Monday, March 24, 2014

Jumatulis #1 Pispot - Pispot Terakhir Pak Supeno

Bu, bisa tolong ambilkan pispot? Bapak mau bersih-bersih diri sebelum bapak pergi.”
Bapak mau kemana toh, ndak usah ngawur kalo bicara, sebentar ibu ambilkan.”

Sementara Ibu Supeno ke kamar mandi, aku menghampiri Pak Supeno untuk sekedar berbincang dengannya. Sungguh aku telah lama merindukan berbincang dengan Bapak dan Ibu Supeno. Bapak dan Ibu Supeno adalah pengasuhku dari kecil. Aku sangat-sangat menyayangi mereka bahkan kasih sayangku pada mereka melebihi kasih sayangku pada orang tuaku. Merekalah yang mendidikku. Mereka menjagaku seperti mereka menjaga anak mereka sendiri. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan mereka daripada orang tuaku. Orang tuaku terlalu sibuk dengan urusannya yang sampai sekarang aku bingung, kenapa mereka bisa-bisanya tak memperdulikan aku sebagai anaknya. Aku mencintai Bapak dan Ibu Supeno seperti orang tuaku.

Sudah dua bulan lamanya Pak Supeno terbaring dirumah sakit. Hingga sekarang aku tak pernah tau apa penyakitnya. Aku pernah memaksa Bu Peno untuk jujur, tapi ia selalu bilang “Bapak tidak apa-apa nduk, bapak baik-baik saja. Dia hanya terbaring lemah, kamu doakan saja ya.” Aku bahkan pernah hampir marah pada ibu karena ia tak pernah mau jujur soal bapak, namun ibu tetap tidak memberitahu sampai aku lelah sendiri. Bapak sudah tidak bisa apa-apa, tubuhnya yang dulu kekar, yang dulu sering menggendongku kini terbaring lemah di kasur bangsal rumah sakit, ia sudah tidak bisa apa-apa bahkan untuk buang air kecilpun bapak menggunakan pispot. Sebagai orang yang aku sayang, aku ingin sekali berbakti pada bapak meski dia bukan bapakku. Aku bilang pada ibu agar selama bapak sakit, aku yang mengurusnya. Awalnya ibu dan bapak menolak, namun dengan mohon-mohon yang sangat akhirnya mereka mengabulkan. Aku merawat bapak, memandikannya, menyuapi makanannya, meminumkan obatnya, bahkan mengurusinya dalam hal buang air kecil.

Namun entah mengapa sejak dua hari kemarin bapak tak pernah mau aku urusi dan aku rawat. Bapak dengan alasannya yang tak mau menyakitiku hanya bilang “nduk, maaf ya, bapak lagi kangen dimanja sama ibu.” Aku tak bisa menolak lagi permintaan bapak untuk yanng satu ini.

Ibu sudah kembali dari kamar mandi dengan membawa pispot dan ia langsung menghampiri bapak. Entah aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Ada hal yang mengganjal dalam hati, aku cemas, aku tak tenang, aku pun gundah. Lima menit kemudian, aku mendengar ibu menangis, memanggil nama bapak, dan menyebutkan kalimat Laa ilaaha illah”. Aku langsung saja menghampir bapak dan ibu, dan setelah aku melihatnya bapak sudah terbujur kaku. “Innalillahi wa innailaihi rajiun”. “Nduk bapak tadi sempat bilang sama ibu, bapak senang sekali bisa disayang sama kamu, bapak seperti merasa punya anak, bapak tadi mengucapkan terimakasih, oh iya dan dia minta maaf karena dua hari ini tidak mau diurus sama kamu, bapak cuma ingin merasakan terakhir kalinya dimanja sama ibu.”

4 comments:

  1. Pispot kenapa selalu menjadi sosok tempat dimana kematian itu singgah? Kenapa?? Duhai penulis, aku bahkan tak kuasa membacanya lagi. Etapi kamu better loh lia tulisannya gak kayak kemaren2. GOOD MOVEMENT

    ReplyDelete
  2. Kak bijeeee :D makasih yaa kak, untung aku liat loh mentionan kalian di twitter :(

    ReplyDelete