Tuesday, June 16, 2015

Pertemuan yang Tak Lagi Sama

Pukul setengah tujuh waktu di wilayah kita. Telepon genggam kita saling bergantian mengeluarkan bunyi yang sudah kita atur sendiri-sendiri. Bunyimu berada dari gedung yang jaraknya beberapa puluh kilometer dari gedung tempat bunyi telepon genggamku menggema.

Ping. Aku membaca pesan singkat darimu. "Aku sudah beranjak pulang. Kau pulang ya. Aku tunggu di kafe tempat biasa kita meraup habis aroma dan isi dari secangkir kopi".

Sudah barang tentu aku langsung mengemas barang-barang isi tas kerja, memastikan bahwa semuanya dalam keadaan yang baik dan tidak ada yang tertinggal; buku bacaan, beberapa lembar kertas, sebuah pena, sebuah kacamata, alat make up, sebotol cairan lensa, mukena, dan sebotol air minum yang telah kuisi penuh. Aku tak lekas pergi, aku masih harus membereskan berkas-berkas yang berantakan di meja kerja; berkas pengadilan, berkas perjanjian dengan bank, bukti uang masuk dan uang keluar yang sengaja aku letakkan ke dalam drawer untuk mereka beristirahat sebelum mereka ku acak-acak lagi esok pagi. Oh ya, aku tak lupa mematikan dahulu komputerku sambil membaca "alhamdulillah" atas pekerjaan yang telah kuselesaikan hari ini.

Adalah bahagia yang sangat sederhana ketika pukul setengah tujuh aku melewati lorong menuju finger print ini berada. Rasanya seperti "wah" bagi pegawai minoritas sepertiku yang hampir setiap harinya pulang selalu diatas jam delapan.

"Pilar, aku udah naik bis ya. Setengah jam lagi mungkin aku akan sampai."

***

Dua buah mata dari masing-masing yang kita punya, kini saling menatap sesama lawannya kembali. Sebelah mata kananku kini dapat lagi melihat mata sipitmu sebelah kiri. Lalu bagian kiriku yang tak mau hilang kesempatan untuk menatap mata kirimu.

Kau ingat tentang beberapa pertemuan silam kita, kedua mata kita juga pernah melakukan hal serupa, namun kali ini berbeda. Tak ada lagi sesuatu yang membuat kita tersenyum malu-malu saat kedua mata kita bertemu.

Kafe ini masih seperti apa adanya, tak ada yang berubah, tapi tidak dengan pertemuan kita. Tak lagi ada cerita tentang cinta yang kita buat bersama-sama; ocehan-ocehan yang keluar dari masing-masing mulut kita, yang kita harap bisa membuat lama-lama kita dalam asmara.

Pertemuan ini tak lagi sama. Kita memang bicara soal masa depan, tapi untuk masa depan masing-masing.


"Permisi, nih Sidikalang dan Kintamaninya, jangan diaduk dulu sampai bunyi ya". Pelayang itu menaruh dua cangkir kopi yang dibawanya dari dapur. Senyum pelayan itu masih sama, tapi tidak dengan pertemuan kita. Ia tidak tahu, kita tak lagi sama tentang cinta.

5 comments:

  1. Kayanya kaka yang satu ini anak sastra ,ya. Bagus

    ReplyDelete
  2. Yang penting masih bersilahturahmi satu sama lain

    Hidup tak selalu tentang asmara

    ReplyDelete
  3. Ahhh, speechless. :(

    Singkat tapi ngena di hati. Ajari aku nulis gini, Kak. :(

    ReplyDelete
  4. Darma: suka sastra iya, tapi sayangnya bukan anak sastra :(

    Karina: huum hidup tak melulu tentang cinta

    Yoga: yoga ngeledek TT

    ReplyDelete