Saturday, October 6, 2018

Sepeda - Kamisan S04E01




“Saya tidak pernah tahu sejarah mana yang benar dan yang bukan. Yang saya tahu sejarah ditulis para pemenang. Berdebat bukanlah sikap yang tepat. Sebab setiap bagian akan membenarkan diri dan akan menyalahkan yang lain. Yang saya tahu, sesiapa yang berhasil mengarang cerita, ia bukan hanya membohongi diri sendiri tetapi jutaan orang, juga anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Semua berhak memutarbalikkan fakta, semua berhak mendapat pengakuan, semua berhak mendapat bela.

Sesiapapun yang membuat sejarah, seharusnya dia tahu, bahwa Tuhannya tidak pernah tidur.”

Dua tahun setelah peristiwa. . .

Entah bagaimana nasibku juga ikut bersama mereka di bui ini. Bui yang setiap orang tidak ingin memasukinya, apalagi sampai mendekam di dalam dan begitu lamanya. Tapi, kini aku ada. Aku ada di bui ini, bersama mereka, menikmati sakit.

Aku ditempatkan di ujung blok. Aku sudah tua, dan mereka tau itu. Tubuhku bukan hanya rapuh, tapi komposisinya sudah tidak sanggup menyangga badanku sendiri. Aku di sandarkan di dinding berwarna putih, yang bahkan beberapa lepasan catnya menempel di tubuh. Mereka tidak peduli bagaimana aku menikmati hari-hari dengan sengatan matahari, dinginnya malam, suara-suara penyiksaan, suara-suara tangisan, suara-suara umpatan.

Aku tidak pernah memilih untuk menjadi seperti ini, atau bahkan paling tidak jangan aku yang harus di sini. Aku tidak suka tempat ini. Aku tidak tahu apa-apa, mengapa mereka memilih aku untuk di sini?

Lalu, lambat laun aku mulai menikmati. . .

Tapi, semua suara dan semua rasa yang awal aku rasakan seperti aku tidak ingin mendapatkannya, kini aku menerimanya. Sebab bagaimanapun, aku tidak bisa pergi begitu saja, di sini ketat penjagaanya, sipir-sipirpun kejam. Aku hanya berharap ada yang membawaku keluar dari bui ini.

Aku mulai terbiasa dengan suara tendangan sepatu boot yang menendang dengan empuk ke bagian tubuh penghuni. Suara lemparan piring, suara hujatan “pengkhianat pancasila”, suara hujatan “pengkhianat golongan”, suara orang-orang yang meringis kesakitan ketika tubuhnya di lempar, ketika bagian tubuhnya sengaja diinjak oleh meja.

Pada suatu hari di sebuah malam. . .

Aku tidak tahu mengapa hari ini begitu menjadi sangat damai. Sedari pagi, udara terasa sangat lembut menyentuh tubuh, siang hari tidak begitu menyengat seperti biasanya. Aku menikmati hari ini, bersyukur, karena di tengah tempat penyiksaan seperti ini jarang sekali aku merasakan senyaman ini.

Hingga suatu ketika, ada seseorang yang berani mengayuh pedalku. Seseorang itu kurus, aku tau karena aku tidak begitu merasakan beratnya di atas dudukku. Ia mengayuh dengan sangat cepat sembari membawa kepanikan yang luar biasa. Ya aku merasakan itu, merasakan degup jantungnya, merasakan peluhnya. Ia mengayuh dan terus mengayuh. Aku senang, aku pikir aku akan bebas dari tempat ini. Dan aku berteriak.

Tidak akan ada sejarah yang mencatatku sebagai sepeda tua yang tidak tahu apa-apa tapi ikut dipenjara dalam bui, dijemur di siang hari, dan akan merasakan dingin di malam hari. Pada malam aku di bawa kabur seorang tahanan, aku pikir aku akan dibawanya, merasakan bebasnya, dan menjadi normal seutuhnya. Tapi kenyataan berkata lain. Jejak tahanan ini diketahui oleh sipir yang-menurutku-sama-tidak-manusiawinya. Berawal sebuah tembakan mengenai rodaku, aku terjatuh, aku tak mampu menopangnya. Tahanan itu jatuh, ia kemudian lari masuk ke hutan. Nasibku sangat tidak bagus, aku kemudian dilindas oleh kendaraan yang jauh lebih kuat, dan juga beberapa. Aku kemudian terbagi menjadi beberapa bagian, tubuhku hancur. Aku dibiarkan.

Dan sekali lagi, sesiapapun mereka yang membuat sejarah, seharusnya mereka tahu, bahwa Tuhan tidak pernah tidur.

No comments:

Post a Comment