~~~
Lebih dari sepuluh menit aku menanti kedatangannya, bis maksudku. Sambil mengisi kekosongan waktu aku berbicara dengan perempuan di sebelahku yang sama-sama menunggu. Ah yaa. . perihal menunggu itu memang tak selalu menyenangkan bukan? Seperti aku yang menunggu kapan kepastian itu datang dari dirimu, Tuan?
Bispun tiba. Aku bersyukur, sebab kudapati ia dengan banyak kesempatan untuk duduk. Aku meninggalkan perempuan itu sendirian. Ia masih menunggu teman, katanya. Ya dan sekali lagi menunggu itu mematikan mood yang baik. Aku duduk di barisan kelima dari depan dengan kursi yang berjajar tiga. Perlahan lalu aku kembali menjamah badan buku yang seharusnya sebentar lagi selesai kusentuh. Aku membayar tarif pulang pada kernet yang ramah itu. Ah ya sudah tiga hari berturut-turut aku menaiki bisnya. Bahkan pada hari pertama itu aku menaiki bisnya berangkat dan pulang kerja. Aku masih menikmati bacaanku, sampai tiba aku membalas pesan WAku dan kudapati lampu bis yang mati. Sebuah lampu berukuran watt yang lebih kecil dan berwarna kuning dinyalakan . .
Aku masih menikmati gelap yang tak sepenuhya dari dalam bis ini. Sebab bias cahaya kota mampu menjadi tambahan cahaya remang bagi orang-orang di dalamnya. Kupikir dengan supir bus mematikan lampunya, penghuninya akan 'mati' juga dalam beberapa saat, nyatanya tidak. Ada yang sebagian mengobrol dengan teman sebelahnya dengan suara yang lantang, dan ada sebagian lain, lebih tepatnya di depanku dua orang ibu-ibu yang sibuk membicarakan bis yang semakin jarang, bis yang semakin telat datangnya, kemacetan dan perihal yang tak bisa izin kerja.
Dua lelaki disebelah kanan dan kiriku telah sampai pada titik nyaman mereka, aku melirik keduanya, tak lama kemudian, lampu remang bis kota ini mampu menjadi nina boboku untuk waktu yang sangat tanggung ~~
Jakarta, 24 Desember 2014
Kadang di dalam bis itu banyak ide bermunculan.... Dan waktu nyaman untuk menuangkannya dalam tulisan, dengan syarat; malam, tak ramai, AC, dan pengamen akustik dengan suara tak fals :)
ReplyDelete