Kulihat
jam yang tertanam di dinding ruangan para kapitalis, ah sudah jam
sembilan rupanya. Namun sepasang dua bola mata yang ada dalam tubuhku
ini masih belum mau merespon jasadku yang sudah bangun lima jam yang
lalu. Mataku masih sayu, rasanya masih ingin mendusel-ndusel
bantalan
yang semalam membuat tidurku nyaman, namun keadaan tak membuatnya
beruntung, jasadku sudah ada di depan layar yang lengkap dengan
dokumen-dokumen yang hendak ku input
datanya. Waktu terus berjalan, aku mulai memindahkan data yang
tertera dalam dokumen yang berwarna merah muda ini ke dalam sistem di
layar depan mukaku tapi mataku mengantuk, sesekali aku memejamkan
mataku ini hingga terkadang ketikanku ada beberapa yang menjadi typo.
Ah mungkin hanya tuts keypadku
yang sudah lelah.
Sampai
tiba waktunya aku sudah tak tahan lagi menahan kantukku ini, aku
memutuskan untuk membuat kopi hitam, ya segelas kopi hitam yang
memang sudah jadi teman setia menemaniku kerja untuk beberapa menit
kedepan. Kenapa cuma beberapa menit? Karena buatku kopi hitam itu
sudah tidak ada rasa nyamannya lagi ketika sudah tak panas,
setidaknya kopi hitam masih bisa dirasakan aroma dan sensasinya
meskipun dalam keadaan hangat. Entah jariku sedang kerasukan dewa
apa, seperti dalam potongan liriknya Iwan Fals di salah satu lagunya
yang berjudul “Umar Bakrie” yang kira-kira seperti ini potongan
liriknya “Hari ini aku rasa kopi nikmat sekali”, aku merasakan
saat itu kopiku rasanya nikmat sekali, sebungkus kopi hitam yang
dipadukan dengan sesendok teh gula pasir dalam takaran yang pas,
tidak terlalu pahit tapi tidak terlalu manis.
Lalu
kunikmati kopi hasil racikanku sendiri diatas meja kerjaku bersaingan
dengan antara dokumen pendukung kerjaku, namun ditengah perjalanan
aku menikmati dua suasana itu, aku melihat seseorang masuk ke
ruangan, lelaki, tinggi dan tersenyum.
Aku
benar-benar menikmati pagi itu, kopi yang kurasa nikmat sekali juga
senyummu yang nampak manis dari balik pintu kaca itu.
No comments:
Post a Comment