“Bu,
bisa tolong ambilkan pispot? Bapak mau bersih-bersih diri sebelum
bapak pergi.”
“Bapak
mau kemana toh, ndak usah ngawur kalo bicara, sebentar ibu ambilkan.”
Sementara
Ibu Supeno ke kamar mandi, aku menghampiri Pak Supeno untuk sekedar
berbincang dengannya. Sungguh aku telah lama merindukan berbincang
dengan Bapak dan Ibu Supeno. Bapak dan Ibu Supeno adalah pengasuhku
dari kecil. Aku sangat-sangat menyayangi mereka bahkan kasih sayangku
pada mereka melebihi kasih sayangku pada orang tuaku. Merekalah yang
mendidikku. Mereka menjagaku seperti mereka menjaga anak mereka
sendiri. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan mereka daripada
orang tuaku. Orang tuaku terlalu sibuk dengan urusannya yang sampai
sekarang aku bingung, kenapa mereka bisa-bisanya tak memperdulikan
aku sebagai anaknya. Aku mencintai Bapak dan Ibu Supeno seperti orang
tuaku.
Sudah
dua bulan lamanya Pak Supeno terbaring dirumah sakit. Hingga sekarang
aku tak pernah tau apa penyakitnya. Aku pernah memaksa Bu Peno untuk
jujur, tapi ia selalu bilang “Bapak
tidak apa-apa nduk, bapak baik-baik saja. Dia hanya terbaring lemah,
kamu doakan saja ya.” Aku
bahkan pernah hampir marah pada ibu karena ia tak pernah mau jujur
soal bapak, namun ibu tetap tidak memberitahu sampai aku lelah
sendiri. Bapak sudah tidak bisa apa-apa, tubuhnya yang dulu kekar,
yang dulu sering menggendongku kini terbaring lemah di kasur bangsal
rumah sakit, ia sudah tidak bisa apa-apa bahkan untuk buang air
kecilpun bapak menggunakan pispot. Sebagai orang yang aku sayang, aku
ingin sekali berbakti pada bapak meski dia bukan bapakku. Aku bilang
pada ibu agar selama bapak sakit, aku yang mengurusnya. Awalnya ibu
dan bapak menolak, namun dengan mohon-mohon yang sangat akhirnya
mereka mengabulkan. Aku merawat bapak, memandikannya, menyuapi
makanannya, meminumkan obatnya, bahkan mengurusinya dalam hal buang
air kecil.
Namun
entah mengapa sejak dua hari kemarin bapak tak pernah mau aku urusi
dan aku rawat. Bapak dengan alasannya yang tak mau menyakitiku hanya
bilang “nduk, maaf ya, bapak lagi kangen dimanja sama ibu.”
Aku tak bisa menolak lagi permintaan bapak untuk yanng satu ini.
Ibu
sudah kembali dari kamar mandi dengan membawa pispot dan ia langsung
menghampiri bapak. Entah aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat
ini. Ada hal yang mengganjal dalam hati, aku cemas, aku tak tenang,
aku pun gundah. Lima menit kemudian, aku mendengar ibu menangis,
memanggil nama bapak, dan menyebutkan kalimat Laa ilaaha illah”.
Aku langsung saja menghampir bapak dan ibu, dan setelah aku
melihatnya bapak sudah terbujur kaku. “Innalillahi wa innailaihi
rajiun”. “Nduk bapak tadi sempat bilang sama ibu, bapak senang
sekali bisa disayang sama kamu, bapak seperti merasa punya anak,
bapak tadi mengucapkan terimakasih, oh iya dan dia minta maaf karena
dua hari ini tidak mau diurus sama kamu, bapak cuma ingin merasakan
terakhir kalinya dimanja sama ibu.”
Pispot kenapa selalu menjadi sosok tempat dimana kematian itu singgah? Kenapa?? Duhai penulis, aku bahkan tak kuasa membacanya lagi. Etapi kamu better loh lia tulisannya gak kayak kemaren2. GOOD MOVEMENT
ReplyDelete*tear* keren banget ceritanya kak :)
ReplyDeleteKak bijeeee :D makasih yaa kak, untung aku liat loh mentionan kalian di twitter :(
ReplyDeleteNdeh,, makasih ya :333
ReplyDelete