Untuk Beberapa Potong Hari Perihal Rindu dan Cemburu - 1
Karena rindu aku ingin menemuimu.
Sebab
telah beberapa hari aku telah ada tanpa ada obrolan-obrolan yang seperti biasa
kita lakukan. Tak ada kata-kata yang biasa kita ucapkan untuk sekedar menyemangati
hari-hari kita yang terlampau biasa. Tak ada rayu-rayu rindu yang terkadang
membuat kita geli sendiri yang kemudian membuat kita bergurau “macam anak abg
ya” dan kita tertawa dalam emot-emot
yang tersedia. Rusaknya telepon genggammu membuat kita menjadi galau sendiri,
menjadi tambahan kerjaan untuk memikirkan keadaan lawannya masing-masing, tapi
kita tetap melewatinya dengan senyum.
Sesekali
teleponku berdering. Suaramu. Aku senang. Meski hanya sehari sekali dalam
sepuluh menit, setidaknya suaramu jauh lebih penting daripada rindu-rindu kita
yang tertahan. Kita menanyakan kabar, menanyakan apa yang sudah biasa kita
tanyakan dan kita menjawabnya. Kemudian, seperti biasa yang telah kita lakukan,
kita berjanji untuk bertemu pada hari biasa, jam biasa, dan tempat yang biasa.
Hari itu
tiba. Aku telah siap sejak pagi. Memilih baju yang terbaik untuk aku pakai agar
terlihat cantik dimatamu. Memakai gelang, namun lagi-lagi tidak ada penunjuk
jam yang melingkar di tangan kiri, batrainya telah habis tenaganya sejaka
beberapa minggu silam, dan aku belum menggantinya. Aku pergi dengan senyum dengan
harapan untuk bisa bertemu.
Karena cemburu setitik merusak rindu sebelanga.
Aku tak
lagi tahu bagaimana menjelaskanmu. Tentang sore tadi, aku benar-benar tidak melihatmu
datang. Bukannya aku kelabakan karena
ketahuan berdua dengan seorang pria, karena tahu kamu baru datang lalu aku lari
karena melihatmu. Sungguh dengan kekurangan penglihatanku, aku benar-benar
tidak seperti yang kamu sangka. Aku berlari untuk mengejar yang kamu pun tahu
aku biasa dengan siapa, dan lelaki itu, lelaki yang kamu sangka, ia mengejar
temannya. Kita hanya teman sekelas, hanya teman yang arah rumahnya sejalan, dan
hanya sama-sama mengejar teman kita masing-masing. Tidak lebih.
Aku
menghampirimu. Tak aku sangka kamu sebegitu marahnya terhadapku. Aku
menjelaskan dan kamu memintaku untuk naik ke motormu. Lalu kita pergi.
Gerimis menemui kita kala itu. Menemui kita untuk bisa
meredam amarah kita masing-masing
Motormu
mengarahkan ke sebuah warung makan. Kamu memintaku turun. Memintaku untuk
menjelaskan tentang kejadian yang merusak rindu kita. Dan kita masih pada
kata-kata kekesalan.
Kita
masuk dengan sendiri-sendiri. Aku memilih tempat duduk yang agak dalam, kamu
memintaku untuk pindah, menempati tempat duduk yang dua dari depan. Pelayan
memberiku menu, dan aku memesan indomie rebus level sedang dan teh manis anget.
Aku menyodorkan menu itu padamu, dan menyuruhmu memesan dengan nada ketus. Ah,
lagi, aku meminta maaf untuk keketusanku.
Pesanan
kita datang. Kita diam. Kita menikmati santapan kita masing-masing tanpa ada
obrolan yang seharusnya mencairkan suasana ini. Sudah habis makananku. Aku
mengeluarkan beberapa uang untuk kubayar sendiri makananku. Ah, kau paling tahu
kalau aku sedang kesal, aku pasti akan membayar makananku sendiri, kadang kamu
menerima lalu menggantikan uangnya dilain hari, kadang kamu membiarkan aku
membayarnya langsung dan kamupun juga menggantinya dilain hari “ini uang
simpenanmu di aku” ucapmu.
Kamu
kembali menanyakan perihal tadi. Perihal cemburumu. Lalu kita saling berdebat
dengan pendapat kita masing-masing. Aku kesal. Dan akupun tahu kamu juga kesal
terhadapku. Entah apa yang ada dalam pikiranku, aku melempar begitu saja uang
yang sudah kusiapkan dengan bon makanan ke mukamu. Aku lari. Aku pergi. Aku
benci kamu kala itu.
Nah, ini. Kujuga sedang cemburu. :(
ReplyDeleteKalau lagi cemburu, ada baiknya untuk tidak saling berbicara. Terkadang emosi menguasai, dan kalau masih terbawa emosi, hal-hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Itu sebabnya gue kalau lagi cemburu nggak mau ngobrol dulu. Kalau udah tenang, baru, saling mengoreksi diri :)
ReplyDelete