Stoples
Itu Bernama Kita
Aku memandangi kembali foto yang ada ditanganku ini. Tak habis
pikir dalam benakku bagaimana kita bisa bertemu kembali setelah belasan tahun
kita terpisah. Kamu lihat bagaimana kamu dalam gambaran tersebut? Kamu ingat
pada usia berapa kita mengabadikan momen seperti itu? Dan setelah perpisahan
waktu itu, setelah jarak yang menjadi penghalang kita bertemu, setelah ruang
yang menjadi hambatan untuk menghabiskan waktu bermain kita, hari ini, rinduku,
rindumu, rindu kita telah sempurna melebur, telah lunas, hutang telah terbayar.
Aku masih memandangi kamu
dari kejauhan, dan gayamu sekarang persis seperti apa yang kamu cita-citakan sejak
kecil, seperti anak gunung. Tas ransel dan
sandal khas gunung yang kau kenakan itulah yang menceritakan padaku seperti apa
gayamu sekarang.
Aku masih memandangimu
dari kejauhan, memandangi kamu dan teman kecil kita yang lain melepas rindu di
ujung jembatan kayu di taman ini, jembatan yang sudah runtuh kekuatannya karena lapuk dimakan usia. Ya
bagaimana tidak lapuk, usianya saja bahkan belasan tahun lebih tua dari kita,
dan jembatan itu tak pernah kami
rawat lagi sejak kamu pergi meninggalkan kami.
“Woy Lia sini lu, ngapain diri sendiri disitu”. Aku tertawa kecil
saat ku mendengar teriakanmu itu, rupanya julukan “Si Kompor Meleduk” enggan berpindah darimu. Lalu kau mengulanginya
sekali lagi, sambil memamerkan stoples bening berisikan kertas origami, yang aku dan
teman lain berikan saat kamu pindah ke kota yang jauh. Ah, aku tak menyangka
kamu masih menyimpan dengan baik stoples
yang tujuh belas tahun lalu itu, kita beri nama “Kita”
No comments:
Post a Comment