Friday, June 6, 2014

Jumatulis #12 Panen, Lumpur, Burung, Kemarau, Keringat ~ Gedung Tinggi ≠ Gaji Tinggi

Senja seperti ingin menampakkan diri. Langit kota Jakarta kala itu sangat cerah. Waktu menunjukkan pukul 16.45, itu tandanya lima belas menit lagi jamnya orang-orang kantor pulang. Ujang masih melepas penatnya, keringatnya masih bercucuran dari ujung kepalanya menuju wajahnya yang nampak lebih tua dua tahun dari usianya. Napasnya masih tersengal-sengal karena habis membersihkan perkarangan gedung kantor dari lumpur setelah beberapa hari yang lalu terkena banjir. Ujang menengadahkan kepalanya keatas langit, terlihatnya beberapa burung yang terbang, mungkin ia ingin pulang ke rumahnya pikirnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke minuman yang telah ada disampingnya sejak ia selesai membersihkan perkarangan gedung kantor. “Burung saja selalu pulang kala sore hari, lah aku?”. Ia baru teringat, sudah tiga kali panen, sudah tiga kali kemarau pula ia belum pulang kampung. Itu tandanya sudah tiga kali lebaran Ujang merayakannya seorang diri.

__*

Sambil asyik menyeruput minumannya, telepon genggamnya berdering, ia lalu mengambil handphonenya, dan ternyata yang menelponnya adalah nomor dari kampung, ibunya.
Halo, Assalammualaikum, punten ini teh bener nomor Ujang, anak emak yang di Jakarta tea?” Sapa orang yang berada pada ujung salauran telepon tersebut.
Halo, Waalaikumsalam, iya  mak, ini Ujang anak emak yang kerja di Jakarta tea.” Sahut Ujang.
“Alhamdulillah teu salah sambung, Ujang kumaha? Damang maneh di Jakarta?.” Tanya ibunya.
Iya mak, Alhamdulillah Ujang baik dan sehat, emak kumaha? Damang henteu?”. Timpal Ujang
“Alhamdulillah emak damang Ujang, Ujang, kamu kapan balik ka imah? Sudah tilu taun kamu teu pulang. Kamu teu kangen ka emak?.”
“Iya mak, nanti kalo sudah ada rezeki, Insyaallah Ujang pulang. Ujang juga sudah kangen sama emak.”
“Eleuh-eleuh Ujang, kamu teh kumaha ih, setiap emak tanya kapan kamu pulang, selalu weh jawabnya kitu, selalu nunggu kalo ada rezeki. Eh Ujang, kerjamu kan di Jakarta di gedung-gedung tinggi, masa iya kamu teu bisa barang sekali pulang ke imah.” Ujang terpaksa agak sedikit menjauhkan teleponnya dari telinga, karena ia tahu emaknya sangat mengiinginkan lebaran kali ini ia pulang. “Duh emak, bukan gitu. Ujang juga teh udah pengen banget pulang. Ujang juga udah kangen suasana lebaran di kampung, kangen sama ketupat buatan mak, opor emak. Ujang juga udah kangen berat sama si Juki, sapi yang Ujang rawat tea dari kecil. Tapi mau bagaimana lagi mak, kalo Ujang pulang saat lebaran, Ujang teu bisa kirim uang ka mak.” Ujang meneruskan. “Mak, Ujang teh cuma cleaning service disini alias pembantu lah kasarnya, tukang bersih-bersih gitu. Jadi, meskipun Ujang kerja di gedung-gedung tinggi, bukan berarti Ujang akan selalu dapet penghasilan tinggi juga. Biaya hidup disini teh mahal banget mak, jadi penghasilan Ujang ya abis buat Ujang biaya hidup disini sama ngirim ka emak.” Ujang sebenarnya sudah bosan menjelaskan ke emaknya kenapa sudah tiga kali lebaran ini ia tidak pernah pulang. Sebenarnya bisa saja ia pulang, hanya saja gaji yang diterimanya habis untuk ia kirim ke emak untuk melunasi hutang-hutang bapak waktu sakit.
“Yasudahlah tos kitu mah, mau bagaimana lagi, toh emak juga teu bisa ke Jakarta buat bawa pulang kamu ke rumah. Jang, lamun utang-utang bapak lunas, kamu balik lagi aja ka kampung, kamu tinggal disini saja, temani emak.”
“Iya mak, nanti kalau utang bapak lunas, Ujang akan pulang dan akan temani emak sampe kapan pun. Yasudah, sudah dulu ya mak, ujang mau pulang, sudah jamnya Ujang balik ke kontrakan. Nanti malam, Ujang telepon lagi ke emak. ”
“yasudah, hati-hati kamu pulangnya, jangan lupa makan juga solat. Emak pamit ya, Assalammualaikum.”
Waalaikumsalam, mak.” Ujang lalu menutup hpnya. Ia bergegas ke ruangannya dan bersiap-siap untuk kembali ke kontrakannya. Hari ini ia sangat ingin cepat-cepat sampai kontrakannya. Badannya sudah terlalu lelah setelah seharian membereskan perkarangan kantor yang penuh dengan lumpur. 

Langit semakin menggeliyat menampakan rona merahnya. Senja seperti malu-malu tampil diantara barisan gedung-gedung tinggi. Angin yang berhembus mengantarkan Ujang menaiki bis kota menuju tempat peristirahatannya.

___* 

 “Bagiku, kebahagiaan bukanlah seberapa tinggi aku kerja di sebuah gedung, bukan seberapa tinggi gaji yang aku terima setiap bulannya. Aku tak muna, siapapun pasti ingin gaji tinggi agar bisa memenuhi semua keinginannya, begitupun aku. Namun bagiku kebahagian adalah bagaimana aku bisa kembali pulang ke kampung, hidup bersama emak,dan  membahagiakan ia dimasa tuanya, selalu hadir disaat dia kelelahan, selalu ada disaat dia butuh orang untuk menguatkannya. Tapi ada satu hal yang sangat aku tunggu kebahagian itu, kebahagian yang sangat aku harapkan, yaitu hidup bersama Mirna, perempuan yang sejak lulus SMA sudah sangat kucintai perangainya, yang sejak SMA sudah kuniatkan untuk kujadikan istri. Karena tak melulu orang yang berada pada gedung tinggi selalu luput dari kesusahan, semua sama.  Allah, ijinkanlah aku meraih kebahagianku.”

No comments:

Post a Comment