“Assalammualaikum,
selamat pagi anak-anak, sudah siap menaiki satu tangga lagi hari
ini?”
“Waalaikumsalam,
pagi Bu, siap bu, kami siap menaiki satu tangga lagi.”
Kebiasaan
sepertilah yang dilakukan Bu Ratih sebelum kelas dimulai. Bu Ratih,
seorang relawan pengajar SMP di sebuah pedalaman Banten. Sekolah
darurat yang hanya beratap terpal dengan dinding panasnya cuaca.
“Sudah
siap dengerin nilai
ulangan Bahasa Indonesia kalian kemarin?.”
“Siap
Bu”. Jawab serentak anak-anak sekelas.
“Oke,
yang Ibu panggil namanya, silahkan maju kedepan, seperti biasa Ibu
akan panggil tiga orang pertama dengan nilai yang paling tinggi di
kelas ini secara berurut, setuju?”
“Setuju,
Bu”.
“Hayo,
kalian bisa tebak gak siapa sih
tiga orang pertama yang beruntung kali ini, ada yang tau?”
“Pasti
Dita ya Bu? Dia kan selalu dapet
nilai
paling tinggi, dan pasti nilainya selalu sembilan”. Jawab Budi,
salah seorang murid Bu Ratih.
“Rika,
Rita, Waldi silahkan kalian maju kedepan dan ambil nilai ujian
kalian.”
“Loh,
Dita tak dipanggi Bu?”. Tanya Rudi yang heran karena untuk pertama
kalinya Dita tidak juara dalam ulangan.
“Untuk
kali ini Dita belum jadi yang pertama, mungkin lain kali ya Dit.”
Jawab Bu Ratih, sambil membagikan nilai ulangan yang lainnya.
“Iya
Bu.” Dita hanya mengangguki pertanyaan dari guru yang sangat dia
cintai.
“Okeh,
nilai ulangan telah dibagikan. Sekarang waktunya kita belajar, tapi
karena ini pelajaran Bahasa Indonesia, Ibu mau menceritakan sesuatu,
tapi setelah itu kalian harus bikin cerita. Nantinya ibu akan berikan
kalian waktu lima sampai sepuluh menit untuk cari inspirasi diluar
kelas. Setalah kalian menemukan apa yang mau kalian ceritakan, kita
akan berkumpul di pohon rindang disebelah ruangan ini, dan kalian
wajib bercerita. Okeh?”
“Siap
Bu.” Jawab anak-anak serempak.
“Dita,
nanti setelah pulang sekolah ibu mau bicara denganmu ya, kita
duduk-duduk cantik saja dibawah pohon.”
“Baik
Bu”.
Jam
pulang sekolah pun tiba, Ditapun langsung pergi ke tempat yang sudah
dijanjikan dengan Bu Ratih. Dita adalah salah satu dari delapan belas
siswa yang sekolah di SMP darurat itu. Jika dilihat dari umurnya,
seharusnya Dita dan teman-temannya sudah masuk ke sekolah menengah.
Namun, desa tempat Dita tinggal adalah desa terpencil yang jauh dari
kota, sehingga fasilitas pendidikannya sangatlah minim. Dita adalah
murid yang paling cerdas dikelasnya. Daya tangkap terhadap materi
yang diberikan sangatlah cepat. Selain itu, ia pun sangat aktif
bertanya jika ada sesuatu hal yang baru yang ia temukan. Dita, gadis
kelahiran sembilan september lima belas tahun silam adalah seorang
yang sangat menyukai angka sembilan. Baginya sembilan adalah angka
yang sempurna. Suatu ketika, Bu Ratih pernah bertanya pada Dita,
kenapa ia sangat suka sekali dengan angka sembilan, bahkan hampir
semua nilai ulangannya sembilan, dan ia tak pernah mau menyempurnakan
nilanya hingga sepuluh. Hanya satu alasannya yaitu, Allah sangat
menyukai angka yang ganjil, dan Allah memiliki 99 nama yang baik dan
ia dilahirkan di tanggal sembilan bulan september di tahun 1999.
“Hay
Dit, sudah lama nunggu ibu?”. Tanya Bu Ratih setibanya di bawah
pohon rindang itu.
“Tidak
kok Bu, Oh iya ibu ada apa ya manggil saya
kesini?”
“Ada
apa dengan nomor favoritmu, Dit? Ujianmu kali ini hanya dapat enam.”
“Oh
itu, aku udah tau pasti ibu mau menanyakan hal itu, aku gak bisa
konsentrasi waktu ujian kemarin bu, ayahku sudah tiga hari tidak
pulang dari melaut, aku khawatir. Adik-adikku tak ada yang menjaga
sedangkan ibu sedang dalam keadaan sakit. “
“Lalu,
sudah ada kabar dari ayahmu sekarang?”.
“Belum
bu, sudah dua minggu aku tak mendengar kabarnya lagi.”
No comments:
Post a Comment