Ping. Aku membaca pesan singkat darimu. "Aku sudah beranjak pulang. Kau pulang ya. Aku tunggu di kafe tempat biasa kita meraup habis aroma dan isi dari secangkir kopi".
Sudah barang tentu aku langsung mengemas barang-barang isi tas kerja, memastikan bahwa semuanya dalam keadaan yang baik dan tidak ada yang tertinggal; buku bacaan, beberapa lembar kertas, sebuah pena, sebuah kacamata, alat make up, sebotol cairan lensa, mukena, dan sebotol air minum yang telah kuisi penuh. Aku tak lekas pergi, aku masih harus membereskan berkas-berkas yang berantakan di meja kerja; berkas pengadilan, berkas perjanjian dengan bank, bukti uang masuk dan uang keluar yang sengaja aku letakkan ke dalam drawer untuk mereka beristirahat sebelum mereka ku acak-acak lagi esok pagi. Oh ya, aku tak lupa mematikan dahulu komputerku sambil membaca "alhamdulillah" atas pekerjaan yang telah kuselesaikan hari ini.
Adalah bahagia yang sangat sederhana ketika pukul setengah tujuh aku melewati lorong menuju finger print ini berada. Rasanya seperti "wah" bagi pegawai minoritas sepertiku yang hampir setiap harinya pulang selalu diatas jam delapan.
"Pilar, aku udah naik bis ya. Setengah jam lagi mungkin aku akan sampai."
***
Kau ingat tentang beberapa pertemuan silam kita, kedua mata kita juga pernah melakukan hal serupa, namun kali ini berbeda. Tak ada lagi sesuatu yang membuat kita tersenyum malu-malu saat kedua mata kita bertemu.
Kafe ini masih seperti apa adanya, tak ada yang berubah, tapi tidak dengan pertemuan kita. Tak lagi ada cerita tentang cinta yang kita buat bersama-sama; ocehan-ocehan yang keluar dari masing-masing mulut kita, yang kita harap bisa membuat lama-lama kita dalam asmara.
Pertemuan ini tak lagi sama. Kita memang bicara soal masa depan, tapi untuk masa depan masing-masing.
"Permisi, nih Sidikalang dan Kintamaninya, jangan diaduk dulu sampai bunyi ya". Pelayang itu menaruh dua cangkir kopi yang dibawanya dari dapur. Senyum pelayan itu masih sama, tapi tidak dengan pertemuan kita. Ia tidak tahu, kita tak lagi sama tentang cinta.
Kayanya kaka yang satu ini anak sastra ,ya. Bagus
ReplyDeleteYang penting masih bersilahturahmi satu sama lain
ReplyDeleteHidup tak selalu tentang asmara
Ahhh, speechless. :(
ReplyDeleteSingkat tapi ngena di hati. Ajari aku nulis gini, Kak. :(
Darma: suka sastra iya, tapi sayangnya bukan anak sastra :(
ReplyDeleteKarina: huum hidup tak melulu tentang cinta
Yoga: yoga ngeledek TT
Ngena banget mba tulisannya :)
ReplyDelete