Sepeda - Kamisan S04E01
“Saya tidak pernah tahu sejarah mana yang benar dan yang bukan. Yang saya
tahu sejarah ditulis para pemenang. Berdebat bukanlah sikap yang tepat. Sebab setiap
bagian akan membenarkan diri dan akan menyalahkan yang lain. Yang saya tahu, sesiapa
yang berhasil mengarang cerita, ia bukan hanya membohongi diri sendiri tetapi
jutaan orang, juga anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Semua berhak
memutarbalikkan fakta, semua berhak mendapat pengakuan, semua berhak mendapat
bela.
Sesiapapun yang membuat sejarah, seharusnya dia tahu, bahwa Tuhannya
tidak pernah tidur.”
Dua tahun
setelah peristiwa. . .
Entah bagaimana nasibku juga ikut bersama mereka di bui ini. Bui yang
setiap orang tidak ingin memasukinya, apalagi sampai mendekam di dalam dan
begitu lamanya. Tapi, kini aku ada. Aku ada di bui ini, bersama mereka,
menikmati sakit.
Aku ditempatkan di ujung blok. Aku sudah tua, dan mereka tau itu.
Tubuhku bukan hanya rapuh, tapi komposisinya sudah tidak sanggup menyangga
badanku sendiri. Aku di sandarkan di dinding berwarna putih, yang bahkan
beberapa lepasan catnya menempel di
tubuh. Mereka tidak peduli bagaimana aku menikmati hari-hari dengan sengatan
matahari, dinginnya malam, suara-suara penyiksaan, suara-suara tangisan,
suara-suara umpatan.
Aku tidak pernah memilih untuk menjadi seperti ini, atau bahkan paling
tidak jangan aku yang harus di sini. Aku tidak suka tempat ini. Aku tidak tahu
apa-apa, mengapa mereka memilih aku untuk di sini?
Lalu, lambat
laun aku mulai menikmati. . .
Tapi, semua suara dan semua rasa yang awal aku rasakan seperti aku tidak
ingin mendapatkannya, kini aku menerimanya. Sebab bagaimanapun, aku tidak bisa
pergi begitu saja, di sini ketat penjagaanya, sipir-sipirpun kejam. Aku hanya
berharap ada yang membawaku keluar dari bui ini.
Aku mulai terbiasa dengan suara tendangan sepatu boot yang menendang dengan empuk ke bagian tubuh penghuni. Suara
lemparan piring, suara hujatan “pengkhianat pancasila”, suara hujatan “pengkhianat
golongan”, suara orang-orang yang meringis kesakitan ketika tubuhnya di lempar,
ketika bagian tubuhnya sengaja diinjak oleh meja.
Pada suatu
hari di sebuah malam. . .
Aku tidak tahu mengapa hari ini begitu menjadi sangat damai. Sedari
pagi, udara terasa sangat lembut menyentuh tubuh, siang hari tidak begitu
menyengat seperti biasanya. Aku menikmati hari ini, bersyukur, karena di tengah
tempat penyiksaan seperti ini jarang sekali aku merasakan senyaman ini.
Hingga suatu ketika, ada seseorang yang berani mengayuh pedalku.
Seseorang itu kurus, aku tau karena aku tidak begitu merasakan beratnya di atas
dudukku. Ia mengayuh dengan sangat cepat sembari membawa kepanikan yang luar
biasa. Ya aku merasakan itu, merasakan degup jantungnya, merasakan peluhnya. Ia
mengayuh dan terus mengayuh. Aku senang, aku pikir aku akan bebas dari tempat
ini. Dan aku berteriak.
Tidak akan
ada sejarah yang mencatatku sebagai sepeda tua yang tidak tahu apa-apa tapi
ikut dipenjara dalam bui, dijemur di siang hari, dan akan merasakan dingin di
malam hari. Pada malam aku di bawa kabur seorang tahanan, aku pikir aku akan
dibawanya, merasakan bebasnya, dan menjadi normal seutuhnya. Tapi kenyataan
berkata lain. Jejak tahanan ini diketahui oleh sipir
yang-menurutku-sama-tidak-manusiawinya. Berawal sebuah tembakan mengenai
rodaku, aku terjatuh, aku tak mampu menopangnya. Tahanan itu jatuh, ia kemudian
lari masuk ke hutan. Nasibku sangat tidak bagus, aku kemudian dilindas oleh kendaraan
yang jauh lebih kuat, dan juga beberapa. Aku kemudian terbagi menjadi beberapa
bagian, tubuhku hancur. Aku dibiarkan.
Dan sekali
lagi, sesiapapun mereka yang membuat sejarah, seharusnya mereka tahu, bahwa
Tuhan tidak pernah tidur.
Comments
Post a Comment