Jumatulis #12 Panen, Lumpur, Burung, Kemarau, Keringat ~ Gedung Tinggi ≠ Gaji Tinggi
Senja
seperti ingin menampakkan diri. Langit kota Jakarta kala itu sangat cerah.
Waktu menunjukkan pukul 16.45, itu tandanya lima belas menit lagi jamnya orang-orang
kantor pulang. Ujang masih melepas penatnya, keringatnya masih bercucuran dari
ujung kepalanya menuju wajahnya yang nampak lebih tua dua tahun dari usianya. Napasnya
masih tersengal-sengal karena habis membersihkan perkarangan gedung kantor dari
lumpur setelah beberapa hari yang lalu terkena banjir. Ujang menengadahkan
kepalanya keatas langit, terlihatnya beberapa burung yang terbang, mungkin ia
ingin pulang ke rumahnya pikirnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke
minuman yang telah ada disampingnya sejak ia selesai membersihkan perkarangan
gedung kantor. “Burung saja selalu pulang
kala sore hari, lah aku?”. Ia baru teringat, sudah tiga kali panen, sudah
tiga kali kemarau pula ia belum pulang kampung. Itu tandanya sudah tiga kali
lebaran Ujang merayakannya seorang diri.
__*
Sambil
asyik menyeruput minumannya, telepon genggamnya berdering, ia lalu mengambil handphonenya, dan ternyata yang
menelponnya adalah nomor dari kampung, ibunya.
“Halo, Assalammualaikum, punten ini teh bener
nomor Ujang, anak emak yang di Jakarta tea?” Sapa orang yang berada pada
ujung salauran telepon tersebut.
“Halo, Waalaikumsalam, iya mak, ini Ujang anak emak yang kerja di Jakarta
tea.” Sahut Ujang.
“Alhamdulillah teu
salah sambung, Ujang kumaha? Damang maneh di Jakarta?.” Tanya ibunya.
“Iya mak, Alhamdulillah Ujang baik dan sehat,
emak kumaha? Damang henteu?”. Timpal Ujang
“Alhamdulillah emak
damang Ujang, Ujang, kamu kapan balik ka imah? Sudah tilu taun kamu teu pulang.
Kamu teu kangen ka emak?.”
“Iya mak, nanti kalo
sudah ada rezeki, Insyaallah Ujang pulang. Ujang juga sudah kangen sama emak.”
“Eleuh-eleuh Ujang,
kamu teh kumaha ih, setiap emak tanya kapan kamu pulang, selalu weh jawabnya
kitu, selalu nunggu kalo ada rezeki. Eh Ujang, kerjamu kan di Jakarta di
gedung-gedung tinggi, masa iya kamu teu bisa barang sekali pulang ke imah.” Ujang terpaksa agak sedikit
menjauhkan teleponnya dari telinga, karena ia tahu emaknya sangat mengiinginkan
lebaran kali ini ia pulang. “Duh emak,
bukan gitu. Ujang juga teh udah pengen banget pulang. Ujang juga udah kangen
suasana lebaran di kampung, kangen sama ketupat buatan mak, opor emak. Ujang juga
udah kangen berat sama si Juki, sapi yang Ujang rawat tea dari kecil. Tapi mau
bagaimana lagi mak, kalo Ujang pulang saat lebaran, Ujang teu bisa kirim uang
ka mak.” Ujang meneruskan. “Mak,
Ujang teh cuma cleaning service disini alias pembantu lah kasarnya, tukang
bersih-bersih gitu. Jadi, meskipun Ujang kerja di gedung-gedung tinggi, bukan
berarti Ujang akan selalu dapet penghasilan tinggi juga. Biaya hidup disini teh
mahal banget mak, jadi penghasilan Ujang ya abis buat Ujang biaya hidup disini
sama ngirim ka emak.” Ujang sebenarnya sudah bosan menjelaskan ke emaknya
kenapa sudah tiga kali lebaran ini ia tidak pernah pulang. Sebenarnya bisa saja
ia pulang, hanya saja gaji yang diterimanya habis untuk ia kirim ke emak untuk
melunasi hutang-hutang bapak waktu sakit.
“Yasudahlah tos kitu
mah, mau bagaimana lagi, toh emak juga teu bisa ke Jakarta buat bawa pulang
kamu ke rumah. Jang, lamun utang-utang bapak lunas, kamu balik lagi aja ka
kampung, kamu tinggal disini saja, temani emak.”
“Iya mak, nanti kalau
utang bapak lunas, Ujang akan pulang dan akan temani emak sampe kapan pun.
Yasudah, sudah dulu ya mak, ujang mau pulang, sudah jamnya Ujang balik ke
kontrakan. Nanti malam, Ujang telepon lagi ke emak. ”
“yasudah, hati-hati
kamu pulangnya, jangan lupa makan juga solat. Emak pamit ya, Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam, mak.” Ujang lalu menutup
hpnya. Ia bergegas ke ruangannya dan bersiap-siap untuk kembali ke
kontrakannya. Hari ini ia sangat ingin cepat-cepat sampai kontrakannya.
Badannya sudah terlalu lelah setelah seharian membereskan perkarangan kantor
yang penuh dengan lumpur.
Langit semakin menggeliyat menampakan rona merahnya. Senja seperti malu-malu tampil diantara barisan gedung-gedung tinggi. Angin yang berhembus mengantarkan Ujang menaiki bis kota menuju tempat peristirahatannya.
___*
“Bagiku, kebahagiaan bukanlah seberapa tinggi aku kerja di sebuah gedung, bukan seberapa tinggi gaji yang aku terima setiap bulannya. Aku tak muna, siapapun pasti ingin gaji tinggi agar bisa memenuhi semua keinginannya, begitupun aku. Namun bagiku kebahagian adalah bagaimana aku bisa kembali pulang ke kampung, hidup bersama emak,dan membahagiakan ia dimasa tuanya, selalu hadir disaat dia kelelahan, selalu ada disaat dia butuh orang untuk menguatkannya. Tapi ada satu hal yang sangat aku tunggu kebahagian itu, kebahagian yang sangat aku harapkan, yaitu hidup bersama Mirna, perempuan yang sejak lulus SMA sudah sangat kucintai perangainya, yang sejak SMA sudah kuniatkan untuk kujadikan istri. Karena tak melulu orang yang berada pada gedung tinggi selalu luput dari kesusahan, semua sama. Allah, ijinkanlah aku meraih kebahagianku.”
Langit semakin menggeliyat menampakan rona merahnya. Senja seperti malu-malu tampil diantara barisan gedung-gedung tinggi. Angin yang berhembus mengantarkan Ujang menaiki bis kota menuju tempat peristirahatannya.
___*
“Bagiku, kebahagiaan bukanlah seberapa tinggi aku kerja di sebuah gedung, bukan seberapa tinggi gaji yang aku terima setiap bulannya. Aku tak muna, siapapun pasti ingin gaji tinggi agar bisa memenuhi semua keinginannya, begitupun aku. Namun bagiku kebahagian adalah bagaimana aku bisa kembali pulang ke kampung, hidup bersama emak,dan membahagiakan ia dimasa tuanya, selalu hadir disaat dia kelelahan, selalu ada disaat dia butuh orang untuk menguatkannya. Tapi ada satu hal yang sangat aku tunggu kebahagian itu, kebahagian yang sangat aku harapkan, yaitu hidup bersama Mirna, perempuan yang sejak lulus SMA sudah sangat kucintai perangainya, yang sejak SMA sudah kuniatkan untuk kujadikan istri. Karena tak melulu orang yang berada pada gedung tinggi selalu luput dari kesusahan, semua sama. Allah, ijinkanlah aku meraih kebahagianku.”
Comments
Post a Comment