsikan cerita dari awal sampai akhir. Benar-benar detail. Ketika kalian membacanya, kalian juga akan merasakan apa yang tahanan itu rasakan; gimana ia dibiarkan makan sehari sekali, minum sekali, dipukul, dipaksa mengaku, difitnah, dan segala apapun “penguasa” lakukan, bisa jadi kalian ikut menangis.

Di tiap bagiannya menceritakan gimana awal mula si Mawa ini ditangkap, kemudian dipenjara sampai ia bebas. Dimulai dari diintai, dicurigai, ditangkap lalu kemudian dipaksa mengaku dengan ibu jari diinjak dengan kaki meja (saya yang keinjek keponakan aja nyerinya setengah mati TT gimana kaki meja, duh Gusti), dan kisah Mawa yang dipindahkan dari satu penjara ke penjara yang lain, dari blok satu ke blok lain serta cerita di dalamnya. Dan Om Putu ini benar-benar membawa saya menjadi ikut nyeri (Saya gak tau waktu itu orang-orang di kereta atau di stasiun itu melihat saya gimana, karena pas baca penyiksaannya saya ikut bongkok-bongkok wkwkw). Selain kalian yang baca disguhkan rasa nyeri, kalian juga akan disuguhkan oleh “kisah cinta” Nio terhadap Mawa yang sangat setia, yang tidak pernah pergi apapun kondisi Mawa, yang justru membangkitkan semnagat Mawa untuk tetap hidup walau dalam tekanan. Kalian juga akan merasakan gimana rasanya dikhianati (tapi ini rasanya beda ya dikhianati sama anuan, ehehehe). Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari kisah Mawa ini. Kita harus bisa bangkit saat terjatuh, jangan ngikutin arus seakan-akan kita mati begini. Mawa idtengah siksaannya ia masih mau banyak belajar (bahasa, kerajinan dan lainnya), tidak memikirkan diri sendiri walau kekurangan (ini digambarkan ketika Mawa mendaptkan kiriman dari Nio, Mawa selalu membagikan ke teman yang lain disaat yang lain menjaga makanannya karena takut kelaparan), dan tetap berbuat baik terhadap orang yang sudah mengkhianati (Mawa tetap baik ketika Handi mecoba memfitnah dia da kawan-kawannya akan mengadakan sebuah organisasi dan pesta).

Ceritanya maju, jadi gak bikin pembaca bingung, gak bolak balik halaman untuk menyambungkan cerita (ini menyebalkan sih, masa disuruh mengingat masa lalu lagi). Kalaupun ada cerita tentang masa lalu, itu diceritakan di awal bagian dan dijelaskan pemisahnya. Jadi kita, tahu oh ini ceritanya si ini, penggalannya sampai sini, oh ini bagiannya ini, oh jadi si ini dulunya begitu. Ya pokoknya gak bikin pembaca pusing. Oh iya, tapi ada sebagian cerita dari kisah penjara yang membuat kita tertawa. Jadi gak sepenuhnya cerita ini tentang penyiksaan, ya walaupun 80%nya iya ehehe.

BUT, ENDINGNYA NGESELIN ALLAHU RABBI. Pas sudah sampai akhir, kalian akan cuma berkata “udah? Gini doang? Akhirnya begini”. Gak nyangka bukunya sudah sampai halaman akhir sedih akutuh

Buku ini membuka isi mata sejarah saya dari sisi yang beda. Sebuah sisi yang tak pernah diungkapkan juga dalam buku sejarah sekolah. Buku ini membuat saya sempat berpikir “kenapa yang ditanamkan kebencian kepada saya selama puluhan tahun adalah “mereka”, kenapa tak sama-sama. Saya tidak mendukung, tidak juga membenarkan, dan juga membenci “mereka” atas apa yang “mereka “lakukan waktu itu. Mereka yang menyiska para tahanan juga jahat, sama-sama gak punya hati, karena yang mereka tangkap tidak semua terlibat, tidak semua tahu, dan yang hanya ikut-ikutan, tapi ikut merasakan siksa, makanan tahanan diambil duluan, istri-istri diperkosa. Apa tidak berarti sama juga? Dan yang menjadi saya berpikir saat ini, kenapa saya harus ditanamkan kebencian hanya dengan satu sisi saja?. Kenapa sejarah itu hanya untuk pemenang (yak arena ditulis oleh pemenang wkwkw. WOY NUR AINI, INI FIKTIF, JANGAN MIKIR MACAM-MACAM, BAPER AMAT AMA CERITA DOANG, :(. )

----------------------

“Nio, banyak hal yang bisa mempertautkan dua hati. Tidak hanya kecantikan atau kekayaan. Ada yang lebih dari itu”. “Apa  itu, mas?”. “Engkau semakin dekat padaku, justru saat aku sudah mulai kehilangan sebagian besar dari apa yang pernah kumilik. . . aku merasa aman bersamamu (Ecieeeee, kalian juga kepengen kan diginiin,wkwkwk).” – Hal 58-59.

“Jadi, bukan hanya ideologi yang membuat orang-orang berkelahi, kopi dan rokokpun di kalangan seideologi sering menyudutkan percekcokkan.” – Hal 93.

“Para tahanan saling berpandangan. Mawa merasa ngeri, walaupunotaknya berusaha menangkan perasaan. Kriminal itukan manusia, pikirnya. Mereka menjadi criminal bukan karena kemauannya. Mereka kelaparan, kecewa, dendam, kemiskinan atau salah tangkap.” –Hal 149.