“Aku
tak pernah menyesali apa yang telah kuperbuat. Aku merelakan diriku
hidup di balik jeruji dalam keadaan bunting.
Namun aku puas, telah membunuh si Bejat Pak Kumis.
Disuatu siang yang lain pisau yang biasa kupergunakan untuk memotong
pisang menancap pada ulu hatinya yang kala itu Pak Kumis
kembali datang dengan muka dan indera
penglihatan bejatnya. Setelahnya, aku kemudian melaporkan diri sambil
kukayuh sepedaku yang rodanya
mulai oleng.
Aku
tak pernah lagi memikirkan ibu dan kankernya, ia sudah pergi dengan
tenang setelah kejadian siang itu, kejadian yang membuat aku bunting,
aku menemukan ibu sudah dalam keadaan terbujur kaku. Soal bunting
ini dan bagaimana nanti anak ini nanti lahir bisa kupikirkan nanti,
lagipula aku tak pernah menginginkan anak ini hidup.”
****
“Nyai,
saya seperti biasa ya, kopi hitam tanpa gula.”
Pinta Pak Kumis disuatu siang. Saat itu udara sedang dingin, maklum
sekarang sudah masuk Desember, sudah masuk musim penghujan. Aku
bersyukur karena dengan udara yang dingin seperti ini, warung kopi
kecilku jadi ramai, sudah tentu penghasilanku yang hanya mengandalkan
warung kopi
ini akan bertambah. Entah hanya perasaanku waktu itu saja atau memang
sudah pertanda dari hal yang sangat aku benci, kejadian yang kini
membuat aku jadi wanita yang pendendam.
Tak
seperti biasanya, warung kopiku
saat itu sangat sepi. Hujan mengguyur desaku dari pagi. Sejak awal
matahari tak lagi menampakkan dirinya dihari itu, aku sudah malas
rasanya untuk membuka warung kopiku,
namun kebutuhanlah yang mendesakku. Ibu dan kanker darahnya sangat
membutuhkan uang hasil penjualan kopi
dan
indomie rebus di warung kecil itu, maka meskipun aku ragu untuk
membuka warung kopi,
aku akan tetap berjualan, aku tak akan membiarkan kanker itu
menguasai tubuh ibu dengan merdekanya.
Aku
mengayuh sepeda ontel pemberian kakekku dulu menuju warung kopi.
Rodanya
masih sangat kokoh untuk menampung berat badanku yang semakin
membesar ini. Dari awal aku memang sudah ragu, dan benar saja, roda
sepedaku bocor. Bukannya aku tak mau menambal roda
ontelku, namun bengkel sepeda didesaku hanya ada satu dan dia hanya
buka di hari Jum’at. Akhirnya terpaksa aku berjalan disamping
ontelku yang kini tak lagi muda menuju warung kopi.
Aku
membuka pintu warung yang terbuat dari kayu, lalu aku membuka
beberapa papan yang menutupi sebagian badan warung dan diluar hujan
masih dengan seenaknya mengguyur bumi. Aku berjalan menuju dapur, aku
mempersiapkan semuanya.
Sudah
pukul dua siang, namun pelangganku hanya satu dua saja yang datang.
Sungguh tak seperti biasanya. Bale
yang
biasanya ramai dengan lelaki yang memainkan kartu sepi. Hanya ada
beberapa abang sopir angkutan umum yang hanya sekedar melepas lelah.
Maklum saja, karena rute angkutan umum ini sangat jauh, dan angkutan
inilah kendaraan desa kami satu-satunya.
Setelah
abang sopir itu pergi, warungku menjadi sepi. Namun disaat itulah
kejadian yang tak pernah aku inginkan terjadi. Burhan atau lebih
sering dipanggil Pak Kumis
dan beberapa temannya datang. Dari awal kedatangannya aku sudah punya
firasat buruk bahkan sempat aku ingin menutup warungku, namun aku
urungkan niatku itu. Aku tak enak hati, karena aku masih punya hutang
banyak pada Pak Kumis
si tua sialan ini.
“Nyai,
tumben sepi warungnya?”. Tanya
Pak Kumis
memulai percakapan ini. Jujur aku sebenarnya paling malas menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari si tua bangka ini.
Indera
penglihatannya yang sudah memancarkan nafsu bejatnya itu makin
membuatku takut. “Hei
Nyai, kau kenapa diam saja hah?”. Ia
terus saja melihatku dengan pandangan yang tak mengenakkan. Ia tetap
mengajakku bicara sambil memainkan kumisnya yang tebal diatas bibir
itu. Aku tetap diam.
“Nyai,
udaranya dingin ya, sepertinya saya butuh kehangatan.” Pak
Kumis masih tetap bicara sambil perlahan masuk ke tempatku berdiri.
“Pak,
saya bisa bikinin bapak kopi
seperti biasa, tapi saya mohon agar bapak menunggu diluar, dapur saya
sempit.”
Pintaku. Tanpa kusadari, saat aku mulai menyeduh kopi
Pak Kumis, tiba-tiba Pak Kumis memelukku dari belakang. Aku kaget.
Aku memukulnya dengan kayu yang ada disekitarku, bahkan aku sempat
menyiram tubuhnya dengan kopi
yang baru terisi air mendidih setengah. Dia mengerang. Kupikir dia
akan berhenti, namun dia semakin buas. Ia kemudian menamparku dengan
sekuat tenaganya, dia memukul bagian belakang kepalaku. Aku tetap
masih bisa mempertahankan diri. Namun kebejatannya Pak Kumis belum
berakhir, ia mendorong tubuhku hingga terbentur bilik warung, dan aku
kemudian dipukulinya kembali hingga aku tak sadarkan diri hingga
kejadian itu terjadi.
Buset dah mentang2 pecinta "KOPI" kata2nya sampe 10 euuyyy :p
ReplyDeleteKa rajin amat itunginnya hahahha
ReplyDeleteKa rajin amat itunginnya hahahha
ReplyDeleteWaduh ngeri ya~ :/
ReplyDeleteCeritanya ingetin tulisannya Khrisna Pabichara yang di buku Antologi Cinta ^^ Terinspirasi dari sana?
ReplyDeleteDisuatu siang yang lain <<< -- Li kayaknya abis kata2 Disuatu siang pake tanda koma lebih enak deh :) CMIIW aja ya...
ReplyDeleteWuihhh... dendamm... *ngeri* o_o
ReplyDeleteKak dwi hahahhaha, emang terinspirasi dari situ -___-
ReplyDeleteSip kak bije, nanti aku perbaiki lagi :3344
ReplyDeleteBang jul dan om yo kalian jangan kek gitu yaaaa mahahhahaha
ReplyDelete